Gerhana Matahari Cincin, Seberapa Istimewa?

Gerhana Matahari Cincin.
Sumber :
  • www.bmkg.go.id

VIVA.co.id – Fenomena gerhana kembali melewati wilayah Indonesia. Belum begitu lama rasanya, masyarakat Indonesia merasakan euforia dengan datangnya Gerhana Matahari Total (GMT) 9 Maret 2016, tapi kini sebentar lagi bakal menyaksikan Gerhana Matahari Cincin (GMC) pada 1 September 2016.

Jangan Sampai Lewat! Begini Cara Lihat Gerhana Matahari Cincin Api di Indonesia

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dalam situsnya, Selasa 30 Agustus 2016, menuliskan gerhana tersebut akan terjadi pada 1 September 2016. Alur gerhana melewati Samudera Atlantik, Afrika bagian tengah, Madagaskar dan Samudera Hindia.

Sementara sebagian wilayah di Indonesia juga bisa mengamati GMC pada sore hari jelang Matahari terbenam. Namun penampakan yang terlihat berupa Gerhana Matahari Sebagian (GMS).

Apa Bedanya Gerhana Matahari Cincin dan Total?

BMKG mengatakan, pengamatan gerhana cincin itu bisa disaksikan di Kepulauan Mentawai, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur bagian barat.

GMC pada 1 September 2016 merupakan salah satu dari lima gerhana yang terjadi di Indonesia sepanjang 2016. Sebelumnya gerhana pada tahun ini diawali dengan Gerhana Matahari Total (GMT) 9 Maret 2016, Gerhana Bulan Penumbra (GBP) 23 Maret 2016, Gerhana Bulan Penumbra (GBP) 18 Agustus 2016.

Siap-siap Menyaksikan Gerhana Matahari 'Bola Disko'

Satu gerhana lain setelah GMC yaitu Gerhana Bulan Penumbra (GBP) pada 16-17 September 2016.

Pegiat astronomi, Avivah Yamani, dalam tulisannya di situs Langitselatan.com menjelaskan, GMC secara umum terjadi saat Matahari-Bulan-Bumi berada pada posisi segaris dan sejajar saat Bulan melintas di antara Matahari dan Bumi.

Bedanya, saat GMC ini, Bumi tidak akan gelap total seperti saat GMT. Penduduk Bumi akan melihat Matahari seperti cincin raksasa di langit saat seluruh permukaan Bulan menutupi permukaan Sang Surya.

Matahari menjadi cincin terjadi sebab posisi Bulan jauh dari Bumi, sehingga area yang tertutupi Bulan tak sepenuhnya, menyisakan piringan luar Matahari yang terlihat.

Beda lagi saat GMT, posisi Bulan dekat dari Bumi sehingga menutupi sepenuhnya permukaan Matahari dari posisi pengamat di daratan.

Tak ada cincin raksasa

Barangkali masyarakat di Tanah Air membayangkan akan melihat Matahari cincin pada 1 September nanti, namun sebenarnya penampakan GMC yang diamati di Indonesia terbilang tidak seistimewa layaknya GMT beberapa bulan lalu.

Sebab wilayah Indonesia hanya mendapatkan secuil saja dari lintasan GMC. Selain itu momen GMC yang melewati Indonesia berburu dengan saat Matahari terbenam dan kondisi cuaca.

"Kita dapat GMC secuil saja, itu pun (dapatnya) di bagian akhir di penghujung gerhana dan kita mentoknya saat Matahari terbenam," ujar Avivah yang merupakan lulusan magister astrofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu kepada VIVA.co.id, Selasa 30 Agustus 2016.

Hal senada juga disampaikan oleh peneliti astronomi an astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Emanuel Sungging Mumpuni. Jebolan magister astronomi ITB itu mengatakan, GMC pada awal September 2016 tidak punya keistimewaan, sebab hanya sedikit sekali yang terlihat. Belum lagi, kesempatan untuk melihat GMC hanya jelang beberapa saat Matahari terbenam.

Meski sejumlah wilayah Indonesia mendapat lintasan GMC, tapi hanya wilayah tertentu yang punya kesempatan melihat sempitnya GMC. Kepala Lapan , Thomas Djamaluddin, mengatakan wilayah yang ‘beruntung’ itu adalah Jawa bagian barat dan Sumatera bagian Selatan. Dua wilayah ini hanya bisa melihat fase akhir gerhana matahari sebagian, saat Matahari terbenam. Jadi saat Sang Surya terbenam, di bagian bawahnya mulai menyentuh piringan Matahari.

"Ya (tida akan tampak seperti cincin). Itu ketampakan dari Wilayah Indonesia saat akhir gerhana sebagian. Jadi tidak ada yang menarik secara khusus," kata Thomas.

Avivah mengatakan, secara lebih khusus wilayah yang berkesempatan melihat momen sempit GMC yaitu Bengkulu. Tapi itu pun masih dengan keterbatasan waktu dan ruang saat Matahari terbenam.

"Bengkulu masih bisa dapat, tapi sangat rendah banget. Gerhana Matahari saat itu posisinya 6-7 derajat. Maka harus cari pantai (untuk pengamatan)" jelas Avivah.

Sementara wilayah lain, seperti Bandar Lampung, maupun Jawa saat gerhana sebagian itu ada beberapa yang mendapatkan momen puncak gerhana, ada yang tidak.

BMKG menggambarkan, saat puncak GMC nanti, posisi piringan Bulan hanya ‘menyenggol’ sedikit dari piringan luar Matahari, sehingga tak memungkinkan membayangi Matahari dan membentuk cincin raksasa di langit.

Avivah mengatakan, secara persentase, wilayah Indonesia saat GMC hanya kebagian 1-3 persen saja. Praktis, bila secara pengamatan tak menarik bagi peneliti dan peminat astronomi. Bandingkan dengan momen GMT beberapa bulan lalu, yang mana wilayah Indonesia kebagian lintasan totalitas mulai dari 100 persen sampai 60 persen.

Ilustrasi Gerhana Matahari Cincin saat 1 September 2016

Sempitnya ruang dan waktu pengamatan GMC membuat peneliti tak bisa maksimal dalam mengamati perbedaan antara sebelum, saat dan sesudah gerhana.

Makanya, Avivah mengatakan bersama komunitas di LangitSelatan, wajar mereka tak berencana untuk menjalankan pengamatan. Alasannya selain sempitnya ruang dan waktu pengamatan, faktor cuaca juga menjadi kendala. Menurut prakiraan cuaca, pada 1 September nanti di wilayah Jabodetabek, cuaca tak bersahabat.

"Selain tipis banget, hanya beberapa menit saja, juga hujan. Kesempatan tak banyak.Kami jadi enggak ngamati, paling hanya beberapa orang saja yang ngamat, itu pun untuk kejar hilal (penentuan bulan baru kalender Islam)" jelas Avivah.

Meski GMC pada tahun ini dilabeli tak istimewa, tapi penduduk Tanah Air bisa menunggu momen istimewa GMC beberapa tahun lagi. Momen yang dimaksud yakni GMC pada 26 Desember 2019.

"Mungkin kita harus bersabar sampai 26 Desember 2019, kalau mau lihat GMC yang beneran lewat Indonesia," kata Sungging.

Senada dengan Sungging, Avivah mengatakan, momen GMC yang sebenarnya bisa diamati pada 2019. Saat itu, kata Avivah, jalur cincin GMS yang melewati Indonesia cukup besar.

"Cincin lintasi Sumatera Selatan, deket Batam, Tanjung Pinang dan Singapura," jelas dia.

Euforia besar di Afrika

Bicara respons masyarakat Tanah Air atas fenomena gerhana Matahari, Avivah menilai, secara umum animonya tinggi. Buktinya pada saat GMT Maret lalu, warga menyambut gempita dengan mengadakan pengamatan di ruang publik secara bersamaan. Saat itu beruntung Indonesia menjadi jalur utara GMT.

Saat GMT lalu, wilayah Utara dan Selatan Indonesia, di luar jalur utama totalitas, masih mendapatkan 60-70 persen jalur GMT.

Tapi untuk GMC kali ini, memang responsnya tak segempita GMT lalu. Soal hal ini, Avivah mengatakan, belahan benua lain yang menyambut animo tinggi GMC yaitu warga di Afrika.

Dia mengatakan, kondisi dan sambutan masyarakat Benua Afrika dengan GMC tahun ini kurang lebih sama kondisinya saat antusiasme warga Tanah Air saat GMT lalu.

"Satu benua (Afrika) dapat cincin (GMC). Ada pita (jalur) totalitas, ada GMS. di Afrika dapat GMS yang besar, euforia besar," ujarnya.

Pentingnya Gerhana Matahari Cincin

Sebenarnya di mata pegiat astronomi dan peneliti, momen GMC tak kalah pentingnya dengan GMT.

Avivah yang sudah sering 'berburu' gerhana di penjuru Nusantara bersama timnya, mengatakan pada 2009, dia sempat mendapatkan momen penting saat mengamati GMC.

Tujuh tahun silam, Avivah mengaku bisa fokus memotret manik-manik Baily (baily beads) yang umum terjadi saat momen gerhana Matahari.

"Jadi bisa lihat meski belum sempurna. Saat itu sinar mungkin melewati permukaan Bulan," ujar Avivah.

Dia mengatakan, saat GMC, ada momen-momen tertentu yang bisa menyaksikan pemandangan indah.

Soal momen tertentu GMC di mata pegiat astrofotografi, memang mengasyikkan. Terutama, saat menjelang dan sesudah puncak GMC.

Pegiat astrofotografi Ronny Syamara mengatakan, saat momen puncak GMC itu, pengamat bisa mengamati manik-manik Baily yang disebabkan oleh lewatnya berkas sinar Matahari dari celah-celah permukaan Bulan yang tidak rata.

"Untuk bisa melihat hal ini, pengamat membutuhkan timing yang akurat dan pengamatan dibantu dengan alat teropong atau teleskop yang dilengkapi filter Matahari," jelas Ronny kepada VIVA.co.id.

Sementara di mata Sungging, momen GMC selain menarik melihat bentuk cincin di langit, pengamat bisa mempelajari saat-saat kontak gerhana untuk memverifikasi perhitungan teroritis dibandingkan kenyataan saat-saat gerhana.

"Tapi yang paling menarik tentunya bagi para peminat astrofotografi untuk mengabadikan momen," kata dia.

Waktu Gerhana Matahari Cincin

Waktu kejadian gerhana di setiap lokasi akan berbeda-beda. Secara umum, BMKG menuliskan, kontak pertama GMC 1 September 2016 di Indonesia adalah di Pacitan, Jawa Timur yang terjadi pada  pukul 17:26:00,9 WIB, untuk selanjutnya menyebar ke daerah lainnya.

Mengingat gerhana ini terjadi saat sore hari Indonesia, semua lokasi di Pulau Jawa dan Kalianda, Lampung  hanya terlewati oleh kontak pertama saja untuk kemudian Mataharinya terbenam.

Puncak gerhana akan pertama kali teramati di Seai-Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada pukul 17:52:18,5 WIB untuk selanjutnya menyebar ke lokasi lainnya di Sumatera.

Setelah puncak gerhana ini, Matahari pun terbenam di semua kota di Lampung, serta di beberapa kota di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Adapun proses gerhana berakhir ketika kontak terakhir terjadi. Hal ini akan teramati paling awal di Talang Ubi, Sumatera Selatan pada pukul 17:59:36,0 WIB dan paling akhir di Kepahiang,
Bengkulu pada pukul 18:06:58,2 WIB.

BMKG mencatat, wilayah yang menyaksikan durasi gerhana cincin ini terlama di Indonesia yaitu Kota Manna, Bengkulu. Gerhana cincin di kota ini terjadi selama 34 menit 3 0,1 detik.

Peta wilayah Indonesia yang dilalui Gerhana Matahari Cincin

Sementara, untuk wilayah DKI Jakarta, kontak pertama gerhana atau saat piringan Matahari mulai tertutupi Bulan terjadi antara pukul 17:30 sampai 17:32 WIB dan durasi gerhana antara 21-22 menit.

Secara detail BMKG menuliskan, untuk Jakarta Barat bisa mengamati awal gerhana pada pukul 17:30:26,9 WIB dengan durasi gerhana 22 menit 9,8 detik.

Wilayah Jakarta Utara bisa mengamati awal gerhana pada pukul 17:30:35,5 WIB dengan durasi gerhana 21 menit 41,7 detik. Selanjutnya untuk Jakarta Pusat bisa mengamati awal gerhana pada pukul 17:30:25,3 WIB dengan durasi gerhana 21 menit 58,8 detik.

Untuk Jakarta Selatan bisa mengamati awal gerhana pada pukul 17:29:57,6 WIB dengan durasi gerhana 22 menit 35,1 detik. Sementara untuk Jakarta Timur bisa mengamati awal gerhana pada pukul 17:30:16,1 WIB dengan durasi gerhana 21 menit 50,3 detik.

Sedangkan untuk Kepulauan Seribu bisa mengamati awal gerhana pada pukul 17:32:8,8 WIB dengan durasi gerhana 21 menit 22 detik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya