Problem Tak Berujung Menggaji Pak Ogah

Polisi Berikan Pelatihan bagi Pak Ogah
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Polemik rencana melegalkan Pak Ogah berlanjut tanpa kemajuan. Realisasinya terbentur anggaran. Pemprov DKI ogah menggaji  para polisi cepek, juru parkir liar yang dilatih singkat, diberi rompi oleh polisi dan lalu diberi nama Supeltas.

Viral Kemacetan Parah di Puncak Bogor, Netizen Cuma Bisa Melongo

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat untuk yang kesekian kalinya menolak menggaji juru parkir liar alias Pak Ogah yang akan diberdayakan oleh polisi membantu mengurai  kemacetan di jalanan Jakarta. Bahkan untuk mempertimbangkan membicarakan anggaran Pak Ogah pun, Djarot tampaknya tak berminat.

Gubernur Djarot mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat ketat dalam hal anggaran. Apalagi anggaran sejenis usulan Ditlantas Polda Metro Jaya itu belum pernah ada dalam kerangka anggaran pemerintah provinsi.

Erick Thohir Pede LRT Jabodebek Jadi Solusi Bagi Kemacetan dan Polusi di Jakarta

“Itu tidak ada dalam struktur anggaran , anggaran kita ketat ya, semuanya melalui bujeting dan pengajuan sebelum dialokasikan,” kata Djarot Saiful Hidayat pada saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Jumat 1 September
2017.

Djarot mengeluarkan tiga “jurus” yang dijadikan alasan terkait tak masuk akalnya para polisi cepek yang dilatih polisi itu harus digaji.
 
Yang pertama, DKI Jakarta tidak memiliki anggaran. Yang kedua, istilah sukarelawan pengatur lalu lintas atau Supeltas yang diciptakan polisi dinilai kontradiktif dengan makna digaji. 

Kepemilikan Garasi Bakal Jadi Syarat Perpanjangan STNK Mobil

Menurut Djarot, sukarelawan seharusnya tidak perlu digaji dan melakukan pekerjaan dengan kerelaan masing-masing.

Ketiga, DKI Jakarta memiliki petugas yang sebenarnya bisa diberdayakan yang berasal dari pekerja penanganan sarana dan prasarana umum atau PPSU dan dari petugas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Djarot bahkan mengusulkan polisi bisa berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk memberdayakan petugas Satpol PP yang sudah ada.

“Kalau itu program dari mereka (polisi) terima kasih, monggo silakan. Tapi mohon maaf kami tidak bisa mengkaji anggarannya,” kata Djarot lagi.

Hal ihwal pemberdayaan pak ogah yang “disulap” menjadi Supeltas ini dimulai dengan wacana yang dilemparkan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Halim Pagarra. Halim ingin mengeksekusi ide ini dengan berbagai pertimbangan.

Disebutkan bahwa jumlah kendaraan di Jakarta pada saat ini sangat banyak hingga titik-titik kemacetan di banyak lokasi tidak bisa dihindarkan. Oleh karena itu perlu petugas yang bisa menjadi juru parkir dengan pelatihan yang lebih dahulu diberikan polisi.

Selain soal hal kendaraan padat itu, polisi juga berargumen perlunya memberdayakan orang agar bisa lebih baik termasuk para juru parkir liar yang perlu dibina dan dipekerjakan. Dengan demikian, para Supeltas akan belajar bertanggung jawab dan tidak liar di jalanan.
  
Diketahui bahwa kasus kriminal yang melibatkan juru parkir liar beberapa kali terjadi di Jakarta. Laporan yang ada antara lain, kekerasan yang dilakukan para polisi cepek dengan mengetuk-ngetuk kaca mobil pengguna jalan sebagai upaya memaksa pengendara memberikan mereka uang jasa.

Contohnya kejadian pada tanggal 25 Januari 2016, enam orang polisi cepek di perempatan Cempaka Putih terpaksa diamankan polisi lantaran memalak pengendara mobil. Kejadian serupa juga pernah terjadi di sejumlah tempat.

Bahkan pada September 2015 diketahui polisi menangkap hingga 25 orang polisi cepek di Jakarta Utara karena memaksa dan mengancam pengendara.

Namun Halim mengatakan bahwa hal tersebut sudah dipertimbangkan oleh polisi. Melalui pelatihan, mereka diharapkan paham hukum dan setiap Supeltas akan diberikan nomor atau kode tertentu sehingga hanya bertugas di tempat dia ditugaskan. Apabila ada Supeltas yang melakukan pelanggaran maupun ditemukan juru parkir di luar Supeltas, maka akan langsung ditindak oleh polisi.

Sampai Mana Wacana CSR?

Pada awalnya, penggajian Pak Ogah disebut Ditlantas akan berasal dari dana CSR perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta. Namun belakangan, polisi meminta agar Pemerintah Provinsi DKI dan Kadin Jakarta menggaji Supeltas bahkan dengan gaji UMR atau sekitar Rp3,35 juta per orang.

“Itu tergantung anggaran dari Kadin berapa untuk membiayai Pak Ogah ini. Kalau saya harapkan maunya UMR,” kata Kombes Pol. Halim Pagarra seperti diberitakan VIVA.co.id, Kamis 31 Agustus 2017.

Anehnya, sebelum sistem kerja Supeltas jelas dan sumber penggajianya tuntas, polisi sudah menggelar pelatihan bagi para juru parkir liar. Diperkirakan sebelumnya, akan ada ratusan Pak Ogah yang dilatih dan akan diturunkan pada tanggal 26 Agustus 2017 silam. 

Bahkan mereka direncanakan dilantik di Polda Metro Jaya setelah diperlengkapi dengan kaus, rompi dan topi Supeltas.

Namun simulasi dan pelantikan itu akhirnya batal lantaran tak ada titik temu antara polisi dan Pemprov DKI. Halim mengatakan, polisi akan lanjut melakukan pendekatan agar ada nota kesepahaman atau MoU yang bisa mengakomodir pemanfaatan Pak Ogah.

Kadin Ikut Menolak

Kendala dalam hal penggajian Supeltas itu tak mengejutkan. Sejak awal, Pemprov DKI termasuk Dinas Perhubungan DKI tak pernah memberi lampu hijau atas program usulan Polda Metro Jaya. 

Tak hanya Gubernur Djarot, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga meragukan pemberdayaan Pak Ogah yang selama ini bekerja secara liar dan menagih duit dari para pengguna jalan.

Kepala Dinas Perhubungan DKI, Andri Yansyah bahkan menilai lebih baik memberdayakan anggota Pramuka untuk melakukan pekerjaan sukarela tersebut.

“Pendapat saya pribadi ya kalau kita memberdayakan masyarakat kan masih ada Pramuka,” kata Andri beberapa hari setelah wacana itu digulirkan Kepolisian.

Dia menilai, masih tetap efektif jika pengaturan lalu lintas dilakukan oleh polisi dan dibantu oleh petugas Dishub yang memang sudah disiapkan untuk pekerjaan itu.

Sementara Kadin Jakarta yang merasa menjadi tumpuan polisi terkait penggajian Supeltas ikut angkat bicara. Wakil Ketua Kadin Jakarta Sarman Simanjorang mengaku belum pernah dilakukan pertemuan antara Kadin DKI dan Polda Metro Jaya terkait pembicaraan rencana MoU setelah Supeltas batal dilantik beberapa waktu lalu.
 
Secara gamblang Sarman mengatakan bahwa Kadin DKI dipastikan tak memiliki anggaran untuk dialokasikan ke pos gaji Pak Ogah ini.
  
“Kalau kami diminta ya kami anggarannya dari mana juga,” kata Sarman, Kamis 31 Agustus 2017.

Dia juga mengomentari soal cetusan Dirlantas mengenai opsi dana CSR perusahaan. Sarman mengatakan, hal itu bisa dilakukan namun tak lantas dapat dikaitkan dengan Kadin. Oleh karena itu Kepolisian bisa langsung berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan yang dimaksud.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya