Bumi Makin Panas, Manusia Tak Kuasa Menghindar

Cuaca super panas di Australia
Sumber :
  • REUTERS/Bobby Yip

VIVA.co.id – Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) baru saja mengeluarkan laporan terkini soal suhu udara yang semakin panas di dunia. Agustus kemarin disebut sebagai bulan terpanas sepanjang sejarah. Padahal sebelumnya, NASA menyebut jika Juli adalah yang terpanas. Sebelumnya juga disebutkan bahwa tahun 2015 merupakan yang terpanas sejak 1880, setelah mereka menentukan tahun 2014 menjadi tahun yang paling terik.

Suhu Laut Mendatang Bakal Meningkat, Diperkirakan Akan Ada Badai Hebat dan Cuaca Ekstrem

Laporan NASA ini menunjukkan jika setiap tahun, bahkan setiap bulan, suhu udara semakin lama semakin meningkat panasnya. Semua orang pun tahu penyebabnya adalah perubahan iklim namun tidak ada yang bisa melakukan apa-apa untuk bisa menurunkan tren panas yang terjadi. Padahal penelitian yang dilakukan ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology, Prof. Jeremy Pal dan Prof Elfatih Eltahir, dikutip dari New York Times, menyebut jika cuaca panas di suatu wilayah akan menyebabkan perpindahan populasi manusia ke wilayah lain yang lebih sejuk.

Penelitian El Tahir menyebut, 2070 nanti populasi di Teluk Arab akan habis karena warganya tidak akan tahan dengan suhu panas sampai 60 derajat celcius. Jika panas terus menyerang, bukan tidak mungkin jika bumi akan menjadi planet yang tidak lagi bisa dihuni. Manusia akan punah dan tidak akan ada  lagi habitat yang mampu bertahan, seiring dengan volume air laut yang semakin meningkat.

2023 Dinobatkan Jadi Tahun Paling Panas Karena Suhu Bumi Terus Naik, Dampaknya Bikin Nangis!

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk bisa menghentikan panas yang meningkat dan berkelanjutan ini? Jawabannya mungkin hanya bisa dilakukan oleh para penguasa yang bersatu menghentikan perubahan iklim, memangkas jumlah gas rumah kaca di atmosfer yang semakin tebal. PBB sepakat untuk mengurangi pemanasan global sampai 2 derajat Celcius atau sekitar 3,6 derajat Fahrenheit.

Masyarakat juga sebenarnya bisa membantu dengan cara hidup mengeluarkan sedikit emisi karbon. Beberapa di antaranya dengan mulai bekerja di rumah dan tanpa harus ke kantor, tempat tinggal yang penuh dengan tanaman hijau, membiasakan daur ulang perangkat yang digunakan, dan lainnya.

Cuaca Panas Indonesia Jadi Tantangan Timnas Spanyol U-17 di Piala Dunia

Perubahan Iklim yang Tak Terhindarkan

Perubahan iklim memang bukan hal baru yang terjadi di bumi. Planet ini telah mengalami fluktuasi suhu udara dalam sejarah sejak 4,6 miliar tahun lalu, mulai dari zaman es sampai panas tropic yang ekstrim.

Namun meski suhu terus berubah, bumi selalu bisa mengendalikan suhu udara sampai tidak terlalu panas terik setara matahari. Salah satu yang berjasa mengendalikan panas matahari adalah adalah gas rumah kaca. Di atmosfer, gas rumah kaca terdiri dari karbondioksida, methane dan uap air.

Semua materi itu menangkap radiasi matahari dan berfungsi layaknya perisai panas yang menyelimuti bumi.  Tanpa gas rumah kaca, bumi akan memiliki rata-rata suhu udara sampai -18 derajat celcius, bahkan bisa dipenuhi oleh es dan tidak bisa lagi dihuni mahluk hidup.

Semua hal yang baik akan berubah menjadi buruk jika jumlahnya terlalu banyak. Begitu juga halnya dengan gas rumah kaca. Seiring dengan kegiatan manusia untuk kelangsungan hidup, makin banyak karbon dioksida yang terkumpul di atmosfer. Inilah kemudian yang mengakibatkan suhu udara mulai meningkat.

Data BBC menunjukkan, antara 2000 sampai 2010, rata-rata emisi di bumi telah meningkat empat kali lipat ketimbang dekade sebelumnya. IPCC menyebut jika emisi gas rumah kaca di bumi terus meningkat, akhir abad ini, dunia akan lebih panas 4 derajat celcius. Atau pada 2200 akan naik lagi rata-rata sampai 7 derajat celcius.

Menurut data Universe Today, berdasarkan laporan NASA, suhu udara di setiap wilayah di bumi berbeda-beda, bergantung pada banyak hal. Dilaporkan Earth Observatory milik NASA, wilayah bumi yang pernah mengalami suhu panas ekstrim adalah Gurun Lut di Iran dengan temperatur 70,7 derajat celcius. Setidaknya selama lima dari tujuh tahun masa penelitian, mulai 2003 sampai 2009. Namun pada 2003, lokasi terpanas di dunia adalah Queensland, Australia dengan suhu 69,3 derajat celcius. Sedangkan di 2008, suhu tertinggi sekitar 66,8 derajat celcius dan memapar wilayah dekat Turpan Basin di China bagian barat.

NASA juga menemukan wilayah paling dingin di bumi adalah di Soviet Vostok Station, dataran Antartika, dengan suhu minus (-)89,2 derajat celcius dan terjadi pada 21 Juli 1983. Yang paling dingin terdeteksi pada 10 Agustus 2010 di Antartika juga, dengan suhu mencapai minus (-)93,2 derajat celcius.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dalam laporannya bertajuk Climate Changer 2014 Synthesis Report, memprediksi dampak besar dari perubahan iklim ini. Pertama adalah volume air laut yang meningkat sampai satu meter pada 2100 nanti. Belum lagi cuaca ekstrim yang akan menimpa, termasuk badan yang semakin sering terjadi. Hujan juga akan berkurang sampai 30 persen sehingga menyebabkan kekeringan, terutama di wilayah dataran yang tidak terlalu tinggi.

Sedangkan di wilayah tropic, hujan justru akan semakin sering terjadi menyebabkan banjir yang tidak dapat dihindarkan. Akibatnya, panen tanaman akan menurun sampai 30 persen pada 2050. Spesies pun semakin mengalami kepunahan karena 40 persen ekosistem dipastikan terdampak perubahan iklim. Yang terparah, manusia akan semakin rentan sakit, utamanya penyakit menular dan gangguan pernapasan.

Kenaikan Sepanjang Masa

Menurut data peneliti dari Goddard Institute for Space Studies (GISS) NASA, rata-rata suhu global naik sekitar 0,8 derajat celcius sejak 1880. Dua pertiga dari pemanasan itu terjadi sejak 1975, dengan kenaikan 0,15 sampai 0,20 derajat celcius per 10 tahun sekali. GISS menyebut, meski kenaikannya hanya kurang dari satu derajat namun dampaknya cukup signifikan karena mampu menghangatkan laut, atmosfer dan daratan yang luas di seluruh penjuru bumi.

Di masa lalu, penurunan suhu satu sampai dua derajat bisa membuat bumi mengalami zaman es. Sedangkan penurunan sampai lima derajat celcius cukup mampu mengubur Amerika Utara kembali ke zaman es, seperti 20.000 tahun lalu.

Dari laporan NASA terbaru, yang diterbitkan 12 September 2016, Agustus 2016 memiliki temperatur global terpanas ketimbang yang pernah tercatat di bulan Juli lalu. Agustus mencapai 1,8 derajat Fahrenheit (0,98 derajat Celcius), yang artinya lebih panas dari rata-rata temperatur Agustus tahun 1951 sampai 1980. Disebutkan, tercatat 0,29 derajat Fahrenheit (0,16 derajat Celcius) yang paling panas dari Agustus 2014. Itu merupakan bulan Agustus yang paling panas kedua untuk saat ini.

Sebelumnya, 2015 lalu, peneliti bernama Adam Scaife, profesor badan pengamatan cuaca dari Met Office, Inggris menyebut 2017 akan menjadi tahun terpanas. Catatan peneliti menunjukkan pada 2014, 2015, dan 2016, suhu global mungkin mendekati tingkat rekor, yaitu 0,68 derajat celcius di atas suhu rata-rata 1961-1990. Hal ini dipengaruhi fenomena El Nino, yaitu menghangatnya permukaan laut di Samudera Pasifik dengan pendorong utamanya adalah adalah aktivitas manusia yang menimbulkan gas rumah kaca. 

Dengan semakin meningkatnya suhu udara di bumi, sepertinya kurang pas jika NASA menyebut tahun ini sebagai yang paling panas, atau bukan itu sebagai yang terpanas sepanjang sejarah. Tren ini terus mengalami kenaikan sehingga bukan hal yang mustahil jika tahun depan, atau bulan berikutnya akan menjadi yang paling panas ketimbang periode yang sama sebelumnya.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya