ISIS Tak Henti Hantui Polisi

Pelaku penyerangan polisi di Pos Polisi Yuppentek, Tangerang Kota, Kamis, 20 Oktober 2016.
Sumber :
  • istimewa

VIVA.co.id – Indonesia kembali diguncang aksi teror, dan lagi-lagi, Kepolisian menjadi target aksi-aksi radikal orang-orangnya yang tak jelas tujuannya itu.

Top Trending: Ahok Sebut Jokowi Tak Bisa Kerja, Timnas Indonesia Juara Piala Asia

Kemarin, Kamis 20 Oktober 2016, pukul 07.00 WIB, tiga anggota Kepolisian terluka, akibat diserang seorang pria berusia 21 tahun di Pos Polisi di Jalan Perintis Kemerdekaan, Cikokol, Kota Tangerang Banten.

Pelaku itu bernama Sultan Azianzah. Dia datang ke pos polisi dan langsung menyerang petugas Kepolisian yang tengah berada di lokasi. Sultan seorang diri. Bagai seseorang yang tak mengenal rasa takut, ia menyerang petugas secara membabi buta.

5 Perwira Polisi yang Menangani Kasus Bom Sarinah, Ada yang Berujung Masuk Bui

Bahkan, Sultan tetap melakukan perlawanan, meski tembakan beruntun telah dilepaskan anggota Kepolisian ke tubuhnya. Walaupun akhirnya, adik dari dua anggota Kepolisian itu menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang menuju RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

Penyerangan terhadap anggota Kepolisian, bukan pertama kali terjadi. Di tahun ini, kasus penyerangan terhadap anggota Korps Bhayangkara dan simbol-simbol Kepolisian, tercatat sudah lebih dari dua kali terjadi.

4 Kasus Besar yang Berhasil Ditangani Krishna Murti, Salah Satunya Jessica Wongso

Pada Selasa 5 Juli 2016, sekira pukul 07.45 WIB, pria bernama Nur Rohman, nekat melakukan aksi bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, Jawa Tengah. Nur melakukan aksi itu dengan cara memasang bom, dengan daya ladak rendah di tubuhnya.

Meski berhasil menerobos masuk ke dalam Mapolresta Surakarta, dan meledakkan bom, hanya seorang anggota Kepolisian yang terluka. Dan, hanya Nur yang menemui ajalnya dalam aksi itu.

Sebelumnya, pada Kamis 14 Januari 2016, sekitar pukul 10.40 WIB, Jakarta digemparkan dengan aksi peledakan bom dan baku tembak antara sejumlah teroris dan petugas Kepolisian di kawasan pusat bisnis Sarinah, Jakarta Pusat.

Lagi-lagi, targetnya adalah simbol Kepolisian, karena bom diledakkan di pos polisi di lokasi. Dalam, peristiwa itu, tujuh orang tewas dan 24 lainnya menderita luka-luka.

Dari tujuh orang yang tewas itu, diduga lima di antaranya adalah pelaku peledakan bom dan penembakan anggota Kepolisian. Satu korban lainnya adalah seorang warga negara Kanada.

ISIS menebar Teror di Indonesia

Tiga peristiwa aksi radikal ini, diklaim terkait dengan kelompok teroris dunia yang bermarkas di Suriah dan Irak, yakni Islamic State Iraq and Syria (ISIS).

"Kita (polisi) sedang mengejar jaringan pelaku, yaitu jaringan ISIS," kata Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, yang saat itu masih menjabat Kapolda Metro Jaya, usai terjadi peledakan bom Sarinah di Istana Negara, Jakarta.

Saat itu, Tito mengatakan, ISIS meluaskan jaringan mereka ke seluruh dunia, termasuk ke kawasan Asia Tenggara. Perluasan jaringan itu adalah perintah pemimpin mereka, Abu Bakr al-Baghdadi.

Menurutnya, ISIS pada masa awal kemunculannya, memang hanya beroperasi di Irak dan Suriah. Mereka belakangan mengubah strategi, dengan meluaskan jaringan dan mendirikan cabang-cabang di seluruh dunia: di Eropa, Afrika, Asia, termasuk Asia Tenggara.

"Khusus di Asia Tenggara, Bahrun Naim, dia menjadi leader (pemimpin) ISIS di Asia Tenggara. Di Filipina, sudah dideklarasikan," katanya.

Sementara itu, dalam aksi penyerangan terhadap petugas Kepolisian di Tangerang, pelaku juga mengungkapkan bahwa dirinya melakukan tindakan brutal itu atas imbauan dari  Abu Bakr al-Baghdadi.

"Suruhan khalifah, Abu Bakr Al Bagdadi. Khilafah di Irak," kata Sultan, sebelum meninggal dunia. (Lihat video pengakuan klik ini, link )

Namun, pengakuan Sultan itu, dimentahkan mantan aktivis kelompok radikal asal Lamongan, Jawa Timur, Ali Fauzi Manzi. Menurut mantan instruktur bom Jamaah Islamiyah (JI), wakalah Jawa Timur itu, siapapun berhak mengklaim dirinya sebagai bagian dari jaringan ISIS.

Tetapi, Fauzi meragukan bahwa Sultan bagian dari jaringan ISIS, meski dari tangannya diamankan benda mirip bom pipa dan lambang ISIS. Menurutnya, pola serangan yang dilakukan Sultan, jauh dari pola biasanya ISIS, meskipun dilakukan oleh anggota hasil rekrutmen awal sekali pun.

Fauzi juga meragukan Sultan adalah anggota Daulah Islamiyah. Dia berharap, polisi menganalisis itu secara mendalam. "Orang yang kenal kelompok seperti ini, tidak akan sebodoh itu," kata Fauzi.

Kendati begitu, Fauzi menganalisa, ISIS dan jaringannya masih hidup dan berkembang di Indonesia. "Kalau ISIS habis di Indonesia, tidak. Tetapi, kalau melemah, mungkin iya," ujarnya.

Menurutnya, jaringan ISIS di Indonesia masih ada. Contohnya, ialah Daulah Islamiyah, atau Negara Islam, yang anggotanya tersebar di beberapa negara, termasuk Indonesia. "Semua orang bisa mengklaim ISIS. Tetapi, apakah dia kenal dengan orang-orang ISIS Indonesia di Siria dan Irak," katanya.

Fauzi menyebut, beberapa daerah yang masih didiami dan jadi basis kegiatan kelompok ISIS di Indonesia. "Kekuatan ISIS tidak hanya di Poso saja. Di Jawa ada, di Surabaya, Jawa Tengah, dan di Jakarta, para pendukungnya masih banyak," ujarnya.

Polisi dianggap berhala

Sementara itu, pengamat terorisme yang juga mantan anggota NII, Al Chaidar mengatakan, penyerangan terhadap Kepolisian oleh kelompok-kelompok radikal, sebenarnya sudah terprediksi bakal terjadi.

Bahkan, Al Chaidar mengatakan, ia telah memberikan peringatan sejak beberapa bulan lalu.

"Hal seperti ini, sebenarnya sudah saya peringatkan sejak beberapa bulan yang lalu, setelah ada pernyataan Abu Sayyaf melalui video yang menyebarkan video tentang fatwa verbal yang menjelaskan apa saja untuk menyerang polisi, atau bahasa mereka menyerang 'thagut' (berhala)," katanya.

Hal ini, kata Al Chaidar, seharusnya bisa dengan cepat diantisipasi dengan cara menyebarkan kontra wacana, tentang makna 'thagut' bahwa sesungguhnya polisi bukan itu.

"Motifnya berdasarkan ideologis, mengikuti fatwa bahwa yang namanya 'thagut' adalah polisi. Dan, tidak menutup kemungkinan untuk ke depannya, mereka pun akan menyerang TNI. Sangat membahayakan gerakan radikal seperti itu," ujarnya.

Untuk itu, jebolan Universitas Indonesia itu, mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengambil peran. Sebab, Al Chaidar menilai MUI juga dibenci oleh orang-orang ISIS.

"Jadi, sangat kacau. Langkah yang tepat dan bijak adalah polisi harus mengubah citra mereka yang disebut seperti 'thagut', harus lebih Islami, dan mendekatkan diri kepada komunitas Muslim. Jangan terlalu otonom, atau terpisah dengan komunitas Muslim," katanya.

Lebih lanjut, Al Chaidar berharap, para pelaku dapat ditindak dengan tegas atas perbuatannya yang telah merugikan banyak pihak.  

"Untuk para pelaku harus ditindak tegas, jangan diberi toleransi, karena mereka membunuh orang yang beragama Islam tanpa hak, dan itu harus dihukum seberat-beratnya. ISIS itu sangat memalukan Islam. Jadi, umat Islam harus hati-hati dalam mengikuti firman Allah. Jangan keluar dari kaidah Islam sendiri," ujarnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya