Menghitung Jam Pemilu AS

Donald Trump (kanan) dan Hillary Clinton (kiri) saat berkampanye memperebutkan kursi Presiden AS.
Sumber :
  • REUTERS/Carlos Barria/Jonathan Ernst

VIVA.co.id – Pemilihan Presiden Amerika Serikat hanya tinggal menghitung jam. Tepat 8 November waktu AS, atau 9 November waktu Indonesia, rakyat Amerika yang berpopulasi 321 juta jiwa akan menjadi penentu siapakah yang layak menjadi penghuni Ruang Oval di Gedung Putih pada Januari 2017.

Donald Trump dan Kedua Anaknya Akan Diperiksa Terkait Penipuan

Jajak pendapat tentang siapa yang paling berpotensi menang mulai ramai. Seperti Ipsos/Reuters, Selasa, 8 November 2016, misalnya. Mereka menunjukkan bahwa Hillary Clinton dari Partai Demokrat memiliki 90 persen kesempatan untuk mengalahkan Donald Trump, rivalnya dari Partai Republik.

Mantan menteri luar negeri AS ini memimpin dengan perolehan suara 45 persen dibandingkan Trump yang meraih suara 42 persen, dan meraih total dukungan electoral college (dewan pemilih) sebesar 303 dukungan.

Donald Trump Ambil Surat Cinta Kim Jong Un dari Gedung Putih

Jika perkiraan ini stabil, maka Hillary telah memenuhi kebutuhan 270 suara yang dibutuhkan untuk memenangi kursi Presiden AS ke-45. Sementara, peluang Trump berakhir dalam penampilannya di Florida, Michigan, North Carolina, Ohio, dan Pennsylvania, di mana Hillary memimpin tipis dengan selisih tiga persen.

 Tiga dari lima swing state (negara bagian yang suaranya diperebutkan) tersebut hampir pasti akan menghasilkan kemenangan bagi Hillary. Andaikata Trump menang, maka ia membutuhkan jumlah pemilih yang lebih banyak dari pemilih kulit putih Partai Republik, surat suara pemilih Afrika-Amerika, dan peningkatan pemilih Hispanik (keturunan Latin).

5 Fakta Tewasnya Jenderal Qassem Soleimani, Iran Akan Balas Dendam?

Padahal, suara kaum Hispanik kemungkinan beralih ke Hillary, karena sikap Trump yang terlihat sangat anti dengan kelompok tersebut. Di mata pakar hubungan internasional, Aleksius Djemadu, meskipun Hillary diprediksi bakal mengungguli Trump, namun keduanya bukanlah calon yang ideal.

Menurutnya, kedua kandidat presiden memiliki rekam jejak (track-record) yang kurang baik, sehingga rakyat AS harus memilih pemimpin yang lebih rasional dan tidak konservatif. “Mereka bukanlah calon ideal. Dalam jajak pendapat saja, perolehan suara mereka bersaing ketat namun masih di bawah 50 persen,” kata Aleksius kepada VIVA.co.id.

Bukan calon ideal

Guru Besar Universitas Pelita Harapan ini memiliki alasan tersendiri mengapa Hillary dan Trump bukanlah calon ideal memimpin Paman Sam. Ia mengatakan, Trump merupakan sosok yang ambisius dan kebijakannya sangat konservatif.

Taipan New York itu juga berpandangan ultranasional lantaran antiimigran serta doyan melecehkan kaum perempuan. “Trump seorang yang blak-blakan. Ini sejalan dengan kebijakan Partai Republik. Kalau dia jadi presiden, banyak warga Amerika yang tidak siap ikut kebijakannya yang bias,” ungkap dia.

Sementara Hillary, Aleksius menyebut bila dirinya seorang bukan pribadi yang simpatik. Banyak dari warga AS yang tidak menyukai mantan rival Barack Obama dalam pilpres 2008 akibat menguaknya berbagai skandal.

“Skandal bobolnya email pribadi miliknya saat menjadi menlu yang berisi dokumen rahasia negara adalah satu di antaranya. Bagi yang membencinya, Hillary seperti ‘srigala berbulu domba’ dan mereka lebih memilih Trump”, papar Aleksius.

Presiden Barack Obama dan istrinya, Michelle pun sampai harus turun tangan untuk mengangkat pamornya. Hasilnya, elektabilitas Hillary kembali terdongkrak. Kendati demikian, ia menuturkan bahwa dari sisi kebijakan, pemaparan Hillary lebih rasional ketimbang Trump.

Sebab, jika menjadi presiden, Hillary akan mewarisi sebagian besar kebijakan Obama. Sedangkan, Trump dengan jargon Make America Great Again cenderung lebih keras dan tidak memihak warga AS keturunan.

Oleh karena itu, Aleksius memprediksi  bahwa tiga kelompok masyarakat, yakni Hispanik, Muslim dan kulit hitam, bakal memilih mantan Ibu Negara tersebut. Mengenai adanya politik uang karena penolakan Trump jika dirinya gagal menjadi presiden, Aleksius melihat hal itu sangat tidak mungkin terjadi.

“Itu sulit dilakukan. Karena masyarakat dan media mengawasinya dengan ketat. Saya rasa ada nanti jalan tengahnya (win-win solution),” jelasnya.

Tidak berubah

Pada kesempatan terpisah, Wakil Duta Besar AS untuk Indonesia, Brian McFeeters mengatakan, secara umum, siapa pun yang nanti menjadi Presiden AS, kebijakan luar negerinya akan sama dengan pemerintahan sebelumnya, terutama dengan Indonesia dalam hal penanggulangan terorisme dan perekenomian.

"Pada dasarnya kerja sama Amerika dengan Asia dan Indonesia itu sangat kuat. Contohnya seperti melawan terorisme, militer dan ekonomi. Secara umum tidak berubah. Ini adalah bentuk apresiasi kita kepada Indonesia dan Asia," kata McFeeters.

Ia lalu mencontohkan kerja sama latihan perang bersama TNI-AU dengan AS di Manado, Sulawesi Utara, beberapa waktu lalu. Latihan bersama yang bersandi "Cope West" ini merupakan pertama kalinya, dalam kurun waktu 19 tahun terakhir.

Menurutnya, ini adalah salah satu contoh dalamnya kerja sama militer kedua negara. Selain itu ada juga latihan militer “Pacific Partnership” di Padang, Sumatera Barat. "Kita bangga menjadi partner utama Indonesia di bidang militer," papar McFeeters.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya