SOROT 496

Bintang Film Pindah Gelanggang

Bintang Hollywood Will Smith kini membintangi film berbasis video on demand.
Sumber :
  • REUTERS/Ivan Burnyashev

VIVA – Lama tidak muncul di layar lebar, tahun 2017 lalu dunia hiburan sempat dikejutkan dengan munculnya wajah aktor kawakan Will Smith di layar kaca, lewat original movies Netflix berjudul Bright. Netflix sendiri merupakan salah satu penyedia layanan streaming video-on-demand (VOD) yang pertama kali membuat film atau serial orisinil. Dana yang digelontorkan Netflix untuk membuat film bergenre thriller/fantasy itu juga terbilang fantastis, yakni US$90 juta atau sekitar Rp1,2 triliun.

Layanan Streaming Kini Semakin Murah, Hadirkan Paket Bundling Seharga Rp4.100

Bright pun mendapat sambutan luar biasa dari para penggemar film, tak hanya di Amerika Serikat, namun juga seluruh dunia. Saking suksesnya, Netflix bahkan telah mengumumkan bahwa secara resmi film tersebut bakal dibuat sekuelnya.

Smith bukan aktor papan atas pertama yang memutuskan untuk menjajal film orisinil penyedia VOD. Sebelumnya, aktor senior Kevin Spacey telah lebih dulu bekerja sama dengan Netflix. Serial yang dibintangi Spacey, House of Cards tahun 2013 lalu menjadi karya orisinil pertama Netflix.

Spotify Umumkan PHK 1.500 Karyawannya

Bukan cuma Spacey dan Smith, hingga kini semakin panjang daftar aktor dan aktris kelas A Hollywood yang bermigrasi ke sejumlah layanan streaming VOD, seperti Netflix, Hulu dan Amazon. Mulai dari Aaron Paul, Paul Rodd, Natalie Portman, Idris Elba, Naomi Watts, Drew Barrymore, Sissy Spacek, Robert De Niro, Jonah Hill, Emma Stone, Jamie Dorman hingga Brad Pitt.

Brad Pitt

Sukses di Layar Lebar, The Nun 2 Kini Mulai Bisa Ditonton Kapan Saja

Bahkan, menurut laporan dari Variety, Robert De Niro adalah aktor film/serial orisinil VOD dengan bayaran tertinggi. Honornya mencapai US$850 ribu (Rp11,6 miliar) per episode untuk serial berjudul Untitled yang bakal tayang di Amazon, perusahaan layanan streaming VOD lain yang tak kalah terkenal.

Selain itu, film drama tentang aktivis hak asasi manusia Kamboja besutan aktris papan atas Angelina Jolie, First They Killed My Father juga tayang di Netflix September 2017 lalu. Menariknya, tak hanya para aktor dan aktrisnya, sejumlah sutradara kawakan Hollywood juga tak mau ketinggalan dan ikut membuat film untuk Netflix. Sebut saja sutradara Suicide Squad, David Ayer.

Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Sejumlah aktor dan aktris pun memilih untuk membintangi film dan serial orisinil layanan streaming VOD, di antaranya Adipati Dolken, Prisia Nasution, Morgan Oey, Putri Ayudya, Poppy Sovia dan Tatyana Akman. Sedangkan untuk sutradara, ada Monty Tiwa dan Nia Dinata yang sebelumnya sama-sama sudah menelurkan berbagai film layar lebar sukses.

Lantas, apa sebenarnya yang membuat para bintang dan sutradara besar ramai-ramai bermigrasi ke penyedia VOD? Dan, dari mana penyedia VOD mendapat uang untuk membiayai pembuatan film plus honor para aktor dan aktris tadi, mengingat mereka tidak menyertakan iklan dalam film dan serialnya?

Ikut Perkembangan Teknologi

Sebelum VOD menjadi tren dan mengubah kebiasaan menonton masyarakat di berbagai penjuru dunia, seakan ada kebanggaan tersendiri bagi para aktor dan aktris untuk membintangi film layar lebar. Di Hollywood, sudah rahasia umum bahwa banyak pemain film layar lebar yang ogah membintangi sebuah serial televisi.

Bagi mereka, hal itu bisa membuat mereka 'turun kelas' sebagai aktor. Namun, kini tren tersebut mulai bergeser. Sekarang, tak perlu repot-repot ke bioskop, Anda pun bisa melihat banyak wajah bintang film ternama di berbagai penyedia VOD.

Menurut Will Smith, bermain di film orisinil penyedia VOD merupakan sebuah pengalaman baru. Ia juga mengatakan bahwa tren VOD sendiri muncul seiring perkembangan teknologi dan tak terlepas pula dari maraknya penggunaan internet dan media sosial.

"Ini adalah sebuah dunia yang baru. Saya sudah lebih dari 30 tahun berkecimpung di bisnis hiburan. Saya telah melihat transisi itu. Pada dasarnya, para fans menjadi lebih terlibat dalam proses kreatifnya. Dalam hal movie stardom, ini juga merupakan perbedaan yang besar. Anda hampir tak bisa menciptakan bintang film baru kan?" ujarnya dikutip dari Vulture, Jumat, 13 April 2018.

Ia lantas membandingkan dengan era-era sebelumnya, di mana ada jarak yang begitu jauh antara selebriti dengan penonton atau fansnya. Namun, saat ini, ia merasa lebih dekat dengan fansnya dengan membintangi film yang tayang di VOD, di mana filmnya bisa dinikmati dalam keseharian mereka, kapan pun dan di mana pun.

"Dulu ada privasi dan jarak tertentu antara aktor dan penonton. Namun, pergeseran ke dunia baru ini hampir seperti menciptakan pertemanan dengan fans. Hubungannya menjadi tidak seperti saat Anda bisa membuat Madonna, Michael Jackson, Tom Cruise menjadi figur besar. Anda tak bisa menciptakan itu lagi. Hal tersebut telah bergeser menjadi 'Kami adalah teman baik'," ujarnya menambahkan.

Konsumsi Video Streaming Meningkat - Sorot Fenomena Layanan Bioskop Online

Dihubungi VIVA baru-baru ini, aktris Indonesia, Putri Ayudya yang membintangi Kenapa Harus Bule pun mengungkapkan alasannya memilih bermain di film orisinil Viu tersebut. Menurut Putri, layanan streaming VOD mudah dijangkau oleh penonton dari berbagai perjuru dan jejak digitalnya terus ada. Ia juga menilai bahwa maraknya film dan serial VOD membuka kesempatan bagi banyak pihak untuk berkarya dan membagikan hasil karyanya dengan cara yang lebih praktis.

"Potensi penontonnya besar sekali, karena tidak hanya di dalam negeri tapi juga seluruh dunia yang terpapar internet dan aplikasi tersebut. Di Indonesia, potensi jumlah penonton menurut saya tentu lebih besar streaming," kata Ayu yang juga menganggap tren VOD membuka kesempatan film Indonesia untuk memperluas market.

Sutradara juga tampaknya menjadi salah satu alasan para aktor dan aktris untuk membintangi film dan serial orisinil penyedia VOD. Seperti Morgan Oey yang bermain di serial orisinil Viu berjudul SWITCH lantaran kontennya yang berkualitas dan sutradara yang membesutnya sudah punya nama besar di dunia perfilman Tanah Air, yakni Nia Dinata.

"Waktu itu aku menerima tawaran karena kontennya bagus sekali. Siapa sih yeng enggak kenal sama Nia Dinata? Selama cerita dan karakternya bagus, sutradaranya visioner, aku ayo aja sih," ujarnya.

Selain dua alasan tadi, Morgan juga mengaku memilih VOD lantaran itu merupakan salah satu dari beragam cara menikmati sebuah tayangan. Ia mengatakan, adanya VOD membuat banyak orang bisa menikmati film maupun serial sesuka hati mereka, sehingga terasa lebih personal. Apalagi di zaman sekarang banyak orang yang tak bisa lepas dari smartphone mereka.

"Karena formatnya beragam-ragam. Kalau sinetron kan di TV, FTV kan di TV. Ada YouTube, sekarang YouTube kan banyak buat series. Terus kalau film kan di bioskop. Ada satu terobosan lagi, yang kita bisa nonton sehari-hari di HP, fleksibel sekali," ucap Morgan.

Lebih Bebas

Dari perspektif sutradara, menggarap film dan serial orisinil VOD punya kelebihannya sendiri. David Ayer, sutradara Hollywood yang menggarap film Bright yang dibintangi Smith mengaku memilih VOD karena ia bisa membuat film dengan bebas tanpa harus terkekang banyak aturan, seperti ketika ia membuat film layar lebar.

"Bagi saya, ini sangat sederhana. Saya bisa membuat film ini (Bright) dengan cara dan di level yang tidak bisa saya buat untuk layar lebar," kata Ayer.

Ada alasan di balik pernyataan Ayer tersebut. Film layar lebar besutannya, Suicide Squad, meski sukses, namun dianggap mendapat terlalu banyak intervensi dari Warner Bros, studio yang memproduksinya. Warner Bros dilaporkan menyewa perusahaan untuk memotong trailer dan adegan-adegan film yang telah dibuat Ayer. Hasil akhir filmnya pun dikabarkan membuat Ayer dan banyak penonton kecewa, dengan jalan cerita yang menggantung.

Lebih lanjut, Ayer mengatakan, bahwa Bright adalah film yang dibuat dengan sebagaimana mestinya. Ia bisa mengambil gambar di tempat yang dia inginkan tanpa harus memusingkan biaya. Ia juga mendapat peralatan yang diinginkan dan mengambil gambar practical stunts.

"Sebagai pembuat film, menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan proses kreatif dibandingkan disibukkan dengan dokumen-dokumen yang mendukung film adalah kesenangan tersendiri. Saya rasa itu mengubah pandangan Anda dan para aktor terhadap film karena Anda merasakan kebabasan itu," ujarnya.

Edior senior Variety, Ramin Setoodeh, juga mengatakan bahwa kebebasan menjadi salah satu alasan utama para sineas bermigrasi ke VOD.

"Karena Netflix mau menyediakan dana untuk para sineas membuat film yang lebih kreatif sebagai seniman. Mereka akan bisa membuat film-film ini untuk Netflix dan mungkin membuat film yang jalan ceritanya lebih menantang, yang mungkin tidak akan dibiayai oleh studio-studio film,", ucap Setoodeh, dikutip dari Fox News.

Sorot Layanan Bioskop Smartphone - aplikasi netflix

Pertanyaannya sekarang adalah, dari mana penyedia layanan streaming VOD mendapatkan uang untuk membayar biaya para sutradara besar dan bintang A-list Hollywood untuk bermain di film dan serial orisinil mereka? Jawabannya, tentu saja dari para subscriber-nya.

Dilansir dari USA Today, di awal tahun 2017 lalu saja pengguna Netflix sudah mencapai 99 juta. Dengan biaya berlangganan bulanan sebesar US$10.99 (Rp151 ribu), Netflix mendapat pemasukan lebih dari US$1 miliar (Rp13,7 triliun) per bulan dari penggunanya.

Tak heran jika Netflix rela mengeluarkan kocek hingga US$90 juta (Rp1,2 triliun) untuk membiayai produksi film Bright. Belum lagi film dan serial lain, seperti film satir tentang perang yang dibintangi Brad Pitt berjudul War Machine yang menghabiskan dana US$30 juta (Rp412 miliar).

"Yang terjadi di industri film adalah Netflix mengambil langkah dan membiayai film-film yang sulit didistribusikan di layar lebar. Mereka memproduksi film-film yang kemungkinannya kecil untuk dibuat oleh studio-studio besar, dan Anda melihatnya dengan film Brad Pitt, War Machine. Tim Pitt mencoba menawarkannya ke studio-studio dan mereka menawarkannya pada Netflix dan Netflix berinvestasi besar dalam film itu, serta membuat mereka akhirnya bisa memproduksinya," ujar edior senior Variety, Ramin Setoodeh, dikutip dari Fox News.

Sementara itu, yang terjadi di Indonesia tak berbeda jauh. Putri Ayudya mengatakan, bahwa sejauh ini pengalaman main film layar lebar dan film atau serial orisinil VOD punya kelebihan masing-masing. "Kalau bioskop, memang masih ada prestige tersendiri. Sementara dari streaming saya bisa lebih leluasa secara waktu untuk terus mempromosikan filmnya," ujarnya.

Morgan Oey juga berpendapat bahwa serial orisinil Viu yang ia bintangi sebenarnya punya format yang sama dengan sinetron, namun kontennya lebih diperhatikan, begitu pula dengan detailnya. "Kita memperlakukan ini seperti film. Kita ada waktu reading. kalau sinetron kan enggak ada tuh reading. Nah, ini benar-benar seperti film, tapi dibuat kayak sinetron," kata Morgan.

Bagaimana dengan Honor? "Kalau ini tergantung pada proyeknya," ucap Putri singkat.

Sedangkan Morgan mengatakan bahwa dirinya tak pernah melihat bayaran sebagai prioritas dalam berkarier. "Kalau aku suka cerita, karakter, sutradaranya cocok, aku terpanggil, aku ayo. Kalau soal hitung-hitungan (honor) itu sudah di ranah manajemen," ujarnya.

Tak Berdampak pada Bioskop

Tren VOD ke depannya diprediksi bakal menggerus penonton layanan TV kabel atau berbayar. Namun, hal yang sama justru disebut-sebut tak akan terjadi pada bioskop. Bahkan hal itu pun juga diakui oleh Will Smith. Ia melihat bahwa VOD dan bioskop bisa dan sudah seharusnya berdampingan.

“Saya punya anak berusia 16, 19 dan 25 tahun di rumah dan kebiasaan menonton mereka hampir bersifat antropologis. Ini adalah studi yang bagus untuk melihat mereka masih pergi ke bioskop pada Jumat atau Sabtu malam, dan mereka menonton Netflix sepanjang minggu. Ini adalah dua pengalaman yang berbeda," ujar Smith.

Hal yang sama juga berlaku di Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Putri Ayudya. Fenomena VOD menurutnya bukanlah sebuah ancaman bagi eksistensi bioskop. Namun, berbeda hal dengan TV kabel.

"Saya kira bioskop masih bisa menghadirkan pengalaman yang berbeda. Apalagi skrg ada IMAX. Bagi saya itu enggak tergantikan. Pengalaman nonton bareng bioskop dengan teman-teman masih spesial. Namun ya, bisa jadi TV kabel tergantikan bila seluruh program bisa diadopsi ke streaming. Tapi saya berharap ini justru menjadi pendorong dan bukannya kanibal untuk wilayah distribusi film. Juga untuk memperluas market hingga tempat yang enggak terjangkau bioskop," kata Putri.

Konsumsi Video Streaming Meningkat - Sorot Fenomena Layanan Bioskop Online

Pendapat Putri juga diamini oleh Morgan Oey. Dia sendiri mengaku tidak akan pernah meninggalkan cara menonton film lewat bioskop, dengan alasan pengalaman yang tak bisa disamakan dengan cara menonton film lainnya.

"Kalau nonton sih aku enggak akan pernah ninggalin, karena menurut aku nonton di bioskop itu pengalaman sinemarik yang enggak bisa aku dapetin dengan misalnya nonton DVD di rumah. Nonton di layar TV sama di layar lebar itu pengalamannya berbeda sekali. Aku enggak akan pernah ninggalin nonton bioskop," ujar Morgan.

Bukan hanya para sineas film, Ted Sarandos selaku Chief Content Officer Netflix pun menyangkal jika layar yang lebih kecil, dalam hal ini VOD akan mematikan industri bioskop. "Ingat, Anda bisa makan makanan apapun di rumah yang bisa Anda makan di luar rumah. Namun, orang tetap memilih untuk makan di luar rumah," ucapnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya