Pembantaian Rohingya dan Ironi Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi.
Sumber :
  • Reuter/Jorge Silva

VIVA.co.id –  Tahun 1989, sebuah esai yang berjudul "In Quest of Democracy" atau "Mencari Demokrasi," membuat dunia menoleh. Esai dengan kalimat kuat itu disampaikan oleh seorang perempuan dari Myanmar, ibu rumah tangga dengan dua anak. Ia adalah Aung San Suu Kyi, anak Aung San, salah seorang pahlawan nasional Burma yang berhasil membebaskan negara tersebut dari jajahan Inggris.

Pengungsi Rohingya Tetap Dibantu tapi RI Perhatikan Kepentingan Nasional, Menurut Kemenkumham

Kalimat terkenal dalam esai itu membuat pemimpin dunia menengok Myanmar. Sebuah negara di Asia yang saat itu tengah berjuang untuk bebas dari cengkeraman junta militer. "Tak dapat disangkal lagi, lebih mudah mengabaikan kesulitan dari mereka yang begitu lemah untuk menuntut hak mereka dibanding merespons secara sensitif apa yang mereka butuhkan.

Untuk peduli artinya menerima tanggung jawab, untuk berani bertindak, sesuai dengan diktum bahwa penguasa adalah kekuatan yang tak berdaya," begitu penggalan kalimat dalam esai itu. Kalimat yang akhirnya membuat nama Suu Kyi mulai dikenal dan pemberontakan rakyat Myanmar untuk membebaskan diri dari militer mendapat perhatian.

11 Warga Rohingya Meninggal di Perairan Barat Aceh, Menurut Laporan Imigrasi

Melalui kudeta, militer Myanmar memegang tampuk kekuasaan sejak tahun 1962. Di tangan militer,  kekerasan demi kekerasan terjadi. Rakyat sipil Myanmar memberontak, mencoba mendapatkan hak mereka. Sejak tahun 1988, Suu Kyi  yang kembali dari Inggris untuk merawat ibunya yang kanker, berada satu barisan bersama mereka yang pro demokrasi . Ia berada di garis depan.

Tahun 1990, Partai NLP, yang ia pimpin bersama Nyan Win memenangkan pemilu. Mereka meraup suara hingga 80 persen. Namun militer membatalkan kemenangan tersebut. Nyan Win dipenjara, sedangkan Suu Kyi dikenakan tahanan rumah. Sejak itu, hingga 20 tahun kemudian, Suu Kyi hanya berada dalam rumahnya di pinggir sebuah danau.

6 Jenazah Diduga Pengungsi Rohingya Kembali Ditemukan di Perairan Aceh

Tahun 1991, panitia Nobel di Oslo mengganjar perjuangan Suu Kyi  dengan Nobel Perdamaian.  Ia dianggap mampu tetap menyuarakan damai di tengah-tengah himpitan junta militer. Belasan tahun berlalu. Pada 13 November 2010, Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah.  Demokrasi di Myanmar juga makin berkembang. Tahun 2015, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi  yang dipimpin Suu Kyi kembali memenangkan pemilu. Kali ini militer mengakui, meski tetap menolak Suu Kyi untuk menjadi pemimpin melalui regulasi yang mereka sahkan jauh-jauh hari.

Awal 2016, partai Suu Kyi resmi menjadi penguasa di Myanmar. Dan inilah ujian buat Suu Kyi, perempuan paruh baya peraih Nobel Perdamaian itu.  Belum setahun ia berkuasa, pada Oktober 2016, pecah kasus kekerasan di Rakhine, sebuah negara bagian Myanmar.  Mayoritas warga yang tinggal di Rakhine adalah etnis Rohingya, sebuah etnis yang tak mendapat pengakuan dari pemerintah militer sebagai etnis Myanmar.  Ada 13 etnis yang diakui sebagai etnis asli Myanmar, tapi nama Rohingya tak muncul.

Suu Kyi Tak Bersuara

Warga Rohingya adalah keturunan Bangladesh yang sudah berabad-abad tinggal di Myanmar.  Agama mayoritas di Rakhine adalah Islam, jelas berbeda dengan agama mayoritas di Myanmar yang memeluk Budha. Mereka keturunan Bangladesh, tapi sudah sangat lama meninggalkan negara tersebut. Mereka warga Rakhine, tapi etnisnya tak diakui oleh negara. Rohingya akhirnya seperti menjadi warga dunia tanpa negara.

Dikutip dari Sydney Morning Herald, bentrokan antara Budha dan Muslim di Rohingya telah terjadi bertahun-tahun. Bentrokan terbesar terjadi pada 2013, dan 2016. Etnis Rohingya, yang tak diakui negara, dengan agama minoritas dan telah lama tertindas, menjadi bulan-bulanan penguasa Myanmar melalui militernya. Sejak 2013 ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri. Mereka yang telah tiba di Bangladesh sebagian dipaksa pulang kembali ke Rakhine. Bangladesh menolak dengan alasan tak ada tempat dan biaya untuk menanggung hidup mereka.

Suu Kyi diam. Ia tak sedikit pun memberi komentar atas pembantaian yang terjadi di depan matanya sendiri. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein mencatat, Suu Kyi tak sedikitpun menampakkan kondisi emosional ketika membaca laporan PBB tentang pembantaian terhadap Rohingya yang ia sampaikan pada Februari 2017.

Padahal dokumen tersebut berisi kesaksian bayi yang  digorok di tenggorokan, pemerkosaan massal, penyiksaan, dan desa-desa yang diratakan di tanah. “ Ini melukiskan gambaran tindakan yang mengejutkan terhadap populasi Muslim Rohingya, yang menurut PBB kemungkinan besar adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujar Al Hussein, seperti dikutip dari The Guardian.

April 2017, Suu Kyi memberi pernyataan mengejutkan. Ia menolak laporan, bahwa apa yang terjadi di Rohingya adalah pembersihan etnis. Kepada BBC yang mewawancaranya, ia mengatakan tak pernah diam. “Saya selalu menjawab apa yang mereka tanyakan. Namun tetap saja saya dianggap tak melakukan apa-apa atau mengatakan sesuatu. Sederhana saja, karena saya tak memberikan jawaban yang mereka inginkan. Saya menolak mengutuk atau membela mati-matian satu kelompok tertentu,” ujarnya.

Ia lalu merujuk pertikaian banyak pihak yang terjadi di Rakhine. "Saya pikir ada banyak permusuhan di sana," katanya . "Ini adalah Muslim yang membunuh Muslim juga, jika mereka berpikir bahwa mereka berkolaborasi dengan pihak berwenang , ini masalah orang-orang di sisi yang berbeda dari sebuah perpecahan," ujarnya menambahkan.

Bentrokan Pecah, dan Suu Kyi Masih Diam

Sepekan lalu, bentrokan kembali pecah. Pembantaian, perburuan, dan perbuatan brutal lainnya  yang dilakukan oleh militer kembali dialami oleh etnis Rohingya. Terlepas dari pemberontakan yang diawali oleh serangan kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), namun respon militer yang brutal dan massif sangat berlebihan.

Dan Suu Kyi kembali diam. Mungkin ia memang enggan berkomentar. The Guardian pernah menulis, Aung San Suu Kyi sendiri telah membenarkan keengganannya untuk berbicara mengenai isu Rohingya.

Desember tahun lalu, secara khusus Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengunjungi Myanmar. Kepada Aung San Suu Kyi yang menemuinya, Retno meminta ada penyelesaian yang inklusif.  Retno meminta pemerintah Myanmar menghormati dan melindungi hak asasi masyarakat di Negara Bagian Rakhine, khususnya minoritas muslim.

Menlu RI juga meminta Myanmar memberikan akses. Permintaan ini ditanggapi secara positif oleh Aung San Suu Kyi. Konsekuensinya, "pemerintah Myanmar telah membuka pintu bagi bantuan kemanusiaan dari Indonesia, sehingga memugkinkan bantuan dari PKPU (Pos Kemanusiaan Peduli Umat) untuk sampai di Rakhine State," ujar Retno, seperti dikutip dari BBC, 7 Desember 2016.

Suu Kyi mungkin sangat percaya pada Indonesia. Ia menerima permohonan pemerintah Indonesia untuk berbicara dan mencari solusi konflik di Rakhine. Senin, 4 September 2017, Menlu Retno Marsudi akan kembali terbang ke Myanmar dan bertemu dengan Suu Kyi. Agenda Retno jelas, Indonesia akan meminta Myanmar menghentikan aksi kekerasan terhadap umat Islam di Rakhine dan meminta negara tersebut segera mengatasi situasi kemanusiaan di sana.

Hanya untuk Indonesia, Suu Kyi menerima dengan tangan terbuka. Mungkin kali ini Suu Kyi mengingat kalimat yang kerap ia ulang saat berpidato di depan publik, “penolakan terhadap Anda tak boleh membiarkan rasa takut mencegah Anda untuk melakukan apa yang benar.” Meski sadar mendapat tekanan internasional dan kecaman keras, namun Suu Kyi mengizinkan Menlu Retno menemuinya. Ia tak takut, ia hanya memilih teman bicara. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya