Ribut-ribut Berebut Kuasa di DPD

Ricuh sidang paripurna DPD.
Sumber :
  • Antara/Ubaidillah

VIVA.co.id - Kiprah anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD kembali menjadi sorotan masyarakat di tanah air. Setelah beberapa waktu lalu ketua lembaga tersebut, Irman Gusman, sempat menggegerkan publik akibat tertangkap tangan oleh KPK, kini justru terlibat keributan di antara mereka sendiri.

Ketua DPD LaNyalla: Kemiskinan Sulit Dientaskan Pemerintah

Keributan itu terjadi di sebuah ruangan Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin, 3 April 2017. Ketika itu, para anggota DPD hendak menggelar sidang paripurna dengan agenda membacakan putusan Mahkamah Agung terkait tata tertib tentang masa jabatan pimpinan lembaga tersebut.

Namun, sebelum rapat dibuka kekacauan justru pecah terlebih dahulu. Bahkan tampak seorang anggota DPD menyeret rekannya dari podium yang berada di depan ruang rapat tersebut. Ia kemudian mendorong dengan cukup keras sehingga membuat sang rekan terjatuh ke lantai.

Ketua DPD Partai Golkar Seluruh Indonesia Menolak Munaslub, Tetap Dukung Airlangga Hartarto

Peristiwa ini segera memancing kericuhan yang lebih besar. Anggota DPD yang lain langsung mengerumuni tempat kejadian perkara. Sementara yang lain berdiri, berusaha menuju ke TKP dan menunjuk-nunjuk ke arah pelaku.

Suasana memang terlihat sangat kacau. Petugas pengaman dan kepolisian pun dibuat sibuk melerai mereka yang bertikai. Mirisnya, lantunan azan, salawat, dan lagu Indonesia Raya yang berkumandang tak mampu meredam amarah para senator itu.

LaNyalla: Sudah Seharusnya DPD Punya Proposal Perbaikan Konstitusi

[Lihat videonya di sini].

Rupanya, keributan atau kericuhan itu disebabkan oleh persoalan pergantian kepemimpinan di DPD. Sebagian anggota DPD mendukung aturan masa jabatan pemimpin lembaga itu selama 2,5 tahun, sedangkan pihak lainnya menolak dan mendukung aturan selama 5 tahun.

Persoalan itu kemudian dibawa ke MA. Namun akhirnya, lembaga peradilan tersebut mengabulkan uji materiil atas Peraturan DPD Nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun. MA membatalkan aturan itu dan mengembalikan masa jabatan pimpinan DPD selama 5 tahun.

Ketika Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad, ingin membacakan surat putusan MA, anggota DPD asal Jawa Timur, Ahmad Nawardi, tiba-tiba maju ke atas mimbar. Dia menolak pembacaan itu. Tindakan itulah awal mula dari kericuhan pada siang hari itu.

"Pimpinan sidang ini sudah demisioner, tidak sah untuk memimpin sidang," kata Nawardi saat ditemui di sela sidang tersebut.

Menurut Nawardi, pimpinan masa sekarang sudah habis masa jabatannya berdasarkan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2017, yang mana masa jabatannya hanya 2,5 tahun. Sehingga menurutnya, pimpinan paripurna saat ini harus diserahkan ke pimpinan sementara yaitu anggota yang termuda dan yang tertua.

"Pembacaan putusan MA nantinya dilakukan pimpinan sementara yang melakukan itu, bukan mereka. Kalau mereka tidak sah juga. Putusan MA, sudah ada putusan, untuk mencabut (Tatib 2017) ada internal melalui sidang paripurna. Sekarang belum ada sidang paripurna," ujar Nawardi lagi.

Sementara itu, Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang saat paripurna itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPD menilai anggota yang kontra dengan kepemimpinan saat ini karena mereka takut akan putusan MA yang dibacakan harus segera dijalankan.

"Kita harus patuh dengan putusan MA," ujar Hemas.

Menurut Hemas, dengan adanya keputusan MA itu, maka semua Tatib yang dipermasalahkan seharusnya dicabut. Dia pun sempat ingin agar agenda paripurna pada saat itu hanya membacakan putusan MA yang menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan DPD adalah lima tahun.

"Kalau sudah ada keputusan MA, itu semua sudah berhenti. Otomatis itu semua yang udah dilakukan sebelumnya sudah dicabut. Nah ini mereka yang takut kalau putusan itu dibacakan," kata dia.

Akibat perbedaan yang tajam di antara anggota DPD itu, sidang kemudian diskors. Setelah beberapa jam kemudian, sidang kembali dibuka.

Namun, keributan kembali terjadi. Penyebabnya, Hemas memutuskan secara sepihak bahwa DPD menerima keputusan MA yang mengembalikan aturan tata tertib tahun 2014 yaitu jabatan pemimpin DPD tetap dijabat selama lima tahun.

"Putusan kembali ke tata tertib tahun 2014," kata Hemas dengan diikuti aksi mengetuk palu.

Setelah itu, Hemas langsung meninggalkan ruang rapat paripurna DPD. Beberapa anggota DPD yang berang naik ke meja pimpinan rapat paripurna. Nawardi bahkan mengambil palu pemimpin rapat paripurna DPD.

Para anggota yang pro dengan tatib tahun 2017 alias masa jabatan pimpinan DPD hanya 2,5 tahun kemudian meminta agar keputusan Hemas itu dicabut dan paripurna dilanjutkan. Hujan interupsi lantas mewarnai forum tersebut. Sidang kembali diskors.

Selanjutnya... Oso Terpilih



Oso Terpilih

Pada Selasa dini hari, 4 April 2017, DPD kembali melanjutkan sidang paripurna. Mereka yang hadir sepakat untuk tetap memilih Ketua DPD yang baru. Hal itu menyusul pengajuan mosi tidak percaya atas putusan sepihak Wakil Ketua DPD GKR Hemas dan mundurnya Wakil Ketua Farouk Muhammad.

Saat pemilihan, muncul sejumlah nama yang masuk bursa pemilihan. Dari wilayah barat terdapat tiga calon yang maju sebagai pimpinan yakni Abdul Azis, Darmayanti Lubis dan Andi Surya. Dari wilayah tengah hanya terdapat nama Osman Sapta Odang (OSO) dan dari wilayah timur adalah Nono Sampono dan Bahar Gintung.

Meskipun terdapat sejumlah nama, namun sidang rupanya dengan cepat memilih nama Oso secara aklamasi sekitar pukul 02.00 WIB. DPD juga memilih Darmayanti Lubis dan Bahar Gintung sebagai Wakil Ketua, setelah kandidat yang lain mengundurkan diri.

"Menetapkan saudara Oesman Sapta sebagai Ketua, saudara Nono Sampono sebagai Wakil Ketua 1 dan saudari Darmayanti Lubis sebagai Wakil Ketua 2," kata pimpinan sementara DPD, Rini Damayanti, di ruang sidang Nusantara V, Senayan, Jakarta.

Setelah ditetapkan, Oso mengaku siap untuk memimpin DPD ke depan. Dia mengaku telah dibangunkan pada malam ini, untuk mengikuti bursa pemilihan pimpinan DPD ini.

"Insya Allah kami akan melaksanakan tugas murni ini dalam turut membangun bangsa," kata Oso yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR tersebut.

Ketua Umum Partai Hanura itu mengaku akan membawa DPD kepada tugasnya yang utama yakni menyampaikan kepentingan-kepentingan dari daerah kepada pusat. "Untuk menjaga dan juga memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerah," ujar Oso.

Selanjutnya...

Belum Selesai

Keterpilihan Oso dan pimpinan DPD yang baru lainnya secara aklamasi itu belum sepenuhnya tuntas. Perlawanan atas putusan itu masih disuarakan oleh Hemas.

"Intinya, pemilihan dan terpilihnya Oso semalam ilegal, dan inkonstitusional, tidak ada dasar hukum yang bisa dipakai," kata GKR Hemas kepada VIVA.co.id, Selasa, 4 April 2017.

Menurut Hemas, seharusnya seluruh anggota DPD satu suara dan paham aturan yang diputuskan Mahkamah Agung yang membatalkan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017. Putusan MA menegaskan masa jabatan pimpinan DPD lima tahun, bukan 2,5 tahun seperti di Tatib DPD.

"Itu yang harus dipahami. Semua harus taat konstitusi. Jangan memaksakan untuk berebut kekuasaan," lanjut senator asal Yogyakarta itu.

Kemudian, ia menambahkan persoalan DPD ini menjadi sorotan dari masyarakat luas. Hal ini yang semestinya jadi perhatian dan evaluasi bersama.

"Kami sudah jadi sorotan masyarakat luas. Harusnya bekerja tapi malah jadi pandangan yang enggak benar," tuturnya.

Oleh karena itu, dia menyebut pimpinan DPD yang baru dipilih itu tidak bisa dilantik. Karena menurutnya penetapan mereka bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung.

Hemas mengaku akan mematuhi penetapan Oso dan dua wakilnya sebagai pimpinan DPD itu seandainya tidak bertentangan dengan putusan MA.

"Seandainya putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa pemotongan masa jabatan pimpinan DPD RI yang ada sebelumnya adalah benar, maka kami tetap negarawan yang pasti tunduk pada putusan Mahkamah Agung. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya," ujar dia.

"Bahwa putusan Mahkamah Agung temyata menyatakan bahwa pemotongan masa jabatan tersebut adalah bertentangan dengan undang-undang," tambahnya.

Terkait adanya pihak-pihak yang tidak mengakui keterpilihannya itu, Oso sendiri tidak terpengaruh. Dia yakin penetapannya telah sah.

"Nah, sekarang tidak ada salahnya juga kita bisa adakan perubahan tatib. Karena itu sudah terjadi, kita rapat aja. Bikin tatib sesuai perintah MA," kata Oso.

"Ya kenapa tidak?" jawab Oso saat ditanyakan apakah dia yakin penetapannya telah sah.

Selanjutnya... Pro Kontra

Pro Kontra

Sejumlah pihak juga mengkritik keterpilihan Oso tersebut. Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, terpilihnya Oso masih perlu diuji keabsahannya, karena tak sesuai dengan putusan MA terkait tata tertib masa pimpinan DPD. Menurutnya, putusan MA yang menganulir dasar masa jabatan pimpinan DPD harus menjadi acuan.

Kolega Lucius di Formappi, Sebastian Salang, menambahkan bahwa salah ketik MA hanya teknis dan tak membatalkan putusan bahwa masa pimpinan DPD tetap lima tahun, bukan 2,5 tahun.

Namun, sikap berbeda dikemukakan oleh Partai Hanura. Mereka justru menyambut positif penetapan Oso yang juga menjabat sebagai ketua umum partai tersebut.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura, Tridianto, menilai Oso sangat layak menjadi Ketua DPD. Menurutnya, posisi Oso sebagai ketum parpol juga bukan alasan melarangnya memimpin lembaga DPD.

"Karena tidak ada halangan bagi kader parpol untuk jadi anggota atau pimpinan DPD. Jadi tidak usah dipersoalkan. Yang penting adalah komitmen untuk kemajuan daerah," kata dia.

Sementara itu, politikus Hanura lainnya, Dadang Rusdiana, menyampaikan pernyataan yang senada. Dia yakin pengalaman dan integritas Oso dapat menata dan memperbaiki citra DPD. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya