Heboh 'Mahar Politik' Pilkada

Ilustrasi uang rupiah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA – Isu mengenai mahar politik kembali mengemuka. Hal ini tidak lepas dari nyanyian Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti, karena tak diberi rekomendasi oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Prabowo Subianto, untuk maju ke Pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Ketua DPD: Amandemen 2002 Kecelakaan Akibat Kebut-kebutan Tanpa Rem

La Nyalla merasa dimintai uang lebih dahulu sebesar Rp40 miliar. Dia pun mengancam akan menuntut Prabowo secara hukum.

"Saya akan tuntut secara hukum. Nanti kami siapkan," kata La Nyalla dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis, 11 Januari 2018.

Ketua DPD RI Ikut Berduka Cita atas Meninggalnya Hero Tito

La Nyalla mengaku diberi surat tugas oleh Prabowo pada tanggal 9 Desember 2017 untuk mengumpulkan dukungan partai terkait pencalonan dirinya sebagai bakal calon gubernur. Selain itu, dia juga diminta Prabowo untuk menyiapkan uang saksi untuk seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Jawa Timur sebesar Rp40 miliar.

"Saya dimintai uang Rp40 miliar, uang saksi disuruh serahkan sebelum tanggal 20 Desember. Kalau tidak bisa saya tidak akan direkomendasikan," kata mantan Ketua Umum PSSI tersebut.

La Nyalla: Hak Konstitusi Partai Baru Dijegal Pasal 222 UU Pemilu

Kemudian, ia merasa heran karena sanggup memenuhi permintaan uang saksi sebesar Rp40 miliar. Namun, dia ingin agar uang saksi itu diberikan setelah pencalonannya di Pilgub Jawa Timur sudah terdaftar di KPU.

Namun, kata La Nyalla, Prabowo meminta agar uang itu telah diserahkan sebelum tanggal 20 Desember. Keberatan dengan permintaan Prabowo, La Nyalla mengembalikan surat tugas yang diberi Prabowo.

"Tanggal 20 Desember saya kembalikan surat tugas. Padahal, saya sudah siapkan Rp300 miliar. Tapi apabila sudah selesai pencalonan saya sebagai calon gubernur, baru saya taruh duit di situ. Ini belum apa-apa sudah minta duit, ya kabur kita," ujarnya.

Benarkah Prabowo “memalak” atau meminta mahar politik kepada La Nyalla? Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Sodik Mujahid membantahnya.

"Kalau dipalak, Gerindra malak, itu omongan bualan 100 persen," kata Sodik dalam pesan singkatnya kepada VIVA, Kamis, 11 Januari 2018.

Dia menuturkan Gerindra terutama Prabowo tak menerapkan sistem uang wajib puluhan miliar untuk pembayaran saksi. Bahkan, Gerindra mendorong dan mendukung pembiayaan untuk tokoh-tokoh unggulan.

Selama ini, Gerindra juga mendorong setiap kandidat yang dinilai punya kapasitas dan kapabilitas menjadi pemimpin untuk maju. Contohnya, seperti Pilgub Jawa Barat yang akhirnya Gerindra mengusung Mayjen (Purn) Sudrajat. Maka, sangat tidak tepat kalau Prabowo justru meminta atau memalak La Nyala yang ingin maju di Jawa Timur.

"Kalau kami mengingatkan bahwa untuk pilgub dan pilkot perlu dana, ya kami lakukan. Untuk tokoh unggul yang tidak ada dana kami bantu," katanya.

Sekadar Logistik

Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Fadli Zon, juga turut memberikan penjelasan. Dia membantah dan tidak percaya tudingan La Nyalla. Fadli menduga Prabowo hanya menanyakan kesiapan La Nyalla.

"Saya kira kalau dari Pak Prabowo enggak ada ya itu. Saya tidak pernah mendengar dan juga menemukan bukti semacam itu ya. Kalau misalnya itu terkait dipertanyakan kesiapannya untuk menyediakan dana untuk pemilu, yang itu digunakan untuk dirinya sendiri saya kira itu sangat mungkin," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 11 Januari 2018.

Menurut dia, logistik di dalam sebuah pertarungan seperti pilkada sangat dibutuhkan. Misalnya soal berapa dana yang disiapkan. Belum tentu juga dananya dari calon yang bersangkutan.

"Bisa juga dari penggalangannya baik dalam bentuk dana yang murni. Saya kira bukan untuk Pak Prabowo apalagi Gerindra. Saya kira itu lebih pada persiapan calon yang bersangkutan," ujarnya.

Fadli menjelaskan kebutuhan calon untuk menghadapi pilkada sangat besar. Misalnya untuk melakukan pertemuan, perjalanan, konsumsi, dan saksi dengan jumlah TPS sangat besar.

"Hitungan-hitungan itu pasti terkait dengan saksi, gerakan relawan dan sebagainya, jadi saya kira wajar, bukan untuk kepentingan pribadi, kepentingan partai, tapi kepentingan yang bersangkutan," kata Wakil Ketua DPR ini.

Ia menilai, hal ini hanya bentuk miskomunikasi saja. Sehingga bisa diperdebatkan apa yang menjadi persoalan. Ia menegaskan lagi Prabowo tak meminta uang tersebut. "Yang saya tahu mungkin yang dimaksud meminta menyiapkan untuk persiapan saksi dan sebagainya, bukan untuk Pak Prabowo. Untuk apa Pak Prabowo," tutur Fadli.

Saat ditanya soal kebenaran La Nyalla harus menyerahkan uang sebelum 20 Desember 2017, ia mengaku tak tahu detail teknisnya. Ia menduga Ketua DPD Gerindra mungkin lebih mengetahuinya.

"Saya enggak tahu juga. Saya nggak mendengar, rasanya sih tidak kalau untuk itu, mungkin menanyakan iya."

Meskipun demikian, dalam sebuah kesempatan, Prabowo memang pernah menyatakan kepada semua calon gubernur agar memiliki modal untuk bertarung memperebutkan kursi orang nomor satu di daerah yang diincarnya.

"Pertanyaan pertama yang saya tanyakan kepada dia (calon gubernur)? Ente punya uang enggak? Saya tidak tanya Anda lulusan mana, saya tidak tanya Anda prestasinya apa, saya tidak tanya, Anda pernah nulis buku apa. Saya tidak tanya, Anda mau jadi gubernur pernah jadi bupati enggak? Pernah jadi camat enggak? Yang saya tanya, ente punya uang berapa?" kata Prabowo. Baca selengkapnya di sini.

Mengenai isu mahar politik itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang juga diusung Gerindra dan PKS ikut angkat bicara. Anies mengaku tidak pernah memberikan mahar agar diusung Gerindra sebagai calon kepala daerah. Bahkan Gerindra, juga tidak pernah meminta mahar politik.

"Enggak ada (mahar politik). Duit dari mana saya?" kata Anies, Jumat, 12 Januari 2018.

Menurut Anies, ketika diusung oleh Partai Gerindra dan PKS di Pilkada DKI Jakarta 2017, tidak ada syarat khusus yang diajukan. Baik itu berupa membayar sejumlah uang ataupun perjanjian-perjanjian khusus. "Enggak, enggak ada bikin perjanjian," ujarnya.

Selain Anies, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil atau Emil juga memberikan tanggapan. Dia menyampaikannya melalui Twitter @ridwankamil.

"Twit admin @Gerindra ini benar. Saya bersaksi. waktu pilwalkot BDG, Pak Prabowo dan Gerindra tidak meminta mahar sepeser pun utk tiket pilkada. Hatur Nuhun," kata Emil dikutip dari akun Twitter, @ridwankamil, Jumat, 12 Januari 2018.

Dia mengatakan untuk Pemilihan Gubernur Jawa Barat ada alasan dirinya tak sepaham dengan Gerindra. Tapi, lagi-lagi itu bukan karena mahar politik.

"Di pilgub Jabar ini kami berpisah, krn syarat menjadi kader partai yg tidak mampu saya penuhi," ujar Emil.

Dana Saksi

Sementara itu, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mempersilakan siapa pun untuk berbicara jika merasa “dipalak” oleh partai politik.

"Monggo yang merasa diperas dan dimintai mahar bisa bicara ke publik," kata Mardani, di Senayan, Jakarta, Jumat, 12 Januari 2018.

Mardani menegaskan partainya tidak pernah mengenal istilah mahar politik. Meskipun dia mengakui dana untuk operasional saksi saat pencoblosan memang berat.

"Untuk saksi memang berat, karena harus dikali jumlah TPS dan dana per orang 200 ribu untuk operasional seharian," ujar Mardani.

Selama ini, kata Mardani, dana saksi calon yang diusung PKS berasal dari gabungan pasangan calon dengan kader. Ke depan dia berharap pemerintah yang membiayai operasional saksi.

"Makanya kami mengusulkan saksi ditanggung pemerintah dengan tugas menjaga suara untuk semua partai," kata anggota Komisi II DPR ini.

Sedangkan, Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat Agus Hermanto juga mengatakan partainya tak meminta mahar politik. Menurut dia, hal ini berlaku untuk calon bupati, wali kota, maupun gubernur.

"Kami tidak ada mahar untuk parpol. Kalau untuk kampanye itu urusan mereka. Kalau kampanye itu yang mengeluarkan dari kantong dia," kata Agus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 12 Januari 2018.

Agus mengatakan, Demokrat tak pernah membicarakan dan mematok adanya mahar tertentu. Dia mengklaim calon kepala daerah yang dipilih Demokrat adalah yang punya elektabilitas yang tinggi.

"Yang kami lihat adalah elektabilitas dan juga popularitas. Sehingga seluruh cagub-cagub dan cawalkot ketika menghadap ke DPP semuanya telah menyertakan survei. Kami lihat kredibilitas dari surveinya," ujar Agus.

Namun, dia mengakui kandidat juga bukan berarti tidak mengeluarkan uang dalam proses kontestasi pilkada. Apabila kandidat perlu mengeluarkan biaya besar untuk kampanye, menurutnya, itu menjadi pilihan kandidat.

"Tentu itu tergantung kandidatnya. Kalau kandidat ingin mempopulerkan dirinya supaya keterpilihannya tinggi, lalu dia punya uang dan sebagainya, itu urusan para kandidat," ujarnya.

Tak Ideal

Pengamat Politik Muhammad Qodari menyatakan bahwa idealnya partai politik tidak meminta mahar politik bagi para kandidat dalam suatu kontestasi pemilu atau pilkada. Karena sudah menjadi tugas partai melakukan rekrutmen.

"Tugas parpol melakukan rekrutmen politik, pendidikan politik. Jadi sebisa mungkin mereka mencari calon-calon yang bagus, berkualitas, dan itu menjadi kriteria utama. Takutnya kalau mahar politik ini kriterianya keuangan bukan kapsitas dan kapabiltas. Faktor kompetensi dikalahkan finansial," kata Qodari saat dihubungi VIVA, Jumat, 12 Januari 2018.

Namun, Qodari mengakui ada juga biaya politik yang memang perlu dikeluarkan oleh para kandidat. Misalnya untuk kampanye mereka.

"Itu bukan mahar politik, itu biasa ya politik. Biaya politik para calon juga harus bisa partisipasi ya gotong royong, semampunya. Idealnya tidak dipatok. Kalau memungkinkan, sanggup, dia bisa lebih banyak. Kalau gak mampu gak usah," kata dia lagi.

Meskipun demikian, baik biaya politik atau mahar politik, Qodari menilai keduanya tidaklah mutlak. Alasannya, dia menyampaikan bahwa kemampuan, kompetensi seorang calon pemimpin jangan sampai dikalahkan dengan uang.

"Ada partai yang tanpa mahar politik, ada juga kader yang bayar biaya politik sendiri ke partainya," tuturnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya