Siapkah Jakarta Kelola Sampah Warganya?

Ilustrasi penumpukan sampah.
Sumber :
  • Irwandi Arsyad - VIVA.co.id

VIVA.co.id – Produksi sampah DKI Jakarta diperkirakan mencapai 9.200 ton per hari pada 2030. Pengelolaan yang baik tentu akan menghasilkan energi yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat secara luas. Ini menjadi tantangan DKI yang kini akan mengolah sampah warganya secara mandiri.

Teknologi Pengolahan Sampah RDF Dikritik, Riskan Diterapkan di Jakarta

Pada 2016, jumlah sampah warga Jakarta sudah mencapai 7.000 ton per hari. Tapi sayangnya, swasta dalam hal ini PT Godang Tua Jaya (GTJ), yang diberi kompensasi besar sejak 2008 atas pengelolaan sampah Jakarta tidak mampu mengoptimalkannya.

Dianggap wanprestasi, Pemprov DKI akhirnya mengeluarkan keputusan untuk memutuskan kontrak kerja PT Godang Tua Jaya dan dan PT Navigate Organic Energy Indonesia (NOEI). Keputusan itu dikeluarkan melalui surat tanggal 21 Juni 2016 dengan nomor surat 3240/-1.7999 tentang SP3 Cedera Janji.

Disentil Jokowi soal ITF Sunter, Heru Budi Malah Pamer Pengolahan Sampah Anies di Bantargebang

Ada tiga poin yang menunjukkan bahwa DKI bersikap tegas kepada pihak swasta ini. Pertama adalah PT GTJ dinilai tidak memenuhi kewajiban, sesuai Surat Perjanjian Kontrak Nomor 5028/1.799.21 pada 5 Desember 2008, tentang peningkatan sarana dan prasarana Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi.

Kedua, PT GTJ dinilai tidak bisa memenuhi kewajiban terkait penyerahan laporan atas rekening khusus. Rekening ini harusnya diserahkan PT GTJ kepada DKI setiap tanggal 15 selama kontrak kerja berlangsung.

Timbunan Sampah di Bantar Gebang Menggunung, Wagub DKI: Kita Punya PR

Terakhir, PT GTJ dan NOEI dinilai tak bisa memenuhi sarana dan prasarana dalam membangun sarana Gasifikasi, Landfill, Anaerobic Digester (Galfad) terkhusus Gasifikasi.

Pemutusan kontrak dengan pihak swasta mengharuskan Pemprov DKI Jakarta mengelola TPST Bantar Gebang secara swakelola atau dilakukan sendiri. Beberapa kebijakan sudah disiapkan dalam rangka swakelola TPST Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.

"Diambil alih, pengelola yang lama (PT GTJ dan PT NOEI), tidak mampu memenuhi kewajiban dalam kontrak. Salah satunya adalah terkait dengan teknologi," kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Isnawa Adji kepada VIVA.co.id, dalam aksi bersih-bersih bersama 318 pekerja harian lepas di TPST Bantar Gebang, Minggu, 24 Juli 2016.

Mulai Agustus, kata Isnawa, seluruh pekerja lepas harian ini akan mulai diberikan gaji sesuai upah minimum provinsi (UMP) DKI sebesar Rp3,1 juta. Selain itu, 6.000 pemulung, diberikan jaminan sosial dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Kemudian, memberikan tambahan dana kompensasi bagi masyarakat dari Rp300 ribu per tiga bulan menjadi Rp500 ribu. Lalu, penambahan jumlah kepala keluarga (KK), yang mendapatkan dana kompensasi, dari 15.000 menjadi menjadi 18.000 kepala keluarga.

"Pihak swasta tidak meng-upgrade teknologi, yang mereka lakukan hanya tumpuk sampah. Padahal, sesuai audit BPK, juga mengingatkan agar ditambah investasi bidang teknologi. Tapi alasan selalu rugi terus," kata Isnawa.

Kini, setelah 18 tahun, DKI Jakarta dipaksa harus mengolah sampah lama warganya sendiri yang sudah mencapai jutaan meter kubik yang tingginya hingga 15 meter di TPST Bantar Gebang. Kemudian juga 7.000 ton sampah baru yang setiap hari datang.

Energi yang dihasilkan juga akan dioptimalkan, pengelolaan sampah dengan pihak swasta harusnya dapat menghasilan energi listrik sebesar 18 megawatt. Tapi, nyatanya hanya menghasilkan 1 megawatt.

"Mereka tumpukin terus sampah 7.000 ton. Harusnya kompensasi yang diterima digunakan untuk meng-upgrade teknologi," katanya.

Karena akan mengolah sampah secara mandiri, DKI akan membangun pengolahan sampah terpadu atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di TPST Bantar Gebang, Bekasi. Studi kelayakan sudah dilakukan agar pembangunan ITF bisa cepat.

Pengolahan sampah secara terpadu DKI Jakarta akan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.

Pemerintah menegaskan, percepatan PLTSa 2016-2018 melalui pemanfaatan sampah yang menjadi urusan tujuh kota tersebut. Apakah dilakukan BUMD di kota tersebut atau menunjuk badan usaha swasta untuk melaksanakan pembangunan PLTSa.

"DKI melalui Jakpro (Jakarta Propertindo) bersama BPPT mulai menyeleksi investor," kata Isnawa.

Sesuai dengan rekomendasi tim percepatan pembangunan PLTSa, gubernur DKI Jakarta nantinya dapat menunjuk pihak swasta tanpa perlu melakukan lelang. Kata Isnawa, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan setelah swakelola. Terutama manajemen pengolahannya.

Sudah ada lima investor yang telah memaparkan teknologi yang dapat mereka bangun untuk mengelola sampah warga Jakarta. Perusahaan yang mendapat proyek nantinya diberi waktu 18 bulan untuk membangun. Jakarta bahkan akan membangun empat sampai lima pengolahan sampah terpadu atau ITF.

Setiap tempat nantinya dapat mengolah 1.000 ton lebih sampah. Lahan disiapkan di Rototan, Marunda, Cakung, Kamal Muara, dan Sunter. Lima tempat ini sebenarnya sudah sejak 2015 telah direncanakan dibangun TPST. Tapi proyek ini tidak penah berjalan.

Bila nantinya tempat pengolahan sampah itu terbangun, Bantar Gebang hanya akan mengolah 2.500 ton sampah per hari. Ini tentu akan mempercepat pengiriman sampah. Antrean truk juga tidak akan menjadi hambatan, lebih efisien. Pemilahan sampah juga akan dilakukan.

"Bisa bikin batako dari plastik. Di Jepang sudah ada, untuk peron kereta api atau bahkan reklamasi. PLN juga nanti wajib membeli listrik dari PLTSa. Krisis energi salah satunya diatasi dengan ini," katanya.

Jadi Berkah

Jumlah sampah warga Jakarta terus meningkat. Tapi dari sekitar 7.000 ton per hari, nyatanya ada sekitar 0,8 sampah yang dibuang dan berada di tempat yang tidak semestinya. Seperti kali dan tempat lain.

Menurut pengamat tata kota, Yayat Supriatna, pemilihan sampah organik dan non organik belum maksimal dilakukan warga Jakarta. Meski unsur teknologi sangat utama, sampah yang dibuang harusnya bisa ditekan bila sejak dari hulu telah dilakukan proses reduksi. Karena itu, pengolahan sampah perlu dilakukan dan bukan hanya soal membuang serta membawa ke penampungan di Bantar Gebang.

"Harusnya, 40 persen sampah sudah direduksi di tingkat rumah tangga. Dititip di bank sampah dan ada unsur pendapatan masyarakat. Masyarakat bisa menyimpan sampah dan menghasilkan," kata Yayat.

Menurut Yayat, masyarakat Jakarta masih enggan mengolah sampah rumah tangga. Bahkan cenderung menolak bila lingkungan tempat tinggal mereka memiliki tempat pengolahan sampah (TPS). Warga hanya ingin satu cara, bagaimana menjauhkan sampah dari rumah mereka.

"Tidak mengurai sampai dari hulu. Membangun pengelolaan sampah 3R (Reuse, Reduce, Recycle) bisa meningkatkan nilai sampah sebagai sumber ekonomi dan pendapatan baru. Tapi ternyata tidak bisa dimaksimalkan," katanya.

Bila pengolahan sampah bisa dilakukan dari rumah tangga, bisa saja hanya 4.000 ton sampah yang kemudian sampai di Bantar Gebang. Karena itu, masyarakat Jakarta harus memiliki komitmen dan berpikir secara realistis bahwa sampah jangan hanya diserahkan kepada pemerintah.

Menurut Yayat, jumlah sampah yang banyak memaksa Dinas Kebersihan DKI Jakarta menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Meski saat ini Jakarta kembali mengambil alih pengolahan sampah, sejumlah masalah lama harus dapat diselesaikan, terutama dengan Pemerintah Kota Bekasi. Apakah soal kompensasi atau hibah akibat dampak dari pengiriman sampah.

Selain itu, harus ada program yang jelas, terkait wilayah terdampak di Bantar Gebang. Dari mulai limbah, penyediaan balai kesehatan, kesempatan kerja, hingga dana CSR.

"Semua berbasis anggaran yang dimiliki DKI (bila swakelola). Apakah sudah ada MoU yang baru, dengan Bekasi. Dulu saat PT GTJ kelola, Bekasi dapat 20 persen," katanya.

Meski saat ini kondisinya sangat darurat, tapi DKI harus segera berbenah diri. Pemilihan teknologi pengolahan sampah juga harus sesuai dengan kebutuhan. Sampah yang mencapai 7.000 ton per hari akan jelas dapat menghasilkan apa saja bila diolah.

"Di balik sampah ada berkah. Di Surabaya banyak contoh bagus," kata Yayat.

Menurut Yayat, dari pemberian Kartu Jakarta Sehat (KJS) DKI juga dapat menuntut warganya untuk dapat hidup sehat. Setiap penerima KJS harusnya memiliki  tempat sampah dan dapat memilah sampah rumah tangga mereka.

Tapi saat ini, KJS justru tidak mengubah perilaku sehat warga Jakarta. Warga yang selama ini dibantu dengan kartu sehat, tapi sifatnya tidak sehat. Sampah harusnya sudah bisa menjadi badan usaha kelurahan. Teknologi tidak akan efektif bila warga Jakarta tidak peduli dengan sampah mereka.

"Sampah jangan dianggap sampah, kecuali warga malas dan jadi sampah masyarakat. Sampah jangan jadi musuh, tapi untuk peningkatan kesejahteraan," katanya.

Dinas Kebersihan DKI terus mendorong warga Jakarta untuk ikut mengolah sampah rumah tangga mereka. Akan ada sistem informasi bank sampah (Sibas) berupa kartu pintar bagi warga yang menyetor sampah yang telah dipilah di bank sampah.

Menurut Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adji, warga yang ikut serta akan terkoneksi dengan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Warga anggota bank sampah bisa melihat saldo mereka dan mengetahui berapa banyak sampah yang dikumpulkan.

Hingga saat ini, sudah ada 234 bank sampah yang tersebar di seluruh Jakarta. Namun, dari jumlah itu, baru 10 bank sampah saja yang sudah implementasikan Sibas.

Sudah 2.000 kartu pintar telah didistribusikan. Bank sampah yang berjalan dengan baik tentu akan menekan volume sampah yang dibuang ke TPST Bantar Gebang. Karena itu, peran serta warga sangat diperlukan, agar bank sampah bisa berjalan lancar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya