Keruk Untung Perbankan Lewat E-Money

Ilustrasi e-Money
Sumber :
  • VIVA.co.id

VIVA.co.id – Jejeran mesin tap otomatis berdiri kokoh di gerbang tol dalam kota Jakarta. Upaya ini menjadi salah satu langkah pemerintah dan Bank Indonesia dalam menerapkan Gerakan Nasional Non Tunai atau GNNT.

Tingkatkan Inklusi Keuangan, Bank Mandiri Hadirkan e-money Edisi Khusus Nusantara

Tapi sayang, di tengah kampanye tersebut Bank Indonesia justru akan mengizinkan lembaga keuangan penerbit kartu elektronik (e-money) memungut biaya isi ulang. Kebijakan ini dinilai kontraproduktif karena membebani nasabah.

Dalam penerapan biaya isi ulang tersebut, Bank Indonesia berencana mengeluarkan sebuah peraturan Bank Indonesia. Adapun kisaran biaya yang diperkirakan dikenakan per top up sebesar Rp1.500-2.000 seperti usul industri perbankan.

Cara Agar Saldo Tiket Transjakarta Tak Hilang Saat Kartunya Hilang

Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo sebelumnya sempat menyatakan BI memang akan mengizinkan perbankan untuk menarik biaya bagi pengguna uang elektronik yang akan melakukan isi ulang.

Menurut Agus, kebijakan ini dilakukan semata-mata agar seluruh perbankan bisa menyediakan layanan uang elektronik. BI juga berjanji kebijakan ini tetap memperhatikan besaran biayanya dan dijamin tidak akan tinggi.

Naik LRT Jabodebek Bisa Pakai LinkAja di 18 Stasiun

“Kalau tidak diberikan kesempatan untuk menarik fee, maka untuk mendesak bank besar melakukan penyediaan fasilitas top up dan sosialisasi kurang cepat,” kata Agus, di kantornya, Jakarta, Rabu 31 Mei 2017.

Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk sebagai salah satu bank penerbit uang elektronik menjamin, tarif yang akan dikenakan untuk biaya isi ulang uang elektronik tidak akan lebih besar dari uang parkir.

“Yang pasti biaya atau fee top up akan lebih kecil daripada uang parkir,” kata Direktur BCA Santoso saat berbincang dengan VIVA.co.id, di Jakarta, Jumat 15 September 2017.

Menurut Santoso, rencana penerapan biaya isi ulang e-money bisa menjadi cara untuk memberikan edukasi masyarakat, terutama implementasi elektronifikasi 100 persen di seluruh jalan tol, dan upaya GNNT yang diinisiasikan BI.

“Kita harus mengedukasi bahwa sistem butuh effort semua pihak, termasuk nasabah karena ada uang elektronik memberikan kemudahan dan kecepatan. Maka kita bersama menggotong ramai-ramai dan kita ambil konsekuensinya,” katanya.

Selanjutnya, Biaya Investasi Perbankan

Biaya Investasi Perbankan

Langkah BI untuk menerapkan GNNT tentu memiliki sejumlah konsekuensi, sebab sejumlah perbankan tentu perlu menyiapkan infrastruktur. Bahkan, tak jarang bank mengeluarkan investasi untuk menyiapkan kartu elektronik tersebut.

Adanya investasi ini menjadi dasar bank penerbit mengakui memiliki alasan mengapa perlu biaya dalam isi ulang kartu elektronik oleh nasabah yang menggunakan fasilitasnya.

Adapun, investasi itu digunakan untuk memelihara alat pembaca, atau reader uang elektronik di sejumlah gerbang tol, maupun biaya operasional dalam rangka menjaga anjungan tunai mandiri, agar tetap optimal melayani nasabah.

Direktur Utama Bank Central Asia, Jahja Setiaatmadja mengakui dalam pelaksanaan GNNT ini, bank masih mengalami kerugian dari penerbitan uang elektronik.

Bahkan, Jahja menyebut, nilai investasi yang dikeluarkan untuk membuat satu kartu Flazz umum sebesar Rp33 ribu, atau lebih tinggi dibandingkan harga jual sebesar Rp25 ribu.

Dari jumlah tersebut, BCA harus mengeluarkan Rp10 ribu untuk biaya kartu, ditambah dengan biaya percetakan yang mencakup tenaga kerja kontrak maupun starter pack sebesar Rp10 ribu, dan biaya distribusi melalui pemasaran produk langsung kepada konsumen sebesar Rp13 ribu.

“Untuk desain umum, total biaya kartu Flazz itu Rp33 ribu,” kata Jahja melalui pesan singkatnya kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Jumat 15 September 2017.

Jahja tak memungkiri, pengenaan biaya isi ulang itu untuk mengompensasi kerugian yang selama ini dialami perbankan dari penerbitan uang elektronik. Namun, terlepas dari hal itu, BCA tetap mengalokasikan biaya dari pungutan tersebut untuk pemeliharaan infrastruktur pendukung.

Senada, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, Haru Koesmahargyo, sebelumnya menyatakan pengenaan biaya isi ulang menjadi insentif tersendiri bagi perbankan, terutama dalam mengembangkan bisnis uang elektronik.

Menurut dia, adanya biaya itu agar Infrastruktur pendukung bisa terbangun dan keinginan BI menciptakan transaksi non tunai pun bisa terealisasi. “Fee yang didapat bank, bisa gantikan biaya transaksi dan untuk mengembangkan jaringan elektronik yang lebih luas,” ujarnya.

Selanjutnya, Bank Banyak Untung

Bank Banyak Untung

Sementara itu, upaya pengenaan biaya dari isi ulang uang elektronik oleh perbankan dinilai sejumlah pengamat tak adil dan terlalu banyak mengambil untung, sehingga bila itu diterapkan sangat merugikan nasabah.

Kebijakan tersebut juga dinilai sangat kontradiktif dengan kebijakan BI yang akan melaksanakan GNNT. Pengenaan biaya isi ulang uang elektronik sangat tidak tepat diterapkan dalam waktu dekat.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan kontradiktifnya kebijakan biaya isi ulang tersebut adalah ketika BI mendorong masyarakat lebih banyak menggunakan e-money, justru pungutan diterapkan.

Dengan demikian, hal itu jelas menjadi disinsentif bagi nasabah yang ingin menggunakan fasilitas tersebut. Padahal, bisnis uang elektronik sudah sangat menguntungkan bagi perbankan.

Dia menyebut, keuntungan bisnis tersebut terjadi saat pelanggan membeli kartu e-money, karena di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan. Sebenarnya uang hasil penjualan kartu tercatat sebagai fee based income bank.

Bhima mencatat, pada 2016, nilai transaksi e-money mencapai Rp7 triliun. Lalu, jika diasumsikan fee based income sebesar lima persen, bank penerbit e-money sudah meraup untung Rp350 miliar.

"Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut fee top up, meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi top up. Karena hal tersebut memberatkan konsumen," ujar dia.

Untuk itu, solusinya yang tepat, dia melanjutkan, adalah mengembangkan e-money yang berbasis perusahaan fintech, atau bukan berbasis bank yang mahal. Misalnya, untuk top up hanya menggunakan QR code di handphone atau tidak perlu mesin dan kartu yang membuat investasi e-money jadi mahal.

Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, menambahkan, pembebanan yang diberikan perbankan kepada nasabah ketika ingin isi uang e-money sungguh zalim bila itu dilakukan.

Sebab, menurut Enny, nasabah sudah membantu perbankan untuk mendapatkan dana murah dari masyarakat. Dengan menggunakan e-money secara langsung mereka sudah tidak mendapat bunga dari bank, dan itu menguntungkan bank.

"Jadi khusus untuk pembebanan yang top up itu zalim, jelas-jelas zalim, karena enggak ada rasionalitasnya," tutur Enny kepada VIVA.co.id.

Untuk itu, Enny meminta BI tidak hanya melihat besar kecilnya biaya tersebut, melainkan perlu melihat kondisi masyarakat saat ini. Terlebih tak semua nasabah menaruh deposit besar di e-money dan masalah keamanan uang elektronik itu.

"Jangan hanya dilihat Rp1.500 atau Rp2.000, karena Rp2.000 itu menurut elite itu kecil, buat orang menengah ke bawah itu dibela-belain antre di depan loket," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya