Jerat Pejabat, KPK Malah akan 'Dibabat'

Mantan Ketua DPD Irman Gusman saat ditangkap KPK.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id – Penangkapan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  direspons ramai para politikus. Bukan mendukung operasi tangkap tangan, lembaga antirasuah ini justru banyak dikritik. Pascapenangkapan kepala lembaga negara itu, KPK lantas disebut semata bahadur (berani) atas perkara remeh.

Mantan Ketua DPD Irman Gusman Menghirup Udara Bebas

Irman Gusman resmi jadi tersangka KPK setelah diperiksa hampir 24 jam pasca tangkap tangan Sabtu dini hari, 17 September 2016. Irman yang telah dua kali menjabat sebagai orang nomor satu di lembaga DPD disangkakan menerima suap terkait distribusi gula impor. Dia menjadi tersangka bersama para terduga pemberi suap.

Irman menjadi pengguna rompi jingga, tanda status tersangka itu setelah dikuntit Satgas KPK sekitar dua jam 45 menit tak jauh dari kediaman Irman yang berada di kompleks pejabat dan kalangen elite. KPK lalu menggelandang Irman dan lainnya dengan sitaan uang Rp100  juta. Uang itu disimpan di kamar Irman setelah menemui tamunya yaitu  pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya, Memi.
 
Suap diduga diberikan agar Irman yang notabene punya pengaruh  non formal itu merekomendasikan perusahaan tersebut mendapatkan jatah kuota distribusi dari Perum Bulog  untuk Sumatera Barat.

KPK Soroti Vonis Irman Gusman

Namun buntut penangkapan KPK ini, ternyata bergulir tak hanya pada proses hukum. Tak sedikit politikus baik dari DPD maupun dari lembaga saudara tuanya, Dewan Perwakilan Rakyat yang mempermasalahkan tetek-bengek aksi operasi tangkap tangan KPK.

Yang diributkan para anggota Dewan soal perkara Irman ini beragam. Namun pada dasarnya sedang melempar kritik ke KPK yang kini dipimpin Agus Rahardjo itu. Pada awalnya, ada pihak yang mempertanyakan nominal uang sitaan KPK Rp100 juta. Beberapa anggota DPR dan DPD mengingatkan bahwa KPK selayaknya tidak mengurusi kasus-kasus kecil. Di sisi lain mega skandal korupsi terkesan dibiarkan.

Divonis Bersalah, Irman Gusman Masih Terima Gaji dari DPD

“Jangan-jangan (kasus) 50 juta (Rupiah) nanti digarap juga sama KPK. Lalu apa tugas Polsek?” kata Anggota DPD Gede Pasek Suardika sinis saat dihubungi VIVA.co.di, Senin 19 September 2016.
 
Mantan Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat itu mengingatkan agar KPK tak hanya besar nyali atas kasus-kasus yang relatif sepele. Padahal kasus-kasus miliaran  dan triliunan Rupiah seperti kasus tambang masih berdaftar panjang. Tak hanya itu, Pasek juga mempertanyakan relasi antara wewenang DPD dengan dugaan suap yang dituduhkan kepada Irman. Komisioner KPK dinilainya harus bisa menjelaskan hal itu seterang-terangnya.

“DPD enggak ada urusan impor. Bagaimana kewenangan disalahgunakan, masih ada pasal-pasal terputus-putus dan perlu dijelaskan di publik,” lanjutnya.

Tak jauh berbeda, Anggota Parlemen dari Komisi III, Taufiqulhadi justru merasa curiga kepada KPK. Menurutnya, selain angka uang sitaan Irman yang relatif subtil, KPK juga tak menyampaikan indikasi kuat bahwa ada komunikasi Irman perihal tawar-menawar kuota impor. Meskipun diketahui bahwa Ketua DPD tersebut memang mewakili Sumatera Barat.

Dia juga menilai fungsi pencegahan KPK tak jalan. Buktinya, KPK dinilai seharusnya sudah bisa mengendus bahwa pengusaha yang sedang berperkara di Sumatera Barat akan mendekati pejabat negara dan karena itu Irman sebaiknya sudah diwanti-wanti.

“Jangan mentang-mentang katakan ini masalah moral pemimpin. Bermoral atau tidak, tak bisa seperti itu. Kan sudah ada kesepakatan, KPK harus menangani kasus di atas 1 miliar (Rupiah),” kata Taufiqulhadi dari Fraksi Partai NasDem.

Ihwal lainnya yang dipersoalkan terkait penetapan itu, kesempatan yang dianggap mesti diberikan KPK kepada Irman. Agus Rahardjo Cs dicap terlalu terburu-buru dan cenderung prematur menetapkan Irman Gusman sebagai tersangka suap

Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyo menilai, apabila memang Irman memegang uang yang diduga gratifikasi maka dia perlu mendapatkan kesempatan untuk mengembalikannya ke KPK. Jeda waktu yang diatur untuk itu hingga 30 hari setelah uang diterima. Sayangnya KPK menurut dia tak mengamini kans potensi pengembalian barang gratifikasi.

“Dalam perdagangan, dia (Irman) tidak punya kekuatan politik apa pun untuk menekan Bulog melaksanakan sesuatu atas keinginannya karena dia (Irman) DPD, tak ada kaitannya,” kata Bambang Soesatyo.

Merembet Revisi UU KPK

Tak hanya menuding OTT KPK, politikus Gerindra yang juga Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaidi Mahesa malah meluaskan wacana. Sembari mempertanyakan profesionalitas pimpinan KPK, dia menilai sudah saatnya UU KPK direvisi. Desmond mengklaim, selama ini Gerindra adalah partai dan fraksi yang pasang badan agar UU KPK tidak jadi direvisi. Namun langkah Gerindra menolak perubahan UU menurut dia perlu dievaluasi.

“Mungkin kami pikir-pikir akan berubah sikap juga. Kalau kemarin kami menentang ada perubahan UU KPK, ke depan kami akan ikut saja (dukung perubahan),” kata Desmond kepada VIVA.co.id.

Tak sekali dua kali, revisi UU KPK memang berusaha diloloskan untuk menjadi prioritas DPR setelah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun kuatnya kontra publik termasuk dari sejumlah fraksi di DPR membuat produk legislasi dasar hukum tugas dan wewenang KPK itu urung diutak-atik. KPK sendiri menentang keras perubahan UU. Perubahan UU menurut KPK dan para aktivis antikorupsi berniat menguliti kewenangan KPK baik dalam hal kuasa penyadapan, penahanan hingga pemberhentian penyidikan.

Namun menurut Desmond, saat ini KPK tidak memiliki cetak biru maupun peta jalan yang jelas dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menurutnya, kasus yang seharusnya prioritas justru terbengkalai. Dalam kasus Irman, KPK diragukannya hati-hati. Semua pejabat kata Desmond bisa saja didatangi pejabat mana pun. “Bahaya banget Republik ini kalau mainannya kayak gitu,” kata Desmond.

Sementara sejumlah kolega Irman di DPD turut melambuk (mendukung) tersangka tersebut dengan argumen bahwa Irman layak diberikan kesempatan untuk membela diri. Anggota DPD, I Gusti Ngurah Arya Wedakarna mengatakan beberapa anggota DPD akan membuat petisi untuk meminta penangguhan penahanan kepada KPK.

“Kelembagaan dari DPD ya siapkan bantuan moral. Bahkan ada kawan-kawan kumpulkan tanda tangan untuk menangguhkan penahanan,” kata Arya di Gedung DPR, Jakarta.

Setidaknya kata dia, sudah ada 60 orang anggota DPD yang setuju soal penangguhan tersebut. Wacana ini mulai digerakkan melalui grup komunikasi para senator.

KPK Tak Bodoh

Selama dua hari dituding bertubi-tubi, KPK angkat bicara. Termasuk soal nominal angka uang sitaan yang kerap dipersoalkan. KPK menyatakan yang menjadi utama dalam penetapan tersangka yaitu posisi Irman yang tak lain adalah pejabat atau penyelenggara negara.

“Dia (Irman) ditangkap karena dugaan terlibat dalam kasus korupsi dan statusnya sebagai penyelenggara negara,” kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak. Dengan kondisi demikian, besar nilai uang sitaan bukan lagi yang menjadi syarat terpenting.  

Hal itu disampaikan KPK, juga untuk merespons cemoohan pengacarai Irman Gusman, Tommy Singh yang mengecilkan nominal sitaan KPK dalam kasus ini.

“Angkanya kecil sekali, bukan kelas Pak Irman lah kalau ngomong kasar ya, angka segitu buat saya tanda tanya,” kata Tommy Singh.

Di tengah polemik langkah KPK menjerat Irman Gusman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud Md membela KPK. Dia mengatakan yakin jika lembaga tersebut sudah melakukan tugasnya dengan patut dan tidak semberono dalam penetapan tersangka.

Dia mengingatkan, selayaknya publik paham jikalau KPK akan melakukan OTT maka didahului rangkaian pemantauan. Dan apabila kasus yang sedang diendus ‘nyangkut’ di pejabat tertentu, tak pula KPK gegabah tanpa dasar kuat menggelandang pejabat negara tersebut.

Mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur itu lantas mempertanyakan tudingan miring kepada KPK dalam kasus tangkap tangan kali ini. “Pak Irman dijebak? Saya menolak. KPK bukan lembaga bodoh juga,” kata Mahfud Md.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya