Logika Nasionalisme Presiden 'Orang Indonesia Asli'

Megawati Soekarnoputri, SBY dan Jusuf Kalla
Sumber :
  • Biro Pers Istana/ Abror Rizki

VIVA.co.id – Wacana perubahan konstitusi telah sekian lama bergulir. Namun kali ini, wacana itu menghangat tatkala menyoal akad calon presiden. Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan merekomendasikan pengembalian frasa kandidat presiden “orang Indonesia asli”. Wacana itu lantas polemik.

Kelompok Milenial Ini Dukung Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Partai Kabah pimpinan Romahurmuziy menilai, pasal yang memuat soal calon presiden di UUD 1945 selayaknya dikembalikan ke kalimat pasal awal konstitusi.

PPP menginginkan agar syarat calon presiden dan calon wakil presiden kembali ke UUD 1954 sebelum amendemen yaitu Pasal 6 ayat (1) Presiden ialah orang Indonesia asli. Sementara UUD 1945 hasil amendemen yang berlaku saat ini diterakan pada Pasal 6 yaitu,

Yusril Ungkap 3 Opsi Pemilu 2024 Ditunda: Tapi Risiko Politiknya Besar

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang undang.

MPR Ingin Dibuat Matriks Pro dan Kontra Amandemen UUD 1945

Sekjen PPP Arsul Sani menyatakan, keinginan mengembalikan kata “asli” itu bukan kehendak PPP semata. Dia menilai, pemikiran tersebut juga didorong aspirasi konstituen partainya. Menurut Arsul, sudah menjadi tugas partai politik menampung aspirasi rakyat.

Sementara kata asli, menurut Anggota Komisi III DPR ini bisa merujuk pada risalah BPUPKI dan PPKI pada masa lalu yang pernah membahas perihal orang Indonesia asli. Orang Indonesia asli merujuk pada suku-suku yang ada di Indonesia.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Sekjen (Wasekjen) PPP Achmad Baidowi mengatakan, rekomendasi ini dilakukan untuk mengembalikan semangat awal pembentukan UUD 1945.

“Naskah aslinya adalah Presiden dan Wapres adalah WNI asli, yakni berasal dari suku dan ras Indonesia,” kata Achmad Baidowi di Jakarta sebagaimana dikutip dari VIVA.co.id, Jumat 7 Oktober 2016.

Pada kesempatan tersebut, Wasekjen PPP ini memang tidak menjabarkan lanjut yang dimaksudkan dengan kata “asli”. Dia membenarkan hal itu perlu diperinci sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda nantinya.

Menurut Baidowi, dengan syarat hanya warga negara Indonesia dan lahir di Indonesia bisa berimplikasi bahwa salah satu orangtua calon Presiden bukan berasal dari suku asli di Indonesia. Oleh karena itu perlu dipertanyakan loyalitasnya terhadap negara.

“Saya kira ini tidak fair karena nasionalismenya belum teruji,” kata Baidowi.

Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai rekomendasi Partai Kabah adalah hal yang masuk akal. Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi argumen perlunya pengembalian frasa orang Indonesia asli itu layak dipertimbangkan.

“Saya sepakat dan setuju kita kembali ke UUD 1945. Itu salah satu (cara) menjaga keindonesiaan kita,” kata Pangi Syarwi Chaniago kepada VIVA.co.id, Senin 10 Oktober 2016.
 
Dia menjelaskan, selama empat kali perubahan UUD 1945, selalu ada substansi yang hilang dari hal-hal yang dirumuskan para pendiri bangsa. Alhasil, proteksi terhadap kepentingan nasional kian memudar. Hal itu juga terlihat dari adanya sejumlah undang undang (UU) yang dinilai sangat berpihak kepada asing karena tidak dibatasi oleh konstitusi.

Pangi melanjutkan, para founding fathers sebenarnya sudah memiliki  visi yang jelas saat merumuskan UUD 1945. Namun sayangnya para penerus bangsa dan para pemangku kepentingan justru tidak meneruskan visi yang menekankan pada perlindungan terhadap kepentingan negara tersebut.

“Pasca amendemen, kehidupan berbangsa kita sudah enggak karu-karuan, sangat liberal dan banyak produk UU titipan dan kepentingan asing menyusup,” katanya.  

Ahistoris dan Ekstrem

Setelah era Reformasi, perubahan konstitusi ibarat sebuah keniscayaan sebagai dasar pembaruan sistem pemerintahan menjadi demokrasi. Amendemen demi amendemen kemudian dilakukan hingga empat kali banyaknya.

Amendemen pertama dilakukan pada tahun 1999. Pada saat itu dilakukan perubahan pada Pasal 6 dengan mengganti ayat (1) yang tadinya menyebut “…orang Indonesia asli…” menjadi “…harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain…”.

Sementara amendemen kedua terjadi pada tahun 2000 terhadap sejumlah pasal namun tanpa perubahan di Pasal 6. Amendemen ketiga dan keempat yaitu tahun 2001 dan 2002. Pada perubahan ketiga, tidak ada revisi di Pasal 6, namun untuk amandemen keempat, dirincikan kembali Pasal 6A perihal mekanisme perolehan suara terbanyak calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilantik.
 
Tak lama, rekomendasi PPP yang berencana diloloskan itu ditanggapi kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan  Rakyat (MPR). Ketua Fraksi PDIP di MPR Ahmad Basarah menilai bahwa usulan PPP adalah klausul yang ahistoris alias buta sejarah atas politik hukum di Indonesia.

Basarah mengatakan, istilah asli perlu ditekankan pada awal penyusunan UUD 1945 karena konteks proses kemerdekaan Indonesia masih dibayang-bayangi pemerintah Jepang. Namun keadaan saat ini sudah jauh berbeda.

“Untuk menghindar dari kemungkinan dicalonkannya seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia yang masih baru, maka frasa Indonesia asli dicantumkan. Maknanya adalah bukan orang asing atau lebih khusus dalam konteksnya bukan orang Jepang,” kata Ahmad  Basarah.
 
Menurutnya, frasa orang Indonesia asli bukan untuk membedakan pribumi dan non pribumi, melainkan orang Indonesia dan orang asing. Dia menilai, selain ahistoris, keinginan mengembalikan frasa itu pada masa kini bisa dimaknai  sebagai bentuk diskriminasi. Implikasinya, akan membedakan hak warga keturunan mendapatkan jabatan publik padahal mereka sudah dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Air.

Tak jauh berbeda, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga mempertanyakan rekomendasi klausul mengembalikan frasa calon presiden orang Indonesia asli. Dia bahkan menganggap pemikiran tersebut terlalu ekstrem. Belum lagi kata Fahri, definisi kata “asli” akan susah dijabarkan dalam konteks keindonesiaan yang memang memiliki masyarakat yang majemuk.

“Orang Indonesia pada dasarnya adalah keturunan Arab karena Arab membawa agama Islam. Orang Indonesia juga keturunan orang China karena mereka membawa agama Budha,” kata Fahri Hamzah.
 
Dia juga mengingatkan proses politik perubahan konstitusi yang tak mudah dan harus dilakukan dengan cermat dan bijak. Perubahan UUD 1945 hasil amendemen hanya karena satu pasal, harus memiliki dasar pemikiran yang kuat.

“Ketika masuk ruang publik maka identitas kultural dan etnik jangan dipersoalkan karena itu ruang publik. Yang tidak boleh itu misalnya menyuruh orang Islam menjadi pastor,” kata Politikus PKS ini. Yang tidak boleh itu misalnya menyuruh orang Islam menjadi pastor,” kata Politikus PKS ini.

Nasionalisme yang lebih Terbuka

Dihubungi VIVA.co.id, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai pengajuan aspirasi atas konstitusi adalah hak PPP sebagai partai politik. Dalam ilmu konstitusi kata dia, memang ditemukan beberapa jenis kebijakan yang dianggap sebagai affirmative policy yakni penyimpangan konstitusi dengan melakukan pengistimewaan bagi kelompok tertentu agar tercipta keadilan.

“Harus diakui di tengah-tengah masyarakat masih ada pandangan yang seperti itu dan PPP menyatakan itu sebagai suara sebagian masyarakat. Makanya itu boleh saja,” kata Mahfud.

Dia mencontohkan, di Malaysia terdapat perlakukan khusus terhadap ras Melayu sebagai bentuk ekspresi nasionalisme untuk melindungi kaum mayoritas. Namun kembali ke usulan PPP, Mahfud sendiri merasa kurang sreg. Menurutnya, konsep nasionalisme Indonesia pada saat ini sudah bergeser dan lebih terbuka. Nasionalisme tak lagi mengutamakan soal ras dan suku.

“Pada awal-awal kemerdekaan dahulu sampai empat dekade berikutnya, nasionalisme kita memang berwujud dalam konsep seperti yang dikemukakan PPP. Sekarang konsep dan penghayatan sudah berubah,” kata mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya