Indonesia Pantas Bangga Diundang Forum 7 Negara Maju

Presiden Joko Widodo bersama para pemimpin dunia di KTT G7 di Jepang, 27 Mei 2016.
Sumber :
  • REUTERS/Carlos Barria

VIVA.co.id – Untuk pertama kalinya Indonesia diundang dalam Konferensi Tingkat Tinggi Tujuh Negara Maju (KTT G-7). Tentu ini hal yang sangat menggembirakan, seperti blessing in disguise atau berkah yang terselubung.

Pertemuan G 7 di Kanada, Momentum 'Menghakimi' Trump

Kendati demikian, Indonesia jangan terlena dan jangan merasa pongah dengan undangan ini. Sebab, kelompok G-7 pasti memiliki maksud atau agenda tersembunyi, yang ujung-ujungnya, merugikan kepentingan nasional.

G-7 (Group of Seven) merupakan kelompok tujuh negara maju yang terdiri dari Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada. Agenda rutinnya adalah mengadakan pertemuan ekonomi dan politik yang dihadiri para kepala negara/pemerintahan dan pejabat-pejabat organisasi internasional.

Jadi Negara Ekonomi Besar Ke-7 Dunia, RI Perlu Benahi Ini

Di mata pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Paramadina, Emil Radiansyah, diundangnya Indonesia dalam KTT G-7 tentu memiliki daya tawar tersendiri, setelah sebelumnya, di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang diundang dalam KTT G-20.

“Sangat jelas dari sisi ekonomi dan politik kita punya kepentingan,” kata Emil kepada VIVA.co.id, Jumat, 27 Mei 2016. Dari sisi ekonomi. Emil mengungkapkan Indonesia memiliki jumlah penduduk paling besar di ASEAN, yakni 245 juta jiwa, merupakan pangsa pasar besar bagi G-7.

DPR Pertemuan G7 Dorong Pertumbuhan Perekonomian Nasional

Selain itu, lanjut dia, rerata penduduk Indonesia berprilaku konsumtif tinggi. Kemudian, prediksi IMF yang menyebutkan kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun ini cukup baik, sekitar 5,1 persen, pastinya menjadi daya tarik G-7 untuk berinvestasi lebih banyak.

Fokus infrastruktur

“Saya melihat Presiden Jokowi akan memanfaatkan momen ini untuk menekan negara G-7 berinvestasi di sektor infrastruktur. Karena Indonesia memang sedang menggenjot sektor itu,” ungkapnya.

Perbaikan infrastuktur memang menjadi perhatian Jokowi, terutama ketika Indonesia menyepakati mengadopsi Sustainable Development Goals (SDG’s) untuk periode 2015-2030, yang menggantikan Millennium Development Goals (MDG’s), yang sudah mengubah wajah dunia dalam 15 tahun terakhir dan sudah berakhir “masa baktinya” pada 2015.

“Salah satu syarat terpenuhinya SDG’s adalah pemerataan infrastruktur, Indonesia tidak bisa berjalan sendiri dan butuh bantuan negara G-7 dari sisi permodalan,” tutur dia.

Presiden Jokowi mengemukakan, yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur pelabuhan, saat dirinya  bertemu dengan PM Jepang, Shinzo Abe yang secara permulaan sudah dengan sudah disampaikan kesepakatannya untuk bekerja sama dengan Indonesia membangun Pelabuhan Patimban.

Adapun mengenai pembangunan kereta cepat jalur Pantura Jawa, Presiden Jokowi mengatakan, dikalkulasi terlebih dahulu. “Akan kita perdalam lagi kalkulasinya sehingga saya belum bisa menjawab,” ujarnya.

Emil lalu melanjutkan dari sisi politik. Menurutnya, di mata G-7, Indonesia perwakilan dari ASEAN sekaligus berperan sebagai “penjaga” stabilitas di kawasan. Tak hanya itu. negara-negara berkembang seperti Indonesia dinilai cukup stabil politiknya, sehingga bisa menjaga pertumbuhan ekonominya.

Kondisi inilah yang dilihat oleh kelompok G-7 terhadap Indonesia, dan juga kawasan Asia yang dianggap sebagai motor ekonomi dunia sekarang ini. “Indonesia untuk pertama kali diundang untuk berpartisipasi dalam G-7 Outreach Meeting. Ini mencerminkan pandangan negara G-7 terhadap peran dan arti penting Indonesia sebagai salah satu negara besar,” kata Emil.

Menurut dia, G-7 melihat Indonesia dan ASEAN memiliki peran sentral dalam menanggulangi berbagai persoalan seperti sengketa Laut China Selatan, terorisme dan pencari suaka (migran). "Saya kira G-7 sepakat untuk terus mendorong perhatiannya kepada Asia, seperti yang sudah dilakukan AS di bawah Presiden Barack Obama,” ujarnya.

Tak ada makan siang gratis

Khusus konflik Laut China Selatan, Presiden Jokowi menegaskan yang namanya pertumbuhan ekonomi itu akan ada kalau stabilitas dan keamanan di kawasan itu ada. “Hampir semua negara menyinggung mengenai soal itu. Kita sampaikan bahwa Indonesia selalu mengikuti dan memperhatikan itu karena keamanan, perdamaian dan juga stabilitas di kawasan kita sangat kita perlukan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tuturnya.

Meskipun begitu, Emil mengingatkan pemerintah supaya tidak terlena dan terpengaruh oleh intervensi. Jangan sampai, lanjut dia, Indonesia terjabak dalam persyaratan yang sulit untuk dipenuhi sehingga merugikan kepentingan bangsa dan negara.

“Saya yakin motif ekonomi sangat dominan. Tapi, jangan sampai diintervensi terlalu jauh. Karena tidak ada makan siang gratis,” kata Emil.

Saat memberikan keterangan pers sebelum bertolak ke Indonesia di Holding Room Bandara Chubu Centrair Nagoya Jepang, Jumat (27/5) sore, Presiden Joko Widodo mengemukakan, tatanan dunia sudah berubah dan muncul emerging country, negara-negara berkembang seperti Indonesia yang cukup stabil politiknya, yang bagus dan bisa menjaga pertumbuhan ekonominya.

Karena itu, lanjut Presiden, kesempatan seperti inilah yang kita pakai untuk membangun sebuah kepercayaan agar investasi itu datang ke Indonesia sebanyak-banyaknya, utamanya untuk bidang-bidang infrastruktur yang membutuhkan pendanaan yang sangat besar.

“Oleh sebab itu, kedatangan kita di G-7 Outreach ini untuk membangun sebuah kepercayaan. Dan kita dilihat dan diuji oleh negara-negara yang lain, terutama untuk pembangunan infrastruktur yang berkualitas dan mengarah kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Presiden Jokowi, seperti dikutip dari situs Setkab.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya