Menindak Perusahaan Asing 'Nakal'

Penyampaian SPT Pajak
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Usai kasus Panama Papers mencuat, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) makin gencar melakukan pendataan para wajib pajak. Kendati sebelumnya, DJP sudah bertindak cukup keras terhadap para wajib pajak yang “nakal”. 

Anies Sindir Penunggak Pajak Mobil tapi Pakai Jalan Jakarta

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, meminta DJP menindak tegas perusahaan atau wajib pajak kategori penanaman modal asing (PMA) “nakal” yang tidak menjalankan kewajiban perpajakannya secara benar. 

Kriteria “nakal” ini merujuk kepada perusahaan PMA yang tidak membayar pajaknya dalam sepuluh tahun terakhir, atau perusahaan yang selalu mengaku merugi.

Anies soal Penunggak Pajak Mobil: Kami Kejar dan Umumkan

“Tentunya pemeriksaan yang lebih tegas kepada wajib pajak, khususnya PMA yang dalam tempo minimum sepuluh tahun itu tidak pernah membayar pajak atau selalu mengaku rugi,” kata Bambang seperti dikutip dari situs Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, Rabu 25 Mei 2016.

Secara khusus, Bambang meminta kepada jajaran kepala kantor wilayah DJP yang menangani wajib pajak PMA untuk melakukan pemeriksaan secara lebih teliti kepada para wajib pajaknya. Ia meminta agar pemeriksaan dapat dilakukan dengan mengedepankan logika.

Tunggak Pajak Rp66 Miliar, Pria Ini Dibui 6 Bulan

Dengan tindakan tegas seperti itu, menkeu berharap penerimaan pajak dapat meningkat, tetapi di sisi lain tidak lantas mengganggu iklim usaha di dalam negeri.

“Kantor wilayah, terutama yang banyak PMA di wilayahnya, tolong ini benar-benar menjadi perhatian. Kita ingin penerimaan pajak optimal, tapi di sisi lain tidak mengganggu iklim usaha,” ujar Bambang.

Ditemui terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Seksama mengakui adanya PMA yang selama 10 tahun belum membayar pajak. 

"Memang banyak yang kami analisis. Mereka perusahaan yang mengaku merugi, tapi tetap beroperasi. Misalnya dari nilai penjualan perusahaan yang meningkat. Makanya disampaikan pak menteri itu harus ada tindakan," ujarnya saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu 25 Mei 2016.

Adapun langkah yang akan dilakukan DJP, menurut Hestu, tentunya akan sesuai kewenangan dan prosedur. Dianalisis dulu, kemudian diperiksa. Jika memang ada indikasi tindak pidana, akan segera dilakukan penindakan.

Namun, Hestu belum berani memastikan apakah PMA itu masuk kategori pengemplang pajak. "Harus diteliti dulu lebih jauh. Apakah memang mereka benar benar mengemplang, atau memang benar-benar rugi," tuturnya.

Karena, dia melanjutkan, sesuai dengan UU, ada pemeriksaan atau bahkan pengenaan sanksi, denda, bunga, dan segala macam yang sudah di dalam UU. "Semua harus sesuai prosedur. Kalau kurang bayar, akan ditagih dan disanksi. Misalkan ada indikasi tindak pidana karena menggelapkan omzet, pasti akan ditindaklanjuti," ujarnya.

Saat ini, sejumlah Kanwil Pajak, menurut Hestu, sedang melakukan penelusuran berapa PMA yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak. "Saya tidak bisa sebutkan itu, karena sekarang sedang berjalan penelusuran di kanwil-kanwil yang PMA itu," tuturnya.

Ketua Komisi XI DPR, Ahmadi Noor Supit mengatakan, adanya keterbukaan informasi aset perbankan yang diprediksi dilakukan pada 2018 belum tentu bisa menarik para pengemplang pajak untuk membayar pajaknya.

"Tidak gampang. Data di PPATK sudah ada tentang orang yang mengemplang pajak. Ngejarnya enggak gampang. Urusan di pajaknya sekian bulan, tahun. Belum lagi ke negara yang bersangkutan offshore. Kalau gampang, negara enggak ada uang-uang di luar," kata Supit di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 26 April 2016.

Ia mengatakan, pemerintah sudah memburu harta orang Indonesia sejak lama. Bahkan sudah dibentuk sejumlah tim. Tapi, tetap saja tidak mudah untuk menarik uang para pengemplang pajak tersebut. Menurut dia, jangankan 100 persen, untuk 10 persen saja belum tentu bisa ditarik.

"Mudah-mudahan dengan tax amnesty ini bisa dapat lebih besar. Sambil adanya keterbukaan informasi aset perbankan itu," kata Supit. Ia mengatakan PPATK selama ini sudah mengintip-intip rekening dan uang orang. 

Tapi, untuk dijangkau, apalagi disentuh, menurutnya, susah sekali. Kondisi itu juga diperburuk dengan hukum di Indonesia yang tak jelas. "Belum lagi saat sudah masuk ke pengadilan, bebas lagi," kata Supit.

Ribuan Tidak Patuh

Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa ada ribuan perusahaan-perusahaan dalam negeri yang masih tidak patuh dalam kewajibannya membayar pajak kepada pemerintah.

Bambang menuturkan, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki cara tersendiri dalam menghindari para fungsional pajak dengan menerapkan manipulasi. Salah satunya adalah dengan menekan nilai aset perusahaannya sendiri.

“Mungkin di Indonesia sudah masuk kategori ribuan. Ini perusahaan yang sepanjang hidupnya tidak bayar pajak, tapi tetap hidup sehat bahkan bisa ekspansi,” ujar Bambang dalam konferensi pers di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Selasa 8 Maret 2016.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak DJP, Edi Slamet Irianto memperkirakan ada setidaknya ada 4.000 perusahaan yang selama ini menunggak pajak. Mayoritasnya, adalah perusahaan yang sebagian diakuisisi oleh pihak asing.

“Cukup banyak terutama PMA (Penanaman Modal Asing). Di antaranya (minyak dan gas), tapi ada macam-macam jadi mereka melaporkannya rugi terus,” katanya.

DJP, kata Edi, telah mempersiapkan berbagai langkah ke depan dalam memeriksa perusahaan-perusahaan yang terbukti mengemplang pajak tersebut. Yakni dengan cara mencari data dan informasi yang akurat dari berbagai perusahaan-perusahaan tersebut.

“Jadi, ada yang mencoba melakukan perencanaan pajak secara agresif dengan melakukan transfer pricing. Kami akan coba deteksi dengan cara itu,” tuturnya.

Berdasarkan data DJP, Kemenkeu mengungkap bahwa sebanyak 2.000 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia telah teridentifikasi tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pasal 25 dan Pasal 29 karena alasan merugi.

Bambang menegaskan, akan mengambil sikap tegas terhadap 2.000 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) tersebut jika terbukti menghindar dari ketentuan pajak yang ditetapkan pemerintah secara sengaja.

“Kami akan melakukan penegakan hukum (terhadap 2.000 perusahaan tersebut). Salah satu aspek penegakan hukumnya itu, ya (izin) PMA,” ujar Bambang saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin 28 Maret 2016.

Bambang mengatakan, Kemenkeu saat ini tengah bekerja sama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengungkap kebenaran dari 2.000 perusahaan multinasional tersebut, apakah masih terdaftar sebagai PMA. “Kami sudah punya datanya, dan nanti BKPM akan mengecek,” kata dia.

Meski begitu, Bambang enggan membeberkan nama perusahaan-perusahaan yang mengemplang pajak tersebut. Namun, ia memastikan, keputusan ini akan menjadi hak penuh dari BKPM. “Terserah BKPM mau diapakan. Pokoknya harus ada konsekuensi tindakan mereka yang menghindari pajak,” ujarnya.

Sebagai informasi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Mekar Satria Utama mengungkapkan bahwa 2.000 perusahaan tersebut tidak membayar pajak dalam 10 tahun terakhir, dengan modus yang berbeda-beda.

Pertama adalah modus transfer pricing yang merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar. Bisa dengan menaikkan harga, atau menurunkan harga.

Kedua, adalah perusahaan asing tersebut memanfaatkan fasilitas fiskal seperti pengurangan pajak (tax allowance). Dan terakhir, perusahaan-perusahaan tersebut sering berganti nama, agar bisa mendapatkan insentif serupa.

Tak Bayar Pajak

Sementara itu, menurut Bambang, ada PMA yang beroperasi di Indonesia yang merugikan kas keuangan negara. Perusahaan itu tidak mampu menyetor pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perusahaan tersebut bergerak sebagai penyedia jasa konsultasi kesehatan yang berdomisili di Singapura, namun beroperasi di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang.

“Perusahaan ini hidupnya dari utang afiliasi, jadi semacam stakeholder loan. Jadi, dia utang dari pemilik, tapi bukan memberi modal,” ujar Bambang saat ditemui di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Rabu malam, 6 April 2016.

Berdasarkan pengakuan pihak perusahaan tersebut, keuntungan yang mereka dapatkan justru selalu dialihkan untuk menyetor cicilan utang yang diberikan oleh pemilik modal. 

Namun, faktanya, cicilan tersebut bukanlah utang melainkan berbentuk dividen atau pembagian laba kepada pemegang saham. Hal ini tercermin dari jumlah utang dan modal yang digelontorkan perusahaan tersebut yang sangat timpang.

“Pasti perusahaan ini akan tutup karena utangnya besar mencapai Rp20,4 miliar plus kerugian yang ditahan Rp26,12 miliar. Dari segi keuangan sudah tidak bagus,” kata Bambang.

Berdasarkan penelusuran pemerintah, ada dua warga negara Indonesia (WNI) dan dua warga negara Singapura yang terdaftar sebagai pengurus perusahaan tersebut. Kedua WNI tersebut sejatinya sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Duren Sawit.

Namun hingga saat ini, mereka tidak pernah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajaknya kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sementara itu, untuk kedua WN Singapura, pemerintah telah memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti perusahaan tersebut adalah Bentuk Usaha Tetap (BUT).

“Kami juga sudah terbitkan surat perintah bukti permulaan. Jadi, WN Singapura ini mengaku direksi, tapi tidak pernah bayar pajak. Statusnya sama,” katanya. Bambang menegaskan, pemerintah tidak akan main-main terhadap para pengemplang pajak yang selama ini merugikan negara.  

“Ini kenapa WP Orang Pribadi kita sangat kecil. Perusahaan terdaftar yang punya NPWP saja tidak pernah submit SPT. Untuk orang-orang dablek, kami akan lakukan penegakan hukum,” tuturnya.

Bambang menyebutkan, sebagai salah satu perusahaan PMA, perusahaan itu justru meminta keringanan pajak melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 yang mengatur pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Namun, permintaan itu dianggap tidak masuk akal. 

“Kami pertanyakan etika bagi PMA, kenapa minta pajak UKM. Ini keterlaluan. Kalau minta fasilitas yang masuk akal,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya