Pertanggungjawaban Bodong Kunjungan Kerja DPR

Gedung DPR/MPR.
Sumber :

VIVA.co.id – Sebuah surat edaran dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengungkapkan adanya potensi kerugian negara hingga Rp945 miliar, dari kegiatan kunjungan kerja (kunker) anggota dewan.

Kunjungan Kerja Dianggap Boros, Ini Pembelaan DPRD DKI

Tak sembarangan, dalam Surat Edaran Nomor 104/F-PDIP/DPR-RI/V/2016, indikasi adanya kerugian negara ini terungkap dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Menanggapi informasi dalam surat edaran PDIP itu, Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan, lembaganya memang melakukan audit terhadap DPR RI, yang di dalamnya mencakup anggaran kunjungan kerja para anggota dewan saat melakukan reses.

Kenaikan Anggaran DPR ke Luar Negeri Dinilai Pemborosan

"Itu masuk dalam bagian audit yang sedang kita kerjakan. Kita mengaudit yang sebelumnya. Yang kita audit dari 1 Januari sampai 31 Desember 2015," kata Harry saat dihubungi, Kamis 12 Mei 2016.

Mengenai kabar adanya kerugian negara hingga Rp945 miliar dari anggaran kunjungan kerja itu, Harry belum bisa memastikannya, karena proses audit belum selesai seluruhnya. "Saya tidak tahu angka berapa, karena itu sedang diaudit," ujarnya.

Moratorium Dicabut, Anggaran Kunker DPR ke Luar Negeri Naik

Audit ini baru akan diserahkan ke DPR RI sebagai laporan audit BPK, setelah semua proses selesai sampai pada kesimpulan-kesimpulan perbaikan. "Akan diserahkan pada bulan Juni nanti," ucapnya.

Meski laporan itu belum resmi, Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI langsung membuat langkah antisipasi. Sebagai lembaga yang memberikan bantuan teknis, administratif dan keahlian pada DPR RI, Setjen pun langsung meminta semua fraksi di DPR menyerahkan laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja anggota dewan.

"Sekarang, Setjen mengumpulkan laporan dari fraksi-fraksi," ujar Sekjen DPR, Winantuningtyastiti di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat 13 Mei 2016, untuk memenuhi panggilan pemeriksaan kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan jalan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016.

Permintaan ini dilakukan, karena Setjen tidak memiliki wewenang untuk memintanya langsung pada setiap anggota DPR.

Menurut Winantuningtyastiti, kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada anggota dewan, berada pada fraksi. Laporan tersebut kemudian akan diserahkan fraksi kepada Setjen DPR.

Selanjutnya, Kunker DPR kerap bermasalah...

Kunker DPR kerap bermasalah

Masalah terkait kunjungan kerja DPR, sebenarnya sudah sering dipermasalahkan. Bahkan, pada 2011, DPR pernah membuat kesepakatan moratorium kegiatan studi banding ke luar negeri. Surat moratorium itu ditandatangani 30 Mei 2011.

Saat itu, kebijakan menghentikan sementara kunjungan kerja ke luar negeri dilakukan, karena aktivitas para legislator itu menuai kontroversi dan dinilai sebagai ajang pelesir. Setidaknya, dalam Tahun Sidang 2009-2010 tercatat 12 kali kunjungan dilakukan anggota DPR ke sembilan negara. Pada tahun anggaran 2010 saja, tercatat Rp19 triliun dipakai untuk studi banding ke luar negeri. 

Sedangkan pada Tahun Sidang 2010-2011 DPR, tujuh kali melakukan kunjungan ke negara asing. Total kunjungan yang telah dilakukan adalah 19 kali studi banding ke 14 negara. Kunjungan tersebut, bahkan sebelum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dilakukan. 

Tak mau kritikan tersebut kembali terulang, indikasi adanya kerugian negara di balik kunjungan kerja pun langsung menuai reaksi. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid meminta, agar masalah ini diluruskan terlebih dulu.

“Kata kuncinya sebenarnya adalah bahwa pernyataan BPK tersebut belum official (resmi), dan Ketua BPK sendiri menyatakan bahwa itu baru perkiraan, bukan sesuatu yang bersifat final," katanya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat 13 Mei 2016.

Menurut Hidayat, temuan itu tak bisa lantas disimpulkan bahwa DPR secara kelembagaan telah membuat kerugian negara. Masalah ini perlu penelusuran lebih lanjut untuk menyatakan benar tidaknya telah terjadi upaya penggelapan uang negara, melalui rekayasa perjalanan dinas. 

Dia menilai, ada kemungkinan perjalanan dinas itu belum dilaporkan pertanggungjawabannya, sehingga oleh BPK terdeteksi sebagai perjalanan fiktif. "Kemudian dipahami bahwa sudah terjadi perampokan uang negara. Semua memang harus dilakukan pembuktian dahulu,” jelas Hidayat.

Meski begitu, bagi politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, indikasi kerugian negara itu menjadi peringatan buat semua anggota dewan, agar mengisi waktu reses sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Entah melakukan studi banding, mengunjungi daerah pemilihan atau kunjungan kerja.

"Tapi apapun itu, ini adalah sebuah pengingat kepada rekan-rekan saya di DPR, agar kita melaksanakan reses sebagaimana mestinya," terangnya.

Anggota Dewan berbenah

Di sisi lain, PDIP sebagai pihak yang mengeluarkan surat edaran itu menegaskan bahwa indikasi adanya kunjungan kerja fiktif, bukan isapan jempol. "Surat itu benar. Itu berdasarkan audit BPK," tegas Wakil Ketua Fraksi PDIP, Hendrawan Supratiko saat dihubungi, Kamis 12 Mei 2016.

Hendrawan menjelaskan, dalam audit itu, BPK melakukan audit, uji petik dan sampling atas laporan kunjungan para anggota DPR ke daerah. "Ternyata, ada laporan yang tidak memenuhi persyaratan. Pelaporan yang tak memenuhi syarat ini, artinya susah diverifikasi. Apakah memang kegiatan yang dilakukan anggota Dewan itu bisa dibuktikan, atau tidak, begitu."

Anggota Komisi XI tersebut mengungkapkan, audit BPK bukan spesifik menyoroti perjalanan anggota Fraksi PDIP saja. Tapi seluruh anggota fraksi di DPR, sebagaimana aturan mengenai laporan kunjungan kerja dalam Tata Tertib DPR Pasal 211 ayat 6, dan surat dari Sekjen DPR RI.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap penggunaan uang negara, Hendrawan bilang, Fraksi PDIP sudah berkomitmen melengkapi laporan kunjungan anggota.

Pembenahan terhadap laporan pertanggungjawaban juga dilakukan oleh fraksi PKB. "Sejauh ini, kita yakin tidak ada yang fiktif. Tetapi, mungkin ada yang kurang. Kalau kurang-kurang, kita konsolidasikan laporannya," ujar Anggota DPR Komisi IV dari Fraksi PKB, Daniel Johan, saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 13 Mei 2016.

Dia meyakini, indikasi kerugian negara dari kunjungan kerja anggota DPR dalam laporan audit BPK yang diungkapkan PDIP hanya kesalahan administrasi, karena kurangnya lengkapnya pertanggungjawaban. Meski begitu, untuk mengklarifikasi hal ini, Fraksi PKB berencana menggelar rapat internal.

"Mungkin kita akan tanya lebih detail, sejauh ini kita yakin enggak ada yang fiktif, mungkin kurang laporan iya," terang Daniel.

Sebab, sudah jauh hari sebelum adanya laporan BPK itu, Fraksi PKB sudah menekankan anggotanya mengenai pentingnya membuat pertanggungjawaban pasca melakukan kunjungan kerja. "Fraksi sudah keras mengingatkan seluruh anggota," ucapnya.

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat meyakinkan telah memberi instruksi ke semua anggotanya, agar membuat laporan pertanggungjawaban, setelah kegiatan reses selesai dilakukan. Hal ini, juga sudah diingatkan sejak rapat pleno pertama di fraksi.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto, dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Jumat 13 Mei 2016, mengatakan Ketua Fraksi Edhie Baskoro Yudhoyono, sejak awal selalu mengarahkan disiplin setiap anggota.

"Termasuk, mengingatkan mereka untuk taat jaring asmara (aspirasi rakyat) secara rutin, secara fisik, terstruktur, dan transparan. Termasuk, membuat laporannya," ujar Didik.

Didik juga menjelaskan, kunjungan kerja diperlukan dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat. Agar langsung melihat, mendengar, bahkan merasakan apa yang terjadi di masyarakat.

"Kami ingin memastikan secara utuh bahwa kebijakan di negara ini berpihak kepada kondisi dan kepentingan masyarakat. Sesuai dengan konsep besar Fraksi Partai Demokrat. Maka, segenap anggota wajib melaksanakan dalam setiap kegiatan reses," ujar Didik.

Kemudian, dia melanjutkan, "kewajiban membuat laporan kegiatan reses adalah kewajiban administratif yang disyaratkan UU MD3. Saya yakin, setiap anggota memahami apa yang menjadi perintah undang-undang."

Didik bilang, tidak sulit untuk membuktikan kehadiran anggota DPR di daerah pemilihan pada masa reses. Sebab, ada Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang wajib ditandatangani pejabat, atau tokoh setempat. "Apalagi, penggunaan anggaran reses sangat sederhana untuk diaudit oleh BPK. Terlalu dini, apabila ada anggapan tentang adanya kerugian negara terkait dana reses."

Selanjutnya, KPK siap tindaklanjuti...

KPK Siap Tindaklanjuti

Kritikan justru disampaikan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, pada setjen DPR. Dia bilang, seharusnya Setjen lebih kritis terhadap laporan kunker anggota DPR.

"Tiap anggota DPR selesai melakukan reses, harus disertakan dengan laporan keuangan yang harus dipertanggungjawabkan," kata Lucius, saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 13 Mei 2016.

Dia menambahkan, Setjen DPR tidak bisa langsung menerima dan menyimpan laporan anggota dewan, lantas mempercayai semua yang tertera dalam laporan itu. "Tetapi, harus lakukan klarifikasi terhadap penggunaan uang itu. Tidak bisa sistem penganggaran bebas, dihabiskan untuk apa saja?" ucap Lucius.

Kritikan tak hanya datang dari Formappi. Meski anggota DPR sudah memberikan beragam penjelasan mengenai potensi kerugian negara dari kunjungan kerja mereka, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) tetap meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar menindaklanjuti laporan BPK itu untuk diproses secara hukum, mengingat potensi kerugian negara mencapai Rp945 miliar.

Bagi FITRA, indikasi kerugian negara ini harus dipandang memiliki kejanggalan. Meski anggota dewan menganggap hal ini terjadi, karena adanya kesalahan administrasi berupa kurang lengkapnya laporan.

"Beberapa modus di antaranya adalah banyaknya anggota DPR yang tidak melaporkan hasil kunjungan kerja, baik laporan keuangan maupun laporan kegiatan," kata Sekjen FITRA, Yenny Sucipto sebagaimana rilis yang dikirimkan kepada VIVA.co.id, Kamis 12 Mei 2016.

Tak hanya itu, fraksi di DPR juga dinilai FITRA kurang memiliki komitmen untuk mendorong akuntabilitas lembaga DPR. Hal tersebut, menyebabkan citra legislatif menjadi buruk di mata masyarakat. Kata Yenny, seharusnya fraksi memberi sanksi pada anggota DPR yang tak bertanggung jawab atas kunker yang mereka lakukan.

"Anggota DPR tidak berkomitmen dalam laporan kunker, sehingga menguatkan bahwa kunker hanya pelesiran semata. Ini pemborosan anggaran," lanjutnya. 

Terlepas dari adanya desakan dari FITRA, KPK menyatakan siap mempelajari temuan BPK mengenai potensi kerugian negara dalam kunjungan kerja yang dilakukan anggota dewan. 

Menurut Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Jumat 13 Mei 2016, KPK perlu mendalami laporan dari BPK itu terlebih dulu, karena saat ini informasi itu baru muncul di pemberitaan media. Sejauh ini, belum ada laporan audit BPK mengenai kunjungan kerja DPR yang diterima KPK.

"KPK akan melihat hasil temuan itu dulu, karena sejauh ini baru melihat dari pemberitaan saja," terang Yuyuk. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya