PON 2016, Antara Adu Gengsi dan Pembinaan Atlet Muda

Ilustrasi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Agus Bebeng

VIVA.co.id – Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat sudah dimulai. Upacara pembukaan PON edisi ke-19 tersebut diselenggarakan pada Sabtu, 17 September 2016.

Alasan Haru Jay Idzes Rela Lepas Kesempatan Bermain dengan Timnas Belanda Demi Garuda

Meski begitu, sudah ada pertandingan yang dimainkan sejak 13 September 2016 lalu. Perebutan medali pun sudah terjadi.

Sejauh ini, tuan rumah, Jawa Barat masih memimpin perolehan medali. Mereka mengoleksi 23 medali emas, 12 perak, dan 14 perunggu.

Di posisi kedua ada DKI Jakarta. Tim ibukota meraih 39 medali, 13 emas, 13 perak, dan 14 perunggu.

Kemudian, Jawa Timur melengkapi posisi tiga besar. Mereka mengumpulkan enam medali emas, 12 perak, dan 13 perunggu.

Media AS Sorot Kemenangan Timnas Indonesia Atas Vietnam: Patut Mendapat Pujian

Dengan kondisi seperti ini, Jawa Barat sudah memenuhi target pertama mereka. Sejak awal, tuan rumah memang ingin tancap gas sejak awal.

Jawa Barat berharap bisa memimpin klasemen perolehan medali sejak hari pertama. Jika itu terlaksana, maka tim Jawa Barat akan semakin percaya diri untuk menghadapi PON.

"Tentu menjadi motivasi bagi atlet-atlet lain. Kami mengharapkan momen ini bisa dimaksimalkan oleh mereka. Sebagai tuan rumah, prestasi Jawa Barat tentu sangat dinantikan," kata Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Jawa Barat, Yudha M Saputra.

"Kami berharap bisa terus mempertahankan posisi teratas, agar bisa menjaga stabilitas perolehan medali. Penting untuk unggul sejak awal demi mendongkrak posisi perolehan medali," lanjutnya.

Sepanjang 13 hingga 17 September 2016, ada 75 medali yang diperebutkan di PON 2016. Yudha pun berharap, Jawa Barat bisa menyabet banyak medali di periode tersebut.

Protes Mengalir

Namun, kelangsungan PON kali ini juga mendapatkan protes dari berbagai kalangan. Beberapa pihak menilai penentuan cabang olahraga dilakukan tak adil.

Mereka menganggap cabor yang dipertandingkan di PON sangat menguntungkan tuan rumah. Hal tersebut diungkapkan oleh Presidium Pemuda Indonesia.

Ketua Pembina PPI, Rudy Darmawanto, menganggap cabor yang dipertandingkan di PON sangat menguntungkan tuan rumah. Selain itu, dia meminta adanya peninjauan ulang terkait perangkat pertandingan yang ditugaskan.

"PON 2016 harus dijauhkan dari tata cara menghalalkan segala upaya agar tuan rumah menjadi juara umum," kata Rudy.

Pemilihan cabor juga menjadi salah satu hal yang disorot Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat. Djarot heran dengan pencoretan beberapa cabor yang dipertandingkan di PON.

Padahal, cabor-cabor tersebut akan dipertandingkan di SEA Games 2017 dan Asian Games 2018.

"Seharusnya, cabor yang ditandingkan di SEA Games dan Asian Games jangan dihapus. Sebab, sasaran kita bukan nasional, tapi internasional," ujar Djarot.

Ajang PON 2016 juga dikhawatirkan bisa menjadi salah satu ajang oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk melakukan tindak pidana korupsi. Namun, pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menjamin hal tersebut tak akan terjadi.

Sebab, pihaknya sudah menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta KPK. “Saya terus berkomunikasi dengan KPK dan BPKP. Saya yakin, kedua lembaga itu pasti memantau pelaksanaan PON saat ini. Sehingga, pelaksanaannya berjalan lancar dan tak ada masalah di kemudian hari,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi.

"Jangan sampai terulang di Jawa Barat. Jumlah dana yang disediakan memang besar dan sensasional. Sejauh ini, sudah kami monitor dan sesuai. Kami sudah menitipkan untuk memastikan semua alokasi dana ke BPKP," timpal Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Kemenpora, Gatot S Dewa Broto.

Memang, dana yang digunakan untuk menyelenggarakan PON 2016 tak sedikit. Anggaran untuk upacara pembukaan dan penutupan saja sudah menghabiskan Rp90 miliar.

Adu Gengsi

Perhelatan PON selalu dikaitkan dengan pembinaan atlet muda dari setiap cabor. Tapi, apakah pelaksanaannya sudah memenuhi sasaran?

Ditinjau dari aturan, justru pembinaan atlet muda lewat PON bisa saja terhambat. Sebab, tak ada larangan bagi setiap atlet berlabel Timnas Indonesia untuk ikut di dalam ajang PON.

Sepakbola contohnya. Aturan mengenai usia memang ada.

Hanya pemain di bawah usia 23 tahun yang bisa ikut di ajang PON. Namun, tak ada aturan yang melarang pemain berlabel Timnas U-19 atau U-23 untuk ikut serta.

Alhasil, pemain macam Deden M Natshir, Gian Zola, Febri Haryadi, Septian David Maulana, hingga Muhammad Hargianto, ikut serta.

Dengan keterlibatan mereka, bisa jadi, potensi munculnya pemain muda berbakat baru sedikit tertekan. Padahal, beberapa pemain hebat lahir lewat PON.

Sebut saja Andik Vermansyah, Boaz Solossa, Hamka Hamzah, Bayu Gatra, dan Lerby Eliandry. Mereka sempat bersinar di PON dengan status non-Timnas.

Kondisi yang sama juga terjadi di cabor bulutangkis. Atlet yang bisa bertanding adalah mereka yang berusia di bawah 25 tahun. Lagi-lagi, tak ada aturan yang melarang pemain berlabel Timnas untuk ikut.

Yang terjadi adalah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, mengirimkan atlet-atlet yang selama ini berlatih di pelatnas PBSI.

Jawa Barat dihuni oleh pemain-pemain seperti Anthony Ginting, Ricky Karanda Suwardi, Berry Angriawan dan Firman Abdul Kholik di kategori putra. Sedangkan, di kategori putri, ada nama Hanna Ramadhini, Gregoria Mariska, dan Tiara Rosalia Nuraidah.

Bergeser ke DKI Jakarta, Angga Pratama, Jonatan Christie, Marcus Gideon dan Wahyu Nayaka Arya (putra) dibawa ke PON kali ini. Di kategori putri, DKI Jakarta diperkuat Anggita Shitta Awanda, Della Destiara Haris dan Ruselli Hartawan.

Praveen Jordan, Ihsan Maulana Mustofa, Shesar Hiren Rustavio, Riyanto Subagja, Gloria Emmanuelle Widjaja, Melati Daeva Oktavoanto, dan Anisa Saufika, menjadi bagian dari tim Jawa Tengah. Lalu, Jawa Timur diperkuat Kevin Sanjaya, Edi Subakhtiar dan Ni Ketut Mahadewi.

Dengan peta kekuatan seperti ini, kecil kemungkinan ada tim lain yang bisa mendobrak dominasi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di cabor bulutangkis.

Namun, atlet bulutangkis nasional, Liliyana Natsir, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, kejutan bisa saja terjadi di PON kali ini.

"Menurut saya, masih efektif (untuk pembinaan). Batasan usia kan 25 tahun, artinya yang ikut rata-rata pemain muda. Ada peluang bagi mereka muncul ke permukaan dan memberikan kejutan di PON," kata Butet saat ditemui di pelatnas PBSI, Cipayung.

"Bayangkan, jika tak ada batasan umur, yang senior dan label Timnas seperti saya bisa saja main. Pasti banyak yang mau main karena bonus dari daerah kalau dapat medali besar juga, malah hampir sama dengan Olimpiade," lanjutnya.

Menyinggung pernyataan Butet soal bonus. Ada kesan bahwa PON 2016 menjadi ajang adu gengsi bagi setiap daerah untuk menggelontorkan dana besar demi memberikan bonus kepada para atlet peraih medali.

Jawa Barat menjanjikan bonus sebesar Rp100 juta untuk atlet peraih medali emas. Kemudian, DKI Jakarta tak mau kalah.

Djarot menyatakan bonus yang diberikan pihaknya jauh lebih besar. "Biarkan saja Jawa Barat Rp100 juta, Kita jauh lebih besar dari itu lah," kata Djarot.

Namun, Djarot enggan membeberkan berapa nominal bonus yang akan diberikan kepada atlet berprestasi. Sebab, dia tak mau uang menjadi patokan.

"Jangan hanya dijadikan gengsi daerah. Kami sadar, sekarang DKI Jakarta menjadi sasaran untuk dikeroyok agar tak jadi juara umum. Kami siap memberikan yang terbaik," ungkap Djarot.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya