Memaksimalkan Penggunaan Bahan Bakar Gas

Pertamina Vi-Gas sebagai alternatif bahan bakar minyak (BBM)
Sumber :

VIVA.co.id – Upaya pemerintah dalam memasyarakatkan penggunaan bahan bakar gas, atau BBG pada kendaraan pribadi masih belum optimal. Sejumlah langkah untuk mengonversi bahan bakar minyak ke gas, masih menemui sejumlah kendala.

Reaktivasi Pabrik PIM-1 Bakal Tingkatkan Produksi Pupuk Indonesia

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar pun menjelaskan sejumlah kendala, yang membuat lambatnya upaya pemasyarakatan BBG dalam sektor angkutan dan transportasi tersebut.

"Persoalannya, pertama, kalau seandainya 90 persen kendaraan kita dikonversi ke BBG, apakah kita sudah cukup bangun SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas)-nya? Apakah infrastruktur lainnya sudah terbangun? Apakah sudah memenuhi (syarat dan ketentuan) SPBG itu?" kata Archandra di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Senin 13 Maret 2017.

Harga Komoditas Dunia Meroket, Kargo Batu Bara Terdongkrak Naik

Kemudian, masalah lainnya yang menanti solusi dari pemerintah dalam upaya konversi bahan bakar minyak (BBM) ke BBG tersebut, adalah soal ketersediaan cadangan gas yang dimiliki pemerintah.

Sebab, menurut Archandra, konversi BBM ke BBG merupakan bentuk nyata penambahan permintaan akan ketersediaan pasokan gas itu sendiri. "Lalu, setelah infrastruktur, apakah gas kita cukup?" kata dia.

Konflik Rusia ke Ukraina Dongkrak Harga Minyak RI

Masalah ketiga, adalah kendala sinergitas antara industri otomotif sebagai produsen kendaraan bermotor, yang tentunya akan mempertanyakan apakah SPBG sudah tersedia jika produk kendaraannya dibuat menggunakan BBG.

"Kalau kita harapkan, kendaraan pakai BBG. Nah, kita tanya ke produsen mobil, apakah mereka mau bangun konverter, atau dual fuel, sehingga kendaraannya bisa pakai BBM dan BBG?  Lalu, kemudian mereka tanya juga, apa SPBG-nya sudah tersedia? Nah, masalah semacam ini kan seperti kasus chicken and egg, mana yang harus duluan," tutur Archandra.

Karenanya, ia berharap, agar setidaknya pihak pemerintah memberikan upaya percontohan, dengan penggunaan BBG pada kendaraan-kendaraan dinas resmi pemerintahan maupun angkutan umum.

"Maka realisasi BBG ini harus kita bangun dulu dari kendaraan umum dan kendaraan pemerintah. Kita harap semua kementerian ikut partisipasi, dengan membuat regulasi untuk kendaraan bermotor, serta lakukan uji instalasi kendaraan.”

Pengisian gas pada mobil berbahan bakar BBG

Selanjutnya, kurang promosi>>>

Kurang promosi

Arcandra mengaku kurang masifnya penggunaan bahan bakar gas, atau BBG pada sejumlah kendaraan di Indonesia, salah satunya disebabkan kurangnya promosi, serta penyebarluasan manfaat dari penggunaannya. Padahal, BBG berikan sejumlah manfaat bagi para pengguna kendaraan.

Karena itu, dalam upaya mengampanyekan pemanfaatan gas alam -khususnya CNG (gas alam kompresi)- sebagai bahan bakar kendaraan bermotor ini, Kementerian ESDM bersama  Perusahaan Gas Negara (PGN), Pertamina, Asia Pacificif Natural Gas Vehicle Association (ANGVA) dan Asosiasi Pengusaha CNG Indonesia (APCNGI ) menggelar '11th Natural Gas Vehicle & Infrastructure Indonesia Forum and Exhibition', yang diadakan mulai 13-14 Maret 2017.

Arcandra menjelaskan, betapa pentingnya upaya pengkonversian bahan bakar minyak ke gas, melihat pertumbuhan sektor transportasi sudah dua kali lipat dibanding pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahunnya.

"Pertumbuhan dari transportasi kita 13 persen per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi hanya 5,1 persen sampai 5,2 persen. Artinya, pertumbuhan kendaraan sudah dua kali lipat dari perekonomian kita," kata dia.

Ia mengaku, berdasarkan data yang dimiliki pihaknya, porsi terbesar penggunaan BBM di Indonesia adalah untuk transportasi, kemudian listrik, dan kebutuhan rumah tangga.

Karenanya, dia menilai jika program konversi BBM menjadi BBG, merupakan langkah prioritas yang harus dikejar oleh pemerintah, kementerian dan lembaga, serta seluruh stakeholder terkait di dalam sektor angkutan dan transportasi.

"Jadi, transportasi adalah pemegang konsumsi terbesar BBM yang ada. Ini sinyal bahwa kebutuhan BBM, di mana 13 persennya didominasi oleh kebutuhan transportasi, maka fokus kita untuk menjadikan, atau mengonversi BBM menjadi BBG adalah sebuah prioritas," ujarnya.

Apalagi, sambungnya, salah satu keunggulan penggunaan BBG, khususnya bagi kendaraan, atau angkutan umum adalah mesin kendaraan menjadi lebih dingin, atau adem. Sehingga, bisa lebih aman bagi penumpangnya.

"Tanya pengusaha Bajaj, gimana rasanya Bajaj yang pakai BBG. Gas itu kan less responsif, tetapi itu sangat menguntungkan penumpang, karena Bajaj bisa lebih 'adem'. Maka mari menggunakan Bbajaj yang pakai gas, karena penumpangnya juga jadi lebih adem, enggak perlu zikir banyak-banyak,"  tutur Arcandra.

Selain itu, dengan menggunakan BBG, tentunya dapat mencegah angkutan umum untuk bertindak kebut-kebutan dalam mengangkut penumpang, hal itu juga mendukung transportasi yang ramah lingkungan.

Karena itu, Ia kembali menekankan pentingnya promosi dan percontohan bagi penggunaan BBG tersebut, terutama oleh pihak-pihak Kementerian dan Lembaga dalam menerapkan kendaraan dinas, atau operasionalnya dengan menggunakan BBG.

Selain itu, dalam upaya penerapannya, sejumlah kementerian terkait harus bisa ikut berpartisipasi sesuai lingkup kerjanya, dalam upaya pemerintah mengonversi penggunaan BBM ke BBG tersebut.

"Kita harapkan semua kementerian ikut berpartisipasi. Kemenhub kita harapkan buat regulasi kendaraan bermotor dengan BBG. Kemenaker bisa menyiapkan keselamatan tabung gas, dan Kemendagri misalnya, kita harapkan mewajibkan pemda menggunakan BBG pada kendaraan dinas dan angkutan umum, yang di kotanya sudah ada stasiun BBG," kata Arcandra.

Pegawai SPBU

Berikutnya, siapkan regulasi>>>

Siapkan regulasi

Pemerintah melalui Kementerian ESDM pun benar-benar berupaya memasyarakatkan penggunaan BBG di masyarakat. Menurut Arcandra, saat ini, pihaknya sedang menyiapkan suatu regulasi berupa peraturan menteri (permen), yang akan mewajibkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) menyediakan dispenser gas.

Dia menilai, upaya ini merupakan langkah nyata Kementerian ESDM dalam mendorong program konversi BBM ke BBG. "Kami tengah menyiapkan permen baru agar tiap SPBU menyediakan dispenser gas," katanya.

Selain itu, ia menjelaskan, upaya memperbanyak stasiun pengisian gas ini dimaksudkan, agar masyarakat bisa mengetahui dan memahami secara utuh mengenai besarnya manfaat dari penggunaan BBG dibandingkan BBM.

Salah satu yang dijadikan contoh oleh Arcandra adalah para pengusaha, atau sopir Bajaj, yang akan lebih merasakan manfaat secara ekonomis, jika moda transportasinya itu menggunakan BBG. Sebab, biaya operasionalnya pun akan semakin rendah.

"Harga konverter kit kira-kira Rp26 juta. Tetapi, kalau pakai konverter kit, sebulan itu kita bisa hemat sampai sekitar Rp3 juta. Kalau dalam sembilan bulan saja, itu sudah bisa balik modal. Bulan-bulan selanjutnya, tinggal hitung untungnya," tuturnya.

Dalam upaya memasyarakatkan penggunaan BBG pada kendaraan-kendaraan di Indonesia, Kementerian ESDM memastikan jika penggunaan BBG masih jauh lebih aman dibanding penggunaan bahan bakar minyak.

Arcandra pun menegaskan bahwa penggunaan konverter kit ini sangat aman, terbukti dengan nihilnya laporan mengenai adanya ledakan pada tabung konverter kit di Indonesia selama ini. "Ada tidak, data di Indonesia yang sudah mengubah ke BBG, tabungnya meledak? Belum ada. Safe (aman) semua," kata dia.

Dia menegaskan, aspek keamanan merupakan poin yang selama ini sangat ditekankan oleh pemerintah, kepada para produsen konverter kit tersebut.

Sebab, aspek ini yang akan menentukan minat masyarakat dalam menggunakan alat konverter kit tersebut, sekaligus menjadi poin penting dalam upaya memasyarakatkan penggunaan BBG oleh masyarakat Indonesia. "Sehingga, dari segi 'safety' memang sangat menjadi perhatian kita," ujarnya.

Dalam upaya konversi BBM ke BBG, pemerintah membutuhkan sejumlah persiapan khusus dalam rentang waktu jangka panjang.

Menurut Arcandra, pentingnya aspek kesiapan infrastruktur, termasuk jumlah SPBG harus dipersiapkan oleh pemerintah guna mengawal upaya konversi BBM ke BBG tersebut. "Jadi, sebelum terjadi (impor gas), ya siapkan infrastrukturnya terlebih dahulu. Karena, kalau misalnya impor kan tidak serta merta tersedia infrastrukturnya," ujar dia.

Arcandra menilai, pembangunan infrastruktur guna mendukung suplai BBG itu harus menyesuaikan lokasi, antara kanal permintaan dan akses penyediaannya.Dia pun mencontohkan, misalnya BBG itu dibutuhkan di Yogyakarta, maka pembangunan regasifikasi dan pipanya juga harus dilakukan di sana atau di wilayah sekitarnya.

"Coba bayangkan, kalau butuh gas di Yogyakarta, tetapi regas-nya di Lampung, Nusantara Regas, dan di Benoa, itu gimana? Artinya, bangun ah infrastruktur ke sana, atau regasifikasi dekat Yogyakarta. Ini yang harus dipikirkan sewaktu impor gas," ujarnya.

Selain itu, Arcandra menilai jika hal lain yang juga penting dipersiapkan dalam upaya konversi BBM ke BBG, adalah hal-hal teknis terkait koordinasi dengan sejumlah pihak dan stakeholder terkait. Dia pun mencontohkan seperti misalnya kerja sama dengan produsen kendaraan, mengenai apakah mereka mau memasang konverter sehingga kendaraan produksinya sudah bisa menggunakan BBG dan bukan BBM lagi.

"Ini yang kita harapkan, agar semua kendaraan bisa pakai gas. Karena kendaraan menggunakan gas membuat penumpang lebih nyaman dan lebih 'adem' ketimbang BBM," ujarnya.

Sementara itu, sulitnya menerapkan dan memasyarakatkan penggunaan BBG di Indonesia, disebabkan karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah soal minimnya ketersediaan infrastruktur pendukung, yang membutuhkan dana pengembangan yang cukup besar.

Wakil Ketua Bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Joko Setijowarno mengakui, masalah infrastruktur tersebut merupakan salah satu inti permasalahan mengapa penggunaan BBG masih amat minim di Indonesia.

"Infrastruktur pendukungnya susah, masih jarang kan SPBG. Di Jakarta aja dulu waktu pertama kali mulai pemakaian gas belum ada SPBG, paling hanya satu atau dua," kata Joko saat dihubungi VIVA.co.id, Senin 13 Maret 2017.

Namun, Ia  menilai jika pemerintah masih bisa mengakali ketiadaan infrastruktur itu, melalui penyediaan mobil tangki yang dapat melayani pengisian BBG tersebut.

Dengan pemilihan lokasi yang aman, Joko menilai, mobil tangki penjual BBG itu bisa menjalankan tugas sementara, sampai infrastruktur pendukung seperti SPBG dan yang lainnya selesai dikerjakan pemerintah.

"Nah, karena yang dibutuhkan itu soal infrastruktur yang memang mahal, maka sebaiknya pakai sistem mobile saja dengan menggunakan mobil tangki gas yang keliling. Artinya, mobil tangki itu bisa mangkal di tempat-tempat yang dianggap aman, seperti yang sekarang ada di dekat Monas itu," tutur dia.

Mengenai kesiapan industri otomotif sebagai pihak produsen kendaraan bermotor, Joko menilai jika sektor tersebut justru lebih sulit lagi untuk masuk ke wacana, mengenai penggunaan BBG secara menyeluruh dalam produk-produk otomotif.

Sebab, adanya persaingan yang sangat ketat dalam sektor bisnis otomotif, serta maraknya praktik kartel dan politik bisnis lainnya, membuat industri otomotif menjadi salah satu pihak tersulit untuk dikoordinasikan terkait penerapan penggunaan BBG tersebut.

"Kalau di industri otomotif, untuk bisa mengakalinya agak susah. Karena kan, di industri otomotif itu sendiri kalau misalnya mereka ganti ke sistem BBG, kan hitungan (harga jual)nya juga jadi beda," kata Joko.

Sementara itu,  Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, dalam penyediaan dispenser gas oleh para pengusaha SPBU tersebut, pemerintah tidak akan menanggung tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka. Namun, sebagai kompensasi, pemerintah akan menawarkan tambahan margin bagi SPBU tersebut dalam memperoleh pasokan gas.

"Pengusaha bangun tambahan dispenser (gas)nya sendiri. Namun, tentu saja ada margin di gasnya. Nanti kita akan hitung berapa margin gas yang bagus," kata Wiratmaja di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Senin 13 Maret 2017.

Ia menambahkan, nantinya tidak semua SPBU diwajibkan memasang dispenser gas tersebut. Namun, ketika ditanya mengenai kriteria SPBU seperti apa yang akan diwajibkan menyediakan dispenser gas itu, Ia pun belum bisa memberitahunya secara mendetail dan pasti.

"Nanti, setiap SPBU di daerah-daerah tertentu yang sudah ada infrastruktur gas, akan diwajibkan untuk punya satu dispenser gas di SPBU," ujarnya.

Sebagai tambahan, menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), penggunaan BBG bagi kendaraan di 2016 mencapai 3,49 BBTUD. Angka ini mengambil 0,05 persen dari pemanfaatan gas bumi di Indonesia, yang pada tahun lalu mencapai kisaran angka di 6.991,4 BBTUD. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya