Bunuh Diri di Ujung Kamera

Ilustrasi bunuh diri
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andry Arifin

VIVA.co.id – Media sosial merupakan fenomana baru dalam satu dekade terakhir. Memanfaatkan medium internet, media sosial menggabungkan teknologi dan interaksi sosial. Dengan media sosial, orang dengan mudah bertukar pikiran, mengobrol dan saling berbagi meski beda ruang dan waktu. 

Areum Eks T-ARA Sudah Sadar Kembali Usai Sempat Mencoba Bunuh Diri

Banyak medium media sosial yang sudah jamak bagi warganet, di antaranya Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan lainnya. Media sosial mengubah metode komunikasi dan interaksi tradisional, pengguna bisa memungkinkan menjalani komunikasi seketika dan lebih interaktif. 

Bagai dua sisi mata uang, dibuat untuk menjembatani kemudahan interaksi, pada satu sisi media sosial memudahkan orang untuk mengakses hal-hal yang negatif.  

Profil Areum Eks T-ARA, Karier hingga Alami KDRT dan Nyaris Akhiri Hidup

Belakangan media sosial menjadi medium pilihan untuk mengabarkan aksi yang nekat, mengakhiri hidup di depan kamera, dengan sebelumnya memberitahu ke pengguna internet. 

Sudah banyak kasus bunuh diri dengan dipamerkan di media sosial di luar negeri. Untuk di Indonesia, salah satu kasus yang menghebohkan terjadi pada Maret lalu, pria berusia 36 tahun berdomisili di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Pahinggar Indrawan, bunuh diri dengan gantung diri dengan disiarkan live streaming di Facebook. 

Areum Eks T-ARA Dilarikan ke Rumah Sakit Setelah Melakukan Percobaan Bunuh Diri

Kasus yang mutakhir yakni bunuh diri kalangan remaja Rusia akibat terpengaruh media sosial yang terjadi pada 2017 adalah tantangan Blue Whale atau Paus Biru.

Pada Blue Whale ini, warganet diminta menjalani serangkaian tantangan, yang menyiksa fisik dan mental, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. 

Beberapa tantangan sifatnya tidak berbahaya, seperti tidak mengucap sepatah kata selama satu hari atau menonton film yang sangat menakutkan. Jika dilaksanakan, maka tantangan berikutnya makin berbahaya, seperti memotong urat nadi.

Tantangan diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan sebagai pengelola permainan. Peserta diminta mengikuti semua perintah pengelola selama 50 hari.

Di hari terakhir, biasanya peserta diminta untuk naik ke gedung tinggi dan lompat. Setidaknya sekitar 130-an kasus bunuh diri yang terjadi di Rusia dan melibatkan kaum remaja. Menurut Kepolisian Rusia, aksi bunuh diri itu diduga dipicu adanya sebuah permainan tantangan Blue Whale yang beredar di media sosial

Fenomena bunuh diri belakangan makin meningkat. Menurut data baru National Center for Health Statistics, dalam periode 2007 sampai 2015, tingkat bunuh diri pada kaum hawa berusia 15 sampai 19 tahun meningkat dua kali lipat pada 2007 sampai 2015. 

Sebagai perbandingan tingkat bunuh diri 2015 pada remaja putra rentang usia yang sama lebih rendah dibanding pertengahan 1980-a dan 1990-an. Riset itu menemukan tingkat bunuh diri pada remaja putra meningkat 31 persen, dan tingkat peningkatan bunuh dirinya meningkat dua kali lipat. 

Data rincinya yaitu tingkat bunuh diri remaja putra mencapai 12 per 100 ribu populasi pada 1975, 18 per 100 ribu populasi pada 1990 dan kemudian menurun jadi 10,8 per 100 ribu populasi pada 2007 tapi meningkat kembali menjadi 14,2 per 100 ribu populasi pada 2015. 

Untuk tingkat bunuh diri remaja putri meningkat, dari 2,9 per 100 ribu populasi pada 1975, menjadi 3,7 per 100 ribu populasi, turun menjadi 2,4 per 100 ribu populasi pada 2007 dan makin meningkat menjadi 5,1 per 100 ribu populasi pada 2015. Data ini memang menawarkan angka bunuh diri remaja di Negeri Paman Sam, namun ada yang menarik dari perkembangan cara bunuh diri era mutakhir.

Menanggapi data tersebut, Associate Director for Science pada Divisi Perlindungan Kekerasan, US Centers for Disease Control and Prevention, Tom Simon menunjukkan, ada kecenderungan media sosial menjadi pilihan bagi orang yang frustrasi untuk ‘memamerkan’ bunuh diri mereka. Simon dengan tegas mengatakan, media sosial layaknya pisau, bisa dipakai untuk hal positif tapi juga sebaliknya. 

Simon menjelaskan, untuk kasus pada bunuh diri kaum remaja, umumnya terkait dengan perisakan di dunia maya (cyberbullying) dan paparan konten berbahaya. Akses atas hal tersebut rentan mengarahkan remaja untuk melukai diri. 

"Media sosial bisa membantu meningkatkan koneksi antara orang-orang, dan ini kesempatan untuk memperbaiki mitos bunuh diri dan membuat orang mengakses bahan dan sumber daya pencegahan (bunuh diri)," jelas Simon dikutip dari CNN. 

Sedangkan Asisten Profesor Departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku Emory University School of Medicine/Grady Health System Amerika Serikat, Dorian A. Lamis, berteori, penggunaan media sosial dan perisakan dunia maya kemungkinan berdampak peningkatan bunuh diri pada remaja putri dibanding remaja putra.

Untuk kasus bunuh diri pada remaja, Lamis berpendapat, pubersitas bisa saja mendorong remaja untuk berbuat hal nekat. Menurutnya perubahan psikososial dan fisik bisa membuat remaja putri rentan dengan depresi, kecemasan dan gangguan kejiwaan. 

Sedangkan Simon menyebut meningkatnya kasus bunuh diri itu bukan karena faktor tunggal. Ada banyak kemungkinan yang mendorong untuk bunuh diri misalnya riwayat penyalahgunaan obat, terpapar kekerasan, isolasi sosial, konflik hubungan, stigma dan minimnya dukungan orang sekitar. Selain itu, efek resesi global pada akhir 2000-an berkontribusi bagi meningkatnya stres di dalam keluarga yang akhirnya melahirkan kecemasan pada remaja. 

Sedangkan perspektif lain, dalam laporan kasus bunuh diri yang terkait dengan media sosial pada 2011 sampai 2013 di Tyneside Selatan, Inggris, menunjukkan kelompok usia yang terdampak dengan penggunaan media sosial dan bunuh diri ternyata lebih dari yang diperkirakan. 

Ulasan beberapa peneliti dalam jurnal JRSM Open menemukan bukti media sosial lebih dikaitkan dalam kasus korban bunuh diri dengan usia korban di atas 45 tahun.

Dalam riset berjudul Social Media and Suicide: A Public Health Perspective yang dimuat laman National Center for Biotechnology Information, memaparkan hasil riset secara khusus penularan perilaku bunuh diri melalui internet dan media sosial. Dari 719 responden berusia 14 sampai 24 tahun, 79 persen melaporkan terkena konten terkait bunuh diri melalui keluarga, teman, dan media tradisional, sedangkan 59 persen mengaku menemukan konten bunuh diri dari internet. 

Analisis kala itu juga menunjukkan tak ada hubungan antara situs jejaring sosial dengan ide bunuh diri. Namun korban menemukan ide bunuh diri dan kontennya dari forum daring 

Riset itu menemukan situs video sharing seperti YouTube juga dijadikan untuk menemukan ide bunuh diri. Sedangkan medium media sosial seperti ruang percakapan (chat room) dan forum diskusi daring juga menjadi celah bagi kelompok rentan untuk menampilkan keputusan bunuh diri. 

Secara khusus, interaksi melalui ruang diskusi daring itu mendorong teman sebaya dan mengikuti aksi bunuh diri. Interaksi intens dalam ruang percakapan daring dinilai juga bisa mengikis keraguan atau ketakutan untuk bunuh diri. 

Studi tersebut menemukan tren meninggalkan catatan bunuh diri di media sosial juga terjadi. Catatan akhir ini ditinggalkan individu melalui medium daring dan dibagikan kepada publik seketika untuk memengaruhi keputusan calon korban lainnya. 

Selanjutnya...

Fitur anti-bunuh diri

Merespons banyaknya kasus bunuh diri akibat pengaruh media sosial, Facebook turun tangan. Sejak 2015, situs jejaring sosial besutan Mark Zuckerberg merilis fitur pencegah bunuh diri. 

Untuk menghadirkan fitur pencegah bunuh diri itu, Facebook bekerja sama dengan mitra lokal dalam berbagai bahasa yang tersedia di Facebook. Diketahui, untuk versi pertama kali di Amerika Serikat, fitur pencegah bunuh diri Facebook hadir dengan dukungan dari Forefront, Lifeline, dan Save.org.

Dalam praktiknya, fitur ini bekerja jika pengguna mem-posting sesuatu di Facebook yang mengkhawatirkan, maka Anda dapat menghubungi mereka secara langsung dan melaporkan postingan tersebut ke Facebook. 

Facebook mengaku berkomitmen dengan tools ini. Situs populer itu telah menyiagakan tim pencegah bunuh diri di seluruh dunia selama 24 jam selama tujuh hari. Tim itu siaga untuk menerima dan menindaklanjuti laporan yang masuk. Setiap laporan yang masuk akan diverifikasi sebelum nanti ditindaklanjuti. 

Dalam mengelola fitur ini, Facebook mengaku melibatkan mitra klinis dan akademis. Awalnya fitur tersebut hanya berlaku di Amerika Serikat saja tapi diperluas ke seluruh dunia per Juni 2016. 

Aplikasi milik Facebook, Instagram, juga tak ketinggalan mencegah penggunanya berbuat nekat. Instagram memiliki fitur pencegah perisakan maya sampai pencegah bunuh diri. 

Untuk fitur pencegah perisakan maya, Instagram bisa menonaktifkan kolom komentar yang diinginkan. Fitur ini bisa dimanfaatkan untuk mencegah pengikut mengomentari foto saat ini atau nantinya yang akan diunggah. 

Fitur kedua bisa memblokir pengikut pada akun privat. Pengikut tidak akan mengetahui dia diblokir. Selanjutnya ada fitur yang memungkinkan pengguna melakukan pelaporan secara anonim ketika ada pengguna lain yang mengunggah postingan untuk melukai diri sendiri atau mau bunuh diri.

Sedangkan untuk fitur bunuh diri, sama prinsipnya dengan fitur pada Facebook. Pengguna hanya diminta untuk melaporkan postingan yang berbau aksi bunuh diri, Setelah itu, Instagram akan segera menindaklanjuti akun yang bersangkutan.

Instagram bekerja sama dengan psikolog dan pakar kesehatan mental untuk menangani pengguna yang punya masalah dan akhirnya ingin bunuh diri. 

Dalam fitur itu, Instagram membuat orang berpikir dua kali untuk bunuh diri dengan, Support Option. Bagian ini akan mencoba 'mendengarkan' masalah yang dihadapi pengguna. Dalam opsi ini, Instagram menyediakan tiga opsi yakni 'berbicara dengan teman, 'kontak bantuan' dan 'mendapatkan tips dan dukungan'.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya