SOROT 512

Dilema PKS dan PAN

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) bertemu dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kiri)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Wajah Fahri Hamzah mengeras. Ia segera berdiri, mengambil spidol, dan bergerak cepat menuju papan tulis. "Saya jelaskan pada Anda, apa yang sesungguhnya sedang dihadapi," ujarnya di dalam ruang rapat kantor redaksi VIVA.

Softbank Batal Investasi di IKN, Fraksi PKS: Jangan Perbesar APBN

Fahri lalu menuliskan semua yang ia ketahui tentang kondisi politik saat ini. Tentunya tak lepas dari sudut pandang dia sebagai Wakil Ketua DPR RI dan juga politisi Partai Keadilan Sosial, di mana pimpinan partai itu lagi berseteru dengannya.

Padahal di partai itu lah yang selama ini membesarkan dan dibesarkan oleh Fahri. Beberapa kali Fahri terdiam, menarik nafas, atau menggelengkan kepala saat redaksi VIVA menanyakan atau mengonfirmasi soal perpecahan yang terjadi di dalam tubuh PKS, termasuk bagaimana kondisi PKS menghadapi Pileg dan Pilpres 2019.

Fahri menyesalkan gejolak politik yang terjadi di internal PKS. Menurutnya, partai itu harus melakukan perubahan besar jika ingin tetap eksis. Meski demikian ia mengaku akan bertahan. "Saya memilih setia," ujarnya sambil tergelak.

Fahri Hamzah

Dicopot dari Wakil Ketua DPRD DKI, Begini Kata Abdurrahman Suhaimi

Wakil Ketua DPR RI dan juga politisi Partai Keadilan Sosial, Fahri Hamzah saat mengunjungi VIVA, di Jakarta. (VIVA/M Ali Wafa)

Perpecahan PKS dan kerasnya keputusan Majelis Syuro soal Pilpres adalah bagian dari keprihatinan Fahri. Ia mengkhawatirkan, nasib partai yang pernah berjaya di Pemilu 2004 dan 2009 itu akan berakhir mengenaskan.

Kekhawatiran Fahri sangat beralasan. PKS saat ini seperti berhadapan dengan “buah simalakama”. Kesetiaannya pada Gerindra menghadapi ujian dengan masuknya Demokrat dalam koalisi yang sudah terjalin intim antara PKS, PAN, dan Gerindra sejak 2014 lalu.

Padahal sejak tahapan Pilkada 2018 selesai, PKS sudah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi Pilpres 2019. Mereka mengajukan sembilan nama yang direkomendasikan oleh Majelis Syuro untuk menjadi capres atau cawapres. Begitu pula dengan Partai Amanat Nasional atau PAN. Mandat Rakernas PAN yang diadakan pada tahun 2017 adalah merekomendasikan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sebagai capres atau cawapres dari partai tersebut.

Di tengah koalisi yang makin melekat, PKS dan PAN mendapat kejutan besar. Kejutan pertama dimulai dengan Prabowo yang dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Gerindra. Padahal PKS sudah menyiapkan sembilan nama. PKS juga sudah legowo dengan mengalah di Pilkada DKI dan rela menyeberang meninggalkan Demokrat di Pilkada Jawa Barat.

Tapi kesabaran mereka berbuah pahit. Seolah tak mempertimbangkan perasaan PKS, Gerindra lebih dulu melakukan deklarasi mendukung Prabowo menjadi capres. PKS dan PAN kecolongan.

PKS bersikukuh dengan sembilan nama. Jika wartawan bertanya, PKS memberi jawaban bahwa mereka komit dengan rekomendasi dari Majelis Syuro. Tak ada kalimat yang disampaikan bahwa mereka mendukung pencapresan Prabowo. Malah nama Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan yang sempat disandingkan dengan calon-calon dari PKS.

Kejutan besar kedua adalah pendekatan Partai Demokrat dan Gerindra yang akhirnya berbuah kesepakatan koalisi. Di luar prediksi banyak pengamat, Demokrat tiba-tiba bergerak aktif merapat ke Partai Gerindra. SBY dan Prabowo saling berkunjung, lengkap dengan petinggi partai masing-masing.

Beberapa hari lalu, usai pertemuan empat mata dengan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan Prabowo Subianto adalah calon presiden 2019-2024. "Kami datang dengan satu pengertian, Pak Prabowo adalah calon presiden kita," kata SBY dalam jumpa pers di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran, Jakarta, Senin, 30 Juli 2018.

Amunisi Melimpah, Modal Kuat Demokrat

Pernyataan SBY dan fakta menguatnya intensitas komunikasi politik antara Partai Demokrat dan Gerindra membuat koalisi Gerindra-PKS-PAN yang sebelumnya terlihat sangat solid kini seperti tercerai berai. Demokrat yang masuk dengan 'amunisi' lebih tentu memberi tambahan tenaga untuk Gerindra dan Prabowo. Meski bagi PAN dan PKS, gabungnya Demokrat bisa saja menjadi “pesaing” buat mereka. Sebab, Demokrat masuk koalisi dengan segala kelebihannya.

Direktur Indonesian Watch for Democracy (IWD) Endang Tirtana menilai, masuknya Demokrat ke Gerindra adalah hal yang sangat strategis. "Ini koalisi alternatif di tengah koalisi yang hampir solid antara Gerindra, PKS dan PAN. Munculnya Demokrat sebagai mitra alternatif tentu sangat strategis bagi Prabowo. Namun tentu ada yang bakal gigit jari, dalam hal ini bisa jadi PKS dan PAN," kata Endang, Sabtu, 28 Juli 2018.

Endang menilai, koalisi Gerindra-Demokrat yang mungkin akan menduetkan Prabowo-AHY itu termasuk yang paling ideal ketimbang dengan nama-nama yang disodorkan PAN atau PKS. "Gerindra tidak akan kehilangan magnet elektoralnya dengan menggandeng Demokrat, sementara demikian pula sebaliknya Demokrat juga bisa mendongkrak elektabilitasnya akibat kebanyakan berada di posisi netral, apalagi ada AHY sebagai magnet baru," ujarnya menambahkan.

Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan mengakui, masuknya Demokrat membawa banyak kelebihan yang menguntungkan Gerindra. Pertama, elektabilitas AHY lebih tinggi jika dibandingkan Aher, Anis Baswedan, dan Gatot Nurmantyo, yang disebut sebagai kandidat cawapres Prabowo.

Kedua, jika Demokrat bergabung, maka Demokrat akan menjadi partai terbesar kedua setelah Gerindra.  Ketiga, selain memiliki suara partai yang hampir seimbang dengan Gerindra, SBY punya pengalaman memimpin indonesia dua periode, dan itu nilai penting untuk memberikan kontribusi pada pemenangan Prabowo jika AHY menjadi cawapresnya.

"Terakhir yang tidak kalah penting, bahkan ini bisa jadi yang paling penting, SBY mempunyai kemampuan besar untuk menyediakan logistik yang lebih besar dibandingkan partai-partai lain untuk membantu prabowo untuk memenangkan pertarungan 2019 nanti," ujar Djayadi Hanan kepada VIVA Kamis, 2 Agustus 2018.

Jadi, menurut Djayadi, dengan bergabungnya Demokrat ke Gerindra, Prabowo seperti langsung mendapat tiket yang cukup. Itu sebabnya, daya tawar Demokrat menjadi tinggi.

Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya memaparkan hasil survei nasional konstelasi elektoral Pilpres dan Pileg 2019

Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya saat memaparkan survei nasional konstelasi elektoral Pilpres 2019 di Jakarta. 

Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya yakin, masuknya SBY ke Gerindra sudah dengan pertimbangan matang. SBY, menurut Yunarto, sedang menatap 2024. Di mana di tahun tersebut usia Agus Harimurti Yudhoyono sudah matang dan pengalaman politik sudah makin mumpuni.

Namun SBY tak akan datang tanpa harap. Ia tak yakin Demokrat datang hanya sekadar sebagai partai pendukung. "SBY memiliki jaringan logistik besar, jaringan politik, dan jaringan finansial besar dan infrastruktur politik yang dimiliki sebagai presiden dua periode. Itu akan membuat SBY 'all out' dibandingkan hanya menjadi partai pendukung. Dari misalnya Prabowo-Anies atau Prabowo-Salim Segaf atau nama-nama lainnya," ujar Yunarto.

Sedangkan pengamat politik Gun Gun Heryanto mengaku tak kaget dengan pilihan Demokrat untuk bergabung dengan Gerindra. Sebab, sejak awal sudah terlihat bahwa figur SBY dan Megawati sulit bertemu. Selain itu, jika Demokrat masuk dalam barisan pendukung Jokowi, maka posisi AHY tak bisa melesak menjadi kandidat cawapres. Sebab, para ketua partai koalisi pendukung Jokowi jauh lebih matang dan partai mereka juga memiliki kekuatan yang seimbang dengan Demokrat.

"Gabungnya Demokrat, tentu menambah kekuatan oposisi. Bagaimana pun Demokrat suaranya lumayan, 9 persen. Ditambah dengan perolehan suara Gerindra 13 persen, maka dua partai itu sudah melampaui Presidential Treshold 20 persen," tutur Gun Gun.

Ke mana PKS dan PAN Akan Berlabuh?

Keputusan Demokrat yang terlihat makin merapat ke Gerindra wajar membuat PKS dan PAN ketar ketir. Dua partai yang biasanya selalu setia dalam koalisi kini melihat ancaman. Gerindra belum selesai dengan mereka soal Pilpres 2019, tapi kini sudah membuka diri untuk masuknya Demokrat.

Kekuatan Demokrat jelas membuat partai itu bisa saja ikut mengatur arah koalisi. Meski SBY mengaku tak akan campur tangan dalam urusan memilih cawapres Prabowo, tapi seperti disampaikan Yunarto Wijaya, dengan amunisi yang demikian kuat, rasanya mustahil jika SBY dan Demokrat hanya memilih menjadi penonton atau partai pendukung.

Kadiv Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaen menampik bahwa Demokrat meminta jatah cawapres ke Prabowo. Ia menegaskan, koalisi ini berangkat dari kesamaan melihat persoalan bangsa dan kesamaan cara, bagaimana menyelesaikan persoalan bangsa.  

"Jadi koalisi ini tidak melihat dari kesamaan berpikir bagaimana membagi-bagi jabatan. Apakah itu wapres atau menteri tidak sama sekali. Tidak ada kesepakatan-kesepakatan soal itu. Masalah cawapres kami menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Prabowo untuk memilih siapapun yang nantinya bakal dipilih," ujar Ferdinand kepada VIVA.

Ferdinan menambahkan, Demokrat tetap mendukung Prabowo sebagai capres karena cara pandang yang sama akan memudahkan mereka untuk bekerja sama.

SBY bertemu para petinggi PKS, Senin, 30 Juli 2018.

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bertemu sejumlah petinggi Partai Keadilan Sejahtera

Kepada VIVA, PKS mengaku menyambut kedatangan Demokrat dalam koalisi. Namun disisi lain PKS mengaku tak akan mundur untuk tetap memperjuangkan amanah Majelis Syuro dengan sembilan nama yang mereka rekomendasikan.

"Kami menyambut masuknya Demokrat dalam jajaran koalisi, karena akan memperluas dukungan rakyat pada pasangan koalisi PKS-Gerindra. Jika ada nama di luar sembilan nama yg kami tawarkan, maka pimpinan akan membahasnya di rapat Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) dan berikutnya di bawa ke sidang Majelis Syuro PKS," ujar Direktur Pencapresan PKS, Suhud Aliyudin.

Sebelumnya, Suhud sempat melemparkan opsi bahwa PKS siap abstain di Pilpres 2019 jika rekomendasi Majelis Syuro mereka tak digubris Gerindra. Belakangan, Suhud meralat ucapannya. Ia mengatakan bahwa itu adalah pendapatnya pribadi, bukan pendapat partai.

"Kami kira saat ini koalisi masih cair. Masih ada kemungkinan untuk berubah. Kami akan berjuang mendapatkan opsi terbaik. Tentang sikap resmi PKS akan ditentukan di Sidang Majelis Syuro PKS," ujarnya. Tapi Suhud menegaskan, hingga saat ini PKS tidak membuka opsi bergabung ke Jokowi.

Wasekjen PKS juga memastikan, selain menjalankan amanah Majelis Syuro, pihaknya juga menjunjung tinggi rekomendasi dari hasil Ijtima Ulama. Pekan lalu, pertemuan sejumlah ulama merekomendasikan paket capres-cawapres. Nama untuk capres hanya Prabowo Subianto, sedangkan untuk cawapres ada nama Salim Segaf Al Jufri, Ketua Majelis Syuro PKS dan pendakwah Ustad Abdul Somad.

Segendang sepenarian dengan PKS, Partai Amanat Nasional juga cenderung menolak bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi. Sekjen PAN Edi Suparno tak secara tegas menolak bergabung dengan Jokowi. Ia mengatakan sampai saat ini opsi apa pun masih terbuka.

Ia menekankan, bagi PAN yang terpenting adalah PAN bisa memilih presiden yang mewakili aspirasi PAN dan bisa menang. PAN juga menargetkan untuk memantapkan eksistensi partainya di parlemen agar semakin kuat. "Jadi kan kita bicara Pileg dan Pilpres, jangan sampai kita mendukung presiden, kemudian presiden kalah, mudah mudahan enggak, dan kemudian kursi PAN diparlemen merosot," ujarnya.  

Edi dengan yakin mengatakan, kalau diberi kesempatan memilih, ia akan pilih parlemen. Karena hakikat eksistensi partai adalah kehadiran di parlemen. Semakin besar kursi sudah pasti akan berdampak positif yang lebih besar dan bisa diberikan pada konstituennya.

Poros Sendiri

Saat ditanya kemungkinan membikin poros sendiri, Suhud memastikan, saat ini PKS masih menunggu keputusan Prabowo tentang cawapres yang akan ia pilih. "Setelah itu akan kami bicarakan lagi di Majelis Syuro," ujarnya.

Sedangkan Wasekjen PKS Abdul Halim mengajak bersabar dan menunggu proses. "Nanti teman-teman akan tahu ujung ceritanya, kebersamaan PKS dan Gerindra sudah teruji," ujarnya.

Sementara bagi PAN, meski masih berharap Ketua Umum Zulkifli Hasan yang akan terpilih menjadi pendamping Prabowo, namun PAN masih membuka opsi untuk dialog agar ada konsensus. Wasekjen PAN Edi Suparno mengatakan PAN menganut konsep open minded.

"Jadi pikiran harus terbuka saat duduk bersama, meja kosong. Dalam artian jangan bawa apa apa, wapres dari gue ya, logistik elo, nah itu jangan. Jadi mari kita gelar semua opsi yang ada. Kita diskusikan bersama-sama. Kalau dari awal sudah mengatakan saya punya prasyarat mutlak ini, itu, kalau engga saya balik kanan. Ya, kita akan sulit cari konsensus. Apalagi ini konsensusnya kolektif akan sulit semua mengiyakan," ujarnya.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (kanan)

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (kanan) di Jakarta. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Walaupun tak menutup kemungkinan adanya koalisi baru, namun Edi memastikan kemungkinan bertahan dalam koalisi dengan Gerindra tetap terbuka. Syaratnya adalah ideologi bangunan koalisi masih tegak, dan masih memiliki cara pandang yang sama, juga misi yang diemban juga masih sama.

"Apalagi misi yg diemban untuk kepentingan lebih besar lagi, misal kita tujuannya dari pemerintahan untuk memperkecil jurang kesenjangan, kedaulatan negara diatas segalanya, evaluasi kontrak kontra karya yang merugikan, tentu akan kita pertahankan karena itu jadi daya tarik bagi kita untuk memperjuangkannya," ujar Edi menegaskan.

Sabtu, 4 Agustus 2018, pendaftaran capres dan cawapres Pemilu 2019 mulai dibuka di Kantor Komisi Pemilihan Umum. Batas terakhir pendaftaran adalah tanggal 10 Agustus 2018. Selama tujuh hari ke depan masih banyak kemungkinan bisa terjadi, dan dalam politik apa pun bisa terjadi. Pertarungan politik menuju RI 1 tentu jadi makin menarik, dan sengit. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya