Ingat, KBRI dan KJRI Bukan Agen Perjalanan

Fadli Zon.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id – Kasus pejabat meminta fasilitas dari KBRI dan KJRI saat ia atau keluarganya berkunjung ke luar negeri kembali terulang. Kali ini, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menjadi sorotan.

Kemlu: 120 WNI di Ukraina Dipulangkan ke RI, 32 Orang Pilih Menetap

Senin, 27 Juni 2016, sebuah salinan faksimili beredar di kalangan wartawan. Isinya, meminta KJRI di New York menjemput putri Wakil Ketua  DPR RI Fadli Zon yang sedang mengikuti kelas teater di Amerika Serikat.

Surat tersebut berkop Sekretariat DPR RI  dengan nomor 27/KSAP/DPR RI/VI/2016, bertanggal 10 Juni 2016. Melalui surat tersebut, pihak DPR RI memohon kepada Duta Besar RI untuk Amerika Serikat di Washington DC, dan Konsul Jenderal RI di New York agar menjemput putri Fadli yang sedang mengikuti Stagedoor Manor 2016, sebuah kelas teater  bergengsi untuk remaja berusia 10-18 tahun, yang diadakan di Loch Sheldrake, New York, pada tanggal 12 Juni 2016 sampai 12 Juli 2016.

Kemlu Berhasil Selamatkan Hak Finansial WNI di Luar Negeri Rp179 M

Dalam surat tersebut disertakan pula jalur perjalanan yang akan dilalui putri Fadli Zon. Ia disebutkan terbang dari Jakarta menuju Dubai, kemudian Dubai ke New York. "Sehubungan dengan itu, kami mohon bantuan KBRI Washington DC melalui KJRI New York untuk penjemputan dan pendampingan kepada putri Beliau tersebut selama berada New York, Amerika Serikat," demikian kalimat yang dikutip dalam surat yang ditandatangani pihak Sekretariat Jenderal DPR tersebut. Putri Fadli Zon, jelas bukan melakukan perjalanan dinas kenegaraan. Ia hanya akan mengikuti kelas teater.

Ini kesekian kalinya kasus anggota yang meminta fasilitas pada KBRI dan KJRI saat ia dan keluarganya berada di luar negeri. Sebelum Fadli Zon, pada bulan April terungkap kasus yang sama dari seorang anggota DPRD DKI dari fraksi Partai Hanura, Wahyu Dewanto, dan anggota DPR RI dari Partai Gerindra, Rachel Maryam. Keduanya melakukan hal yang sama saat dirinya dan keluarganya akan berlibur ke luar negeri. Wahyu akan berlibur ke Sydney, sementara Rachel dan keluarganya akan berlibur ke Paris. Surat permintaan fasilitas pada KBRI dan KJRI di dua negara tersebut beredar dan menuai kemarahan publik.

Kemlu Jawab Tudingan Ade Armando soal Dugaan Pemerasan di Pandemi

Belakangan Wahyu membantah surat tersebut. "Saya sama sekali enggak tahu buatan surat itu dan saya enggak buat surat itu. Selama saya di Australia, enggak ada satu pun saya pakai fasilitas pemerintah, dalam hal ini Konjen," ujar Wahyu saat jumpa pers pada 4 April 2016.

Sementara, anggota  Komisi I DPR RI dari Partai Gerindra  Rachel Maryam, membenarkan dia meminta Duta Besar RI untuk  Prancis memfasilitasi akomodasi selama dia dan keluarganya mengunjungi Paris  pada 20 hingga 24 Maret 2016. Ketika  dikonfirmasi, anggota Komisi I itu mengakui  dirinya meminta bantuan selama berada di sana.
 
"Memang saya minta dibantu untuk difasilitasi untuk dicarikan kendaraan buat saya dan keluarga selama di sana," kata Rachel  pada 1 April 2016. "Tapi biaya atas tanggungan saya pribadi," katanya menambahkan.

Sudah bukan rahasia jika ada pejabat yang berkunjung ke luar negeri, maka pihak KBRI yang berada di negara tersebut akan menjadi sasaran mereka. Mereka umumnya diminta bantuan untuk menyediakan fasilitas mulai penjemputan, penyediaan kendaraan, penginapan, dan lain lain. Kebocoran informasi soal permintaan fasilitas dari Wahyu Dewanto, Rachel Maryam, dan sekarang Fadli Zon mengungkap itu semua.

Namun, alih-alih merasa salah, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon justru mempertanyakan apa tugas KBRI dan KJRI jika bukan untuk melayani WNI yang berada di luar negeri. "Kalau KBRI-KJRI tidak melayani orang Indonesia, layani siapa di sana? Sebagai pembayar pajar, mereka itu (KBRI-KJRI) digaji oleh rakyat. TKI saja harus dilayani," ujar Fadli di DPR, Jakarta, Selasa, 28 Juni 2016.

Fadli juga membantah bahwa ia dan anaknya meminta fasilitas negara. "Dalam hal ini, saya tidak (meminta fasilitas negara). Harusnya mereka membantu WNI, apalagi dalam kasus-kasus tertentu yang memerlukan dukungan, seperti kasus anak saya. Tapi tidak meminta fasilitas apa pun," ujarnya. Fadli mengaku, pemberitahuannya pada KJRI New York tentang kegiatan anaknya justru menjadi upaya untuk memenuhi imbauan Kementerian Luar Negeri RI agar melakukan lapor diri bagi WNI yang melakukan kunjungan ke luar negeri.

Tapi, berdasarkan UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 18, Warga Negara Indonesia yang wajib lapor adalah mereka yang pindah ke luar negeri dan berstatus menetap di luar negeri. Pasal tersebut berbunyi, "WNI yang pindah ke luar negeri dan berstatus menetap di luar negeri wajib melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) sejak kedatangan. Berdasarkan pasal tersebut, jelas yang dimaksud adalah WNI yang pindah atau menetap ke luar negeri, jadi bukan WNI yang melakukan kunjungan singkat seperti anak Fadli Zon.

Namun, berdasarkan penelusuran di website Kemlu, sejak tahun 2015, Kemlu RI memang meminta WNI yang menginjakkan kaki ke luar negeri untuk melapor. Namun proses lapor tersebut bersifat suka rela dan disarankan mendaftar secara online, bukan surat resmi seperti yang dilakukan Fadli Zon. Apalagi surat Fadli dengan kop Sekjen DPR RI tersebut langsung ditujukan pada KBRI dan KJRI di luar negeri, bukan ditujukan pada Kemlu RI.

Sayangnya, saat dimintai keterangan soal maraknya pejabat yang minta difasilitasi saat berkunjung ke luar negeri, Kemlu RI memilih bungkam. Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nassir, yang biasanya selalu bersedia menjawab pertanyaan wartawan kali ini memilih berdiam diri.

Namun, saat membahas kasus Wahyu Dewanto, Arrmanatha pernah menjawab bahwa setiap perwakilan RI di luar negeri sudah memiliki prosedur tetap (protap) baku terkait pengaturan dan fasilitas bagi delegasi atau tamu dinas. "Selama kunjungan itu resmi atau dinas, dan ada instruksi Kemlu, maka akan dilaksanakan sesuai protap," ujar Arrmanatha, Kamis, 31 Maret 2016.

Fadli Zon, mungkin menyadari ada salah prosedur karena ia tak mengirimkan surat melalui Kemlu, namun langsung ke KBRI dan KJRI di New York. Melalui pers, Fadli meminta maaf atas kesalahpahaman maksud dan tujuannya berkirim surat ke KJRI New York. Ia juga mengatakan segera mengganti biaya penjemputan anaknya.

"Saya segera mengirimkan biaya pengganti transportasi dari bandara ke rumah kawan orang Indonesia kepada pihak KJRI New York melalui Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Biaya tersebut adalah pengganti bensin selama 30-40 menit. Saya perkirakan dana KJRI yang terpakai untuk bensin sekitar US$100 atau sekitar Rp1.340.000," kata Fadli melalui keterangan persnya, Selasa, 28 Juni 2016.

Fadli dan pejabat lain mungkin lupa. Fungsi KBRI dan KJRI di luar negeri bukanlah hanya untuk melayani kepentingan pejabat dan keluarga pejabat saat mereka berkunjung ke satu negara, meski pun sekadar meminta dijemput. Meminta maaf dan mengganti biaya penjemputan seperti yang dilakukan Fadli tidak menyentuh substansi yang menjadi sumber kemarahan publik. KBRI dan KJRI bukan agen perjalanan, jadi tak selayaknya lembaga negara diposisikan sebagai sumber untuk minta fasilitas antar jemput, bahkan mencari penginapan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya