Kekurangan Garam di Negeri Pantai

Produksi Garam di Indonesia Turun.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Saiful Bahri

VIVA.co.id – Mulai Agustus 2017, garam konsumsi asal Australia akan membanjiri pasar Indonesia. Kelangkaan garam produksi petani memaksa pemerintah mengambil langkah cepat untuk impor garam konsumsi yang notabennya saat ini diproduksi para petani. 

Kejagung: Tersangka Impor Garam Bertambah, Total 5 Orang

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, izin impor garam yang dikeluarkan sebanyak 75 ribu ton. BUMN PT Garam pun ditugasi pemerintah untuk mengeksekusi kebijakan tersebut. 

Oke menambahkan, pemberian izin impor ini sudah melalui berbagai pertimbangan. Koordinasi dengan kementerian terkait khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Pertanian sudah dilakukan. Bahkan, Presiden Joko Wiidodo telah menggelar rapat khusus membahas hal ini.

Susi Pudjiastuti Bikin Konten HUT Pangandaran saat Diperiksa Kejaksaan

"Pertimbangan hasil duduk bersama antara kementerian dan lembaga yang dikoordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan," ujarnya akhir pekan lalu.

Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti menjelaskan, impor dilakukan karena saat ini posisi stok garam nasional menurun drastis.

Kejagung Geledah 4 Pabrik di Sejumlah Kota Terkait Korupsi Impor Garam

Menurutnya, kondisi normal produksi garam per periode setiap tahunnya itu adalah 2,5 juta ton. Sehingga jika dibagi 12 bulan, per bulannya petani idealnya bisa memproduksi garam sebanyak 166 ribu ton.

Dia menambahkan, catatan KKP dari Mei hingga Juli 2017, produksi garam nasional hanya mencapai 6.200 ton. Jumlah tersebut ini merosot tajam dari biasanya panen per bulan dalam cuaca normal sebesar 166 ribu ton garam. 

"Itu kan sangat jauh. Untuk garam rakyat saja. Belum PT. Garam," ujarnya akhir pekan lalu. 

Fakta tersebut jelas menunjukkan adanya defisit produksi garam saat ini. Akibatnya garam konsumsi langka dan harganya meroket saat ini. 

Petani gelisah

Meroketnya harga garam terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat ini. Bahkan, kelangkaan pun terjadi di beberapa sentra penghasil garam di Pulau Jawa. 

Kepala Dinas Perdagangan Pemerintah Kabupaten Bantul Subiyanto mengatakan, hampir sebagian besar garam yang beredar di Bantul dan Yogyakarta berasal dari Pantura seperti Pati, Tuban, Juwana, dan Rembang.

Menurut informasi yang diperolehnya dari para pedagang di sejumlah pasar tradisional, kenaikan harga garam terjadi akibat petani garam di Pantai Utara beralih profesi sebagai petani tambak udang dan ikan bandeng. Lantaran harganya lebih menjanjikan dibandingkan berjualan garam.

"Harga garam dahulu kan murah sekali, tak seimbang dengan tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan," ujarnya.

Sementara itu, untuk petani garam dari Madura, kata Subiyanto, terkendala musim kemarau basah sehingga kesulitan untuk memproduksi garam dalam jumlah banyak.

"Dua faktor itu yang bikin harga garam mahal. Alih profesi dan cuaca yang tidak bersahabat," ujarnya.

Harga garam di tingkatan petani, mengalami kenaikan yang signifikan saat ini. Harga eceran tertinggi garam rakyat mencapai Rp3,5 juta per tonase. Naik tiga sampai enam kali lipat dari musim panen 2015 lalu. Kala itu, harga garam per tonasenya hanya mencapai Rp400-500 ribu rupiah.

Salah satu petani garam di Kabupaten Sumenep, Madura, Adi Pranoto mengakui, petani garam ragu melakukan produksi saat ini. Petani khawatir akan buruknya cuaca akibat kemarau basah yang terjadi.  

Dia menceritakan pada 2016 lalu, hampir semua petani garam mengalami gagal panen kemarau basah. Menurutnya, pengolahan air laut menjadi garam sangat mengandalkan faktor cuaca.

"Para petani merasa cemas untuk melakukan produksi secara konvensional," jelas Adi Pranoto. 

Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Senin 31 Juli 2017 memahami keluhan petani tersebut. Menurutnya, untuk bertani garam secara konvensional pada musim kemarau basah dengan curah hujan tinggi saat ini, kurang menguntungkan. 

"Curah hujan harus kecil, kehujanan itu hilang garamnya," tambahnya.  

Sementara itu, jika menggunakan teknologi yang canggih, biaya produksinya akan tinggi. Akibatnya harga yang dibebankan ke konsumen pun harus dinaikkan. Melihat kondisi saat ini menurutnya, tidak herah jika para petani beralih provesi 

"Kalau kita mau usaha kan dilihat, kelayakan teknis dan keekonomisan. Alih profesi bisa saja," tambahnya.  

Luasnya lautan tak jadi jaminan

Lebih lanjut menurut Tony, saat ini kebutuhan garam baik konsumsi dan industri sekitar 4,1 juta ton, sementara itu produksi garam nasional tercatatat hanya sekitar 1,8 juta ton. Hal itu menunjukan, luasnya lautan RI tak jadi jaminan produksi garam melimpah.

Indonesia diketahui memiliki panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia. Selain itu, sebagai negara kepulauan dengan luas lautan yang besar dan intensitas tinggi sinar matahari, produksi garam secara teori bukanlah hal yang sulit. 

Tony menjelaskan, ada salah persepsi dari masyarakat mengenai hal tersebut. Sebab, produksi garam tidak selalu dilakukan di pantai atau daerah pesisir. Tetapi juga membutuhkan lahan yang luas.

"Produksi berdasarkan luas lahan bukan pantai," jelasnya. 

Dia pun mengatakan, saat ini luas lahan garam yang tersedia tidak lah cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Yaitu hanya sekitar 20 hektare. 

Karena itu, perhatian pemerintah sangat dibutuhkan untuk menutup defisit yang terjadi. Apalagi, kebutuhan garam terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tumbuhnya industri yang menggunakan bahan baku garam. 

"Solusinya, perluas lahan pergaraman, kedua, buka keran impor," tegasnya. 

Telat impor

Meskipun mengapresiasi langkah impor garam, mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara Said Didu berpendapat, pemerintah terlambat melakukan upaya tersebut. Sebab, kelangkaan ini telah merugikan konsumen, industri, serta memberikan peluang importir menikmati untung besar.

"Sebenarnya, keputusan impor garam sudah bisa diambil minimal enam bulan sebelum kejadian, karena produksi tahun ini untuk konsumsi tahun depan. Karena diperkirakan produksi 2017 belum kembali normal karena cuaca,” katanya kepada VIVA.co.id, Senin 31 Juli 2017. 

Dia pun menilai, ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi oleh pemerintah terkait dengan persoalan krisis garam saat ini. Pertama, adalah bagaimana memfokuskan diri pada target swasembada garam konsumsi dan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas garam rakyat.

Sebab, biaya untuk produksi garam di laut menggunakan teknologi jauh lebih mahal dibandingkan membuka keran impor. Hal tersebut yang membuat teknologi garam tidak ekonomis bagi petani dan juga konsumen.

“Kualitas garam produksi dari laut dengan teknologi konvensional tidak bisa untuk garam industri. Hanya cocok untuk garam konsumsi. Walau teknologi produksi garam industri dari laut bisa dilakukan, tapi biayanya lebih mahal,” kata Said.

Masalah ini semakin diperparah, dengan produksi garam petani kini tidak hanya diperuntukan untuk konsumsi masyarakat, melainkan juga untuk kebutuhan industri. Karena, sejumlah sektor industri kecil menengah seperti produksi ikan asin dan telur asin membutuhkan komoditas tersebut untuk bahan baku. 

“Yang perlu dikendalikan, adalah impor garam industri agar tidak merembet ke garam konsumsi. Supaya harga garam produk petani tidak anjlok,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya