Ikhtiar Menjaga Pancasila, Jangan Hanya Basa-Basi

Pelajar SD, SMP, dan SMA bersiap mengikuti gladi upacara Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2017 di Gedung Pancasila, Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA.co.id – Kampanye reaktualisasi Pancasila membahana di media sosial menjelang peringatan hari lahirnya pada 1 Juni – yang baru mulai tahun ini menjadi hari libur nasional. Diawali pidato pendek Presiden Joko Widodo melalui video berlatar bendera Merah Putih, yang diunggah di Instagram.

Pentingnya Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Santri

Kepala Negara menyatakan, "Pancasila itu jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita, perekat keutuhan bangsa dan negara." Presiden mengakhiri video berdurasi 34 detik itu dengan kalimat "Saya Jokowi, saya Indonesia, saya Pancasila."

Klip pidato itu dipublikasikan dua hari menjelang hari lahir Pancasila pada 1 Juni. Bersamaan itu pula diselenggarakan Pekan Pancasila pada 29 Mei sampai 4 Juni 2017.

Rektor Universitas Pancasila Dinonaktifkan Buntut Dugaan Kasus Pelecehan Seksual

Dua hari setelah gerakan 'Saya Pancasila' di media sosial itu, Presiden membentuk lembaga baru yang disebut Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Badan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 itu untuk pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara, yang terencana, sistematis, dan terpadu.

Disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Presiden itu, “UKP-PIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.”

Dewan Profesor Universitas Brawijaya Minta Pemerintah Tidak Mencederai Demokrasi

Presiden belum mengumumkan langsung pembentukan badan baru itu. Kepala Negara baru menyampaikannya langsung tentang detail UKP-PIP dalam momen peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jakarta, pada Kamis, 1 Juni 2017.

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, hanya menjelaskan bahwa unit kerja itu akan terbagi dua, yaitu dewan pengarah yang berjumlah sembilan orang, dan bagian lain sebagai tim eksekutif atau pelaksana.

Selanjutnya...Pembinaan Ideologi

Pembinaan Ideologi

Unit kerja itu berbentuk lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Berdasarkan penjelasan dalam Peraturan Presiden, UKP-PIP memiliki sedikitnya tujuh tugas utama.

Dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, Setkab.go.id, UKP-PIP menyelenggarakan fungsi, antara lain, a. Perumusan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila; b. Penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan road map pembinaan ideologi Pancasila; dan c. Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila.

Lembaga itu juga berfungsi: d. Pelaksanaan advokasi pembinaan ideologi Pancasila; e. Pemantauan, evaluasi, dan pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; dan f. Pelaksanaan kerja sama dan hubungan antarlembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila.

Ringkasnya, lembaga itu bertugas dan bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai dalam lima sila dasar negara kepada setiap warga negara Indonesia.

Sebagian kalangan segera menganggap UKP-PIP menyerupai Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) di masa pemerintahan Orde Baru. Program BP-7 terkenal semasa pemerintahan Soeharto, yaitu penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Pengamat politik pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mempertanyakan relevansi dan urgensi pembentukan UKP-PIP, sementara lembaga serupa, yaitu BP-7--yang sesungguhnya sedikit atau banyak berfungsi sama--justru dibubarkan pada 1998.

Zuhro menengarai UKP-PIP akan bekerja, di antaranya, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang Pancasila, serupa juga dengan penataran P4 di era Soeharto. Padahal, katanya kepada VIVA.co.id, "Pancasila sebagai dasar negara tak cukup hanya dibuatkan lembaga yang mengurusi diklat atau training". Lebih penting daripada itu ialah pengamalan konkret dan konsisten nilai-nilai Pancasila.

Pengamalan konkret dan konsisten Pancasila, menurut Zuhro, bukan hanya semacam penataran bagi warga negara, tetapi juga harus merasuk dalam suprastruktur dan infrastruktur politik negara. Suprastruktur ialah tiga lembaga dan hubungannya, yaitu eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR dan DPD), dan yudikatif (lembaga peradilan). Sedangkan infrastruktur politik adalah partai politik, kelompok/organisasi masyarakat, media massa, dan lain-lain.

"Tanpa itu," katanya, "maka akan sia-sia saja mendirikan UKP-PIP", karena hanya akan terjebak pada pendirian lembaga dan mengisinya dengan orang-orang untuk menjalankannya. Seremonial dan formalitas belaka. Tapi, sesungguhnya "tidak serius untuk mensyaratkan atau mewajibkan semua, kita, baik di eksekutif dan legislatif maupun yudikatif, menjalankan nilai-nilai Pancasila."

Zuhro berterus terang, Pancasila memang menghadapi banyak tantangan, terutama ideologi-ideologi impor, yang mulai menggerus nilai-nilai dasar negara. Tapi, katanya mengingatkan lebih keras, UKP-PIP jangan sampai untuk politisasi Pancasila demi kepentingan tentatif pembenaran saja.

Singkatnya, menurut Zuhro, jangan sampai keberadaaan lembaga baru itu hanya menjadi pembenar bahwa pemerintahan Joko Widodo berkomitmen menjaga Pancasila. "Berdirinya UKP-PIP jangan sampai disalahpahami sebagai upaya basa-basi untuk menjaga Pancasila," ujarnya.

Yudi Latief, anggota Tim Perumus UKP-PIP, sudah mengantisipasi tudingan atau kecurigaan sebagian kalangan bahwa lembaga itu tak lebih dari penjelamaan BP-7 buatan Orde Baru--hanya modifikasi sana-sini lalu dikemas dengan nama baru.

Sedari awal lembaga digagas pada 2016, Yudi mengingatkan bahwa UKP-PIP berbeda dengan BP-7. Dia mengatakan, seperti dikutip dari laman Setkab.go.id, “Di dalam proses pengembangan Pancasila dalam gaya baru ini, kita ingin supaya lebih inklusif.”

Penataran P4 maupun BP-7 dinggap sangat sentralistik, militeristik, dan kaku. Peran dan suara masyarakat sipil yang kritis hampir dipastikan diabaikan, bahkan diposisikan sebagai ‘musuh Pancasila’.

Sedangkan UKP-PIP menggunakan pendekatan yang lebih demokratis, partisipatoris, solutif dan kreatif melalui berbagai metode, seperti strategi kebudayaan dan sosial-ekonomi, demi mengawal dan memperkuat Pancasila.

Maka, kata Yudi, UKP-PIP akan melibatkan semua elemen bangsa termasuk budayawan, tokoh agama, seniman, wartawan, tokoh adat, dan semua komunitas agar Pancasila bisa menjadi titik temu nilai bersama.

Selanjutnya...Penanaman Nilai

Penanaman Nilai

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terang-terangan mendukung pembentukan UKP-PIP karena dinilai amat penting untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada warga negara.

Relevansi sekarang adalah banyak potensi konflik horizontal muncul hanya karena perbedaan keyakinan atau agama. Padahal, Pancasila telah menegaskan bahwa bangsa Indonesia menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Para pendiri negara yang merumuskan Pancasila pun menyudahi perdebatan tentang itu dengan menyepakati Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Contoh, perbedaan antaragama masih jadi agenda berat. Masih ada ego agama masing masing, oleh karena itu Pancasila jadi relevan," kata Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, di Jakarta pada Rabu, 31 Mei 2017.

Menurut Muhaimin, dalam kondisi seperti sekarang, Pancasila harus menjadi jembatan seluruh rakyat Indonesia yang berbeda agama, suku, ras, dan golongan. Pancasila harus menyatukan semua dalam Indonesia yang damai.

Dia berharap mata pelajaran Pancasila yang sempat dihilangkan dalam kurikulum pendidikan segera diaktifkan lagi. Soalnya ideologi Pancasila harus selalu terjaga, dan itu harus ditanamkan sejak dini, sejak tingkat sekolah dasar.

"Saya kira, semua sepakat Pancasila dan UUD 1945. Yang tidak sesuai tidak usah tumbuh dan hidup di Indonesia. Karena itu, ketegasan pemerintah harus kita dukung, sehingga ancaman konflik dan ancaman perpecahan bisa segera diatasi," katanya.

Pada kesempatan lain, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, menilai Pancasila sedang mengalami politisasi. Bahkan ada kelompok tertentu yang merasa paling Pancasilais.

"Pancasila mengalami politisasi oleh kelompok romantis yang terjebak romantisme yang menganggap mereka sajalah yang Pancasilais, dan yang lain tidak," kata Din ketika ditemui di kompleks Parlemen di Jakarta pada Rabu, 31 Mei 2017.

Dia berpendapat, tak boleh ada tafsiran tunggal pada Pancasila. Maka para pemimpin bangsa harus bersama meneguhkan komitmen Pancasila, merefleksikan cita-cita para pendiri negara yang sekarang, menurutnya, "banyak yang keliru (seperti terlihat) pada amandemen (Undang-Undang Dasar 1945)". (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya