Bersakit-sakit ke Ladang, Melarat Kemudian

Ilustrasi Petani.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yusran Uccang

VIVA.co.id – Sulit menemukan ada petani yang ingin anaknya melanjutkan tradisi keluarga mencari nafkah di ladang. Konsepsi pikir bahwa petani itu kerja rendahan sudah tertanam di tengah masyarakat sejak lampau.

BPS Sumsel Rilis Nilai Tukar Petani, Naik 2,97 Persen pada Maret

"Cukup saya, anak saya jangan jadi petani. Mereka harus lebih baik," demikian kira-kira ungkapan seorang petani jika ditanya tentang nasib anaknya ke depan.

Jadi atas itu juga kini jumlah petani di Indonesia makin menipis. Hasil Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik telah mencatat bahwa pada tahun 2003 ada lebih dari 32 juta orang INdonesia menjadi petani.

Seribu Ton Beras Impor Masuk Pulau Sumbawa, Anggota DPR: Mencekik Petani

Namun pada tahun 2013, jumlahnya kini hanya ada 26,13 juta atau hilang lebih dari lima juta petani. Dari sini jelas, profesi petani terbukti makin ditinggalkan.

Bukti berikutnya dirilis oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menemukan bahwa saat ini rata-rata usia petani di Indonesia mayoritasnya sudah berumur 45 tahun ke atas. Hanya tiga persen saja anak muda yang meneruskan profesi sebagai petani.

Pemerintah Naikkan HPP Gabah dan Beras Sampai 30 Juni 2024

"Bila ke depan kondisinya tetap dibiarkan, maka Indonesia mengalami krisis petani," ujar Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Haning Romdiati, Rabu, 20 September 2017.

Ya, dengan kata lain, petani Indonesia bukan tidak mungkin akan 'punah'. Sadar atau tidak, ini jelas menjadi ancaman paling membahayakan di tengah gencarnya negara mempromosikan kembali isu swasembada pangan ke publik.

Reformasi Agraria Lamban?

Presiden Jokowi

FOTO: Presiden Jokowi membagikan sertifikat tanah untuk masyarakat adat beberapa waktu lalu


Tahun ini, seperti biasanya tepat pada 27 September, momentum Hari Tani Nasional kembali menggaung ke permukaan.

Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah janji Presiden Joko Widodo kepada para petani ketika ia mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2014, yang kemudian dituangkannya dalam nawacita.

Janji itu berupa pendistribusian aset berupa tanah melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh dengan total lahan sebesar 9 juta hektare.

Menurut Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat SPI (Serikat Petani Indonesia) Agus Ruli Ardiansyah, seperti dikutip dalam laman resmi SPI, Selasa, 26 September 2017.

Kebijakan reformasi agraria Jokowi hingga di tiga tahun pemerintahannya justru berjalan sangat lamban. "Cenderung mangkrak, serta tidak menyentuh persoalan yang mendasar yaitu merombak ketimpangan struktur penguasaan kepemilikan tanah yang ada," katanya.

Atas itu, SPI bersama sejumlah organisasi petani lainnya terus mendorong hak itu. Yakni dengan cara mendesak pemerintah untuk menjalankan reforma agraria sejati yang sesuai dengan amanah dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

Sejauh ini berdasarkan catatan SPI, apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi justru lebih didominasi oleh pembagian sertifikat tanah.

Dengan rincian, berupa 4,5 juta hektar sertifikasi, lalu 4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan, dan kemudian 0,4 juta hektar dari HGU habis, tanah telantar, dan tanah negara lainnya.

“(Ini) Tidak dapat menuntaskan permasalahan agraria di Indonesia. Hingga hari ini ketimpangan penguasaan tanah masih sangat tinggi yang menempatkan petani dalam kepemilikan terkecil," ujarnya.

Dan, yang lebih menyedihkan lagi, ternyata pemerintah tak memiliki data yang jelas terkait objek maupun subyek dari sertifikasi maupun pelepasan kawasan hutan yang akan dibaginya.

helikopter terbang di atas lahan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tenggara

FOTO: Kondisi lahan sawit milik sebuah korporasi di Sulawesi Tenggara

Agus pun merujuk ke data yang dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional hingga 24 Agustus tahun 2017.

Untuk program sertifikasi tanah transmigrasi dengan target 600.000 hektare, baru terealisasi 32.820 hektar  atau setara 5,4 persen. Lalu program legalisasi aset, dengan target 3.900.000 hektare baru terealisasi 1.189.349 hektare atau sebanyak 30,49 persen.

Selanjutnya di program pelepasan kawasan hutan dengan target 4.100.000 hektare ternyata baru terealisasi 707.346 hektare atau sebanyak 17,25 persen dan program redistribusi tanah dengan target 400.000 hektare, yang terealisasi hanya 185.958 hektare atau setara 46,49 persen.

"Ini berimbas pada masih berlangsungnya konflik-konflik agraria yang menempatkan petani menjadi korban penggusuran, kekerasan maupun kriminalisasi," ujarnya.

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Dalam catatan lembaga ini, saat ini kebijakan agraria nasional justru semakin tidak bersahabat dengan petani.

Sebabnya, tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa. Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 hektar dan sisanya justru tidak bertanah lagi.

"Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reformasi agraria sejati. Walaupun sudah ada kemauan politik, akan tetapi belumlah kuat," tulis siaran pers KNPA.

Iklan penjualan tanah pertanian untuk komersial (alih fungsi lahan)

FOTO: Sebuah poster penjualan lahan pertanian oleh petani

Atas itu, kini para petani di Indonesia memastikan bahwa telah terjadi darurat agraria di seluruh wilayah tanah air. Tak cuma itu yang lebih menyakitkannya lagi adalah meski ada komitmen negara untuk mereformasi agraria, namun para petani malah justru mengalami kriminalisasi atau pun perampasan hak.

Data yang dimiliki KNPA, tercatat dari tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 kepala keluarga petani.

Bersamaan itu juga diketahui ada 455 petani mengalami kriminalisasi atau ditahan, lalu sebanyak 229 petani lainnya mengalami kekerasan ataupun hingga ditembak, dan sebanyak 18 lainnya hingga berakhir ke kematian.

"Dalam satu hari telah terjadi satu konflik agraria di tanah air," tulis KNPA.

Meregenerasi Petani

Bercocok Tanam dengan Media Hidroponik

FOTO: Aktivitas bercocok tanam dengan sistem hidroponik

Diakui, respons Jokowi soal petani memang cukup sensitif. Dalam beberapa kesempatan presiden selalu menyuarakan keinginannya soal nasib petani.

Namun, Jokowi seperti lebih mengarahkan konsepnya pada hasil produksi petani, yang dianggapnya mesti berdaya saing lebih jauh.

"Kita harus menjaga agar para petani, produsen pangan tidak selalu dikalahkan," ujar Jokowi tahun lalu.

Karena itu, Jokowi pun mengingatkan kepada pembantunya untuk memastikan agar distribusi komoditas hasil petani harus lancar dan memiliki rantai perdagangan yang tidak terlalu panjang.

Tak cuma itu, ia pun juga menyuarakan agar petani mesti lah tak lagi berkutat pada proses budidaya namun juga menjajaki proses agrobisnis.

"Inilah paradigma yang harus kita ubah. Jangan sampai kita terlalu berkutat pada sektor budidaya, yang berkaitan dengan pupuk, yang berkaitan dengan benih, yang berkaitan dengan insektisida," kata Jokowi, Selasa, 12 September 2017.

Ya, singkatnya Jokowi ingin petani Indonesia berpikir moderen, dalam bentuk sebuah korporasi petani yang dipercayainya menjadi solusi masalah sektor pertanian di Indonesia.

Panen tembakau petani Indonesia

FOTO: Aktivitas petani tembakau di Indonesia

Mereka harus berpikir dengan manajemen moderen, berpikir dengan aplikasi-aplikasi moderen, berpikir dengan cara-cara pengolahan industri yang moderen dan sekaligus memasarkannya kepada industri retail, memasarkannya kepada konsumen dengan cara-cara online store maupun memasarkannya ke retail-retail dengan sebuah manajemen yang baik. Saya kira proses inilah yang akan menguntungkan petani," urai Jokowi.

Lalu sejalan kah ide Jokowi ini dengan kekinian? Yang pasti konsep itu suka tak suka memang baik bagi petani. Indonesia ke depan akan bisa menjadi negara yang diperhitungkan dari sektor pertanian.

Namun demikian, yang mesti diingat adalah saat ini petani sudah tak lagi diminati oleh orang Indonesia. Lahan-lahan semakin sedikit. Mayoritas telah habis dikuasai oleh korporasi.

Ilustrasi/Petani di ladang sawah padi menyebarkan bubuk pestisida

FOTO: Aktivitas petani sawah di Indonesia

Sementara para petani bak tikus mati di lumbung padi. Mereka tetap tak bisa makan dan kesusahan sepanjang hari. Bisnis yang dicita-citakan Jokowi baru akan sebangun dengan masih adanya para petani di Indonesia.

Tanpa itu, siapa yang mau menjalankan bisnis di sektor pertanian. Penting untuk meregenerasi petani agar kembali diminati, terutama oleh kaum muda. Baru kemudian meloncat pemikirannya ke sektor bisnis.

Sebab jangan sampai, nasib kelam para petani Indonesia selalu berulang lagi ke kejadian serupa di kemudian hari. Sudahlah bersakit-sakit ke ladang, malah melarat kemudian.

"Pemerintah perlu mendorong agar para pemuda mau kembali ke desa untuk mengembangkan pertanian dan desanya. Secercah harapan masih ada dari beberapa pemuda yang saat ini memutuskan menjadi petani," ujar Peneliti LIPI Haning Romdiati. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya