Mencari Jodoh Jokowi

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Presiden Joko Widodo.
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id – Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru akan dihelat 17 April 2019 dan digelar serentak berbarengan dengan Pemilu Legislatif. Namun, sejumlah nama tokoh saat ini sudah muncul dan digadang-gadang layak maju ke Pilpres 2019.

Soroti Pengeroyokan Relawan Ganjar di Boyolali, Gatot Nurmantyo: Saya Tak Yakin Dipukul Batu

Sorotan tertuju kepada Joko Widodo yang kemungkinan besar akan kembali maju merebut kursi RI-1. Beberapa partai politik pendukung pemerintah secara bergantian sudah mendeklarasikan dukungan maju terhadap Jokowi.

Belum deklarasi siap maju, Jokowi sudah laris manis. Kursi bakal calon wakil presiden tak luput jadi perhatian. Siapa tokoh yang layak menjadi pendamping Jokowi pun terus diperbincangkan.

Amanat Ketum PKB Cak Imin, Rakyat Papua Harus Punya Jalur Perjuangkan Kesejahteraan

"Masih agak jauh memang. Tapi, isu cawapres ini jadi jualan rebutan karena Jokowi kemungkinan besar maju," kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan kepada VIVA.co.id, Jumat, 6 Oktober 2017.

Berbagai isu terkait sempat memunculkan nama Ketua Umum DPP Golkar Setya Novanto pada Mei 2017. Namun, saat itu Novanto mengaku tak ada niat maju menjadi cawapres.

PKB Harap Duet Anies-Muhaimin Dapat yang Terbaik: Setiap Nomor Urut Punya History

Baca: Setya Novanto: Saya Tak Ada Niat Jadi Cawapres

Seiring waktu berjalan saat ini muncul nama Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar hingga Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Nama Gatot diisukan bisa maju jadi cawapres sudah beredar dari Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Mei 2017.

Gatot kembali mencuat karena kebijakan dan pernyataannya beberapa waktu lalu yang menimbulkan polemik. Kebijakan Gatot menginstruksikan prajurit TNI menonton film 'Pengkhianatan G30S/PKI' berlanjut pembelian senjata api di luar institusi militer mengundang kontroversi. Aksi Gatot ini bahkan sempat memantik perbedaan pendapat di internal pemerintah.

Baca Juga: NasDem Munculkan Gatot Jadi Cawapres Jokowi

Spekulasi politik mencuat bila mantan Kepala Staf TNI AD (KSAD) tersebut punya kepentingan untuk Pilpres 2019. Merespons hal tersebut, Gatot juga menjawabnya dengan santai.

"Panglima TNI pasti berpolitik. Tapi, politiknya negara, bukan politik praktis," kata Gatot di Pelabuhan Indah Kiat, Kota Cilegon, Banten, usai memimpin gladi resik puncak peringatan HUT TNI ke 72, Selasa 3 Oktober 2017.

Selanjutnya, Peluang Gatot

Kombinasi pasangan sipil dan mantan militer diprediksi masih laris menarik suara pemilih di Pilpres 2019. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan, secara konvensional kolaborasi sipil-militer sudah terbukti di Pilpres 2004.

Kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi contoh keberhasilan sipil-militer mengeruk suara. Apalagi, saat itu, kelebihan SBY-JK memiliki faktor kombinasi suara Jawa dan luar Jawa.

"Jokowi dipasangkan dengan militer bisa saja. Tapi, ini kan tergantung dari elektabilitas tokoh militer seperti Gatot itu," tutur Djayadi, Jumat, 6 Oktober 2017.

Secara personal, Gatot dianggap punya kelebihan meski sama-sama dari suku Jawa. Berlatarbelakang militer dan punya kedekatan dengan kalangan ulama jadi nilai lebihnya. Kelebihan Gatot bisa melengkapi modal yang sudah dimiliki Jokowi. "Karena Jokowi dianggap representasi PDIP yang nasionalis," tutur Djayadi.

Respons pihak PDI Perjuangan sejauh ini masih kalem dengan mencuatnya nama Gatot. Bagi Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno menilai wajar munculnya nama mantan Pangdam V/Brawijaya tersebut. Jika ada parpol seperti Nasdem yang sudah memunculkan Gatot sebagai cawapres juga dianggap tak mengherankan.

"Tokoh militer wajar saja dalam radar penjaringan setiap parpol. Tak usah diributkan. Kesetiaan terhadap negara sudah teruji," tutur Hendrawan kepada VIVA.co.id, Jumat, 6 Oktober 2017.

Presiden Jokowi Bertemu Muhaimin Iskandar

Jokowi saat bertemu dengan Muhaimin Iskandar di Istana, beberapa waktu lalu. Foto: Agus Rahmat

Dari sipil berlatarbelakang politikus juga dinilai berpeluang menjadi pendamping Jokowi. Tapi, modal elektabilitas dan basis massa yang kuat harus jadi syarat utama. Tokoh yang punya basis suara seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa menjadi contohnya.

"Syarat populer, basis massa yang kuat jadi modal level cawapres untuk sipil dari parpol," jelas pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez.

Politikus yang dinilai juga layak maju adalah Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Suara kader PKB di berbagai daerah menginginkan Cak Imin maju setidaknya sebagai cawapres. Arya melihat sosok Cak Imin punya basis massa yang kuat. Sebagai ketua umum parpol dan dan bagian Nahdliyin, kemenakan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu dinilai punya jam terbang untuk bersaing.

Baca: Cak Imin Didorong Maju di Pilpres 2019? Ini Jawabannya

Cak Imin sendiri saat dikonfirmasi mengakui adanya dorongan agar maju ke pilpres. Namun, ia menginginkan kader PKB untuk fokus terlebih dulu mempersiapkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018.

"Iya, banyak juga sih. Ya, namanya kader, namanya juga cinta, harapan kan ya, pasti ada harapan seperti itu. Tapi saya bilang setop semuanya untuk membicarakan itu," kata Cak Imin kepada VIVA.co.id, di kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Selanjutnya, Elektabilitas Jokowi

Menjelang tahun politik, lembaga survei merilis hasil riset terbarunya. Salah satu yang menjadi penilaian terkait elektabilitas tokoh yang digadang-gadang maju ke Pilpres 2019. Soal ini, beberapa lembaga survei masih menempatkan Jokowi di urutan pertama dengan elektabilitas tertinggi.

Jika elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta itu masih stabil hingga pertengahan 2018, maka diprediksi jadi keuntungan untuk Jokowi. Artinya, Jokowi sebagai incumbent dianggap punya keleluasaan menentukan tokoh yang cocok mendampinginya di pilpres.

Hitung-hitungan ini sudah dicontohkan saat Pilpres 2009 yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Ketua Umum DPP Demokrat tersebut berani memilih Boediono yang di luar dugaan banyak kalangan termasuk parpol pendukung pemerintah.

Faktor elektabilitas SBY serta keberhasilan sebagai incumbent dalam memimpin pemerintahan menjadi modalnya. Tak ada persoalan terpilihnya Boediono karena hasilnya SBY kembali memenangkan pilpres untuk kali kedua.

"Jokowi bisa seperti SBY kalau elektabilitas stabil atau bahkan meningkat. Keleluasaan bisa dimiliki Jokowi menentukan cawapresnya," tutur Djayadi Hanan.

Presiden Joko Widodo Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla

Jokowi dan Wapres JK saat rapat kabinet di Istana.

Namun, keleluasaan Jokowi ini juga mesti memperhatikan kondisi parpol pendukungnya. Selain itu, jika memang yang bersaing di Pilpres 2019 lebih dari dua pasangan maka Jokowi lebih mudah mendapatkan persetujuan dari parpol pendukung.

"Kalau misalnya head to head lagi sama Prabowo ya sulit. Parpol pendukung bisa polarisasi untuk bahas cawapres. Di sini yang bisa tentukan jodoh pasangan yang cocok untuk diusung," jelas Djayadi.

Suara pemilih untuk ukuran pilpres punya tolak ukuran yang berbeda. Selain elektabilitas, faktor basis massa di daerah pemilihan juga menjadi faktor penting. Hal ini yang dilihat dari Pilpres 2014 lalu saat Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Ada beberapa daerah di Jawa seperti Jawa Timur yang dianggap menjadi kunci kemenangan di pilpres. Basis massa yang kuat dan terkait kultur politik, Jawa Timur dinilai menjadi representasi kemenangan Jokowi-JK.

Hal ini menjadi acuan karena meski pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menang di Sumatera dan Jawa Barat, Jokowi membalasnya di beberapa daerah seperti Jatim dan Sulawesi.

"Siapa yang memenangkan daerah Jatim di pilpres, dia lah yang menang. Dan, itu dibuktikan Jokowi-JK di Pilpres 2014," tutur pengamat politik Ray Rangkuti.

Jadi siapa berjodoh dengan Jokowi?

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya