SOROT 374

Angkot dari Masa ke Masa

Metromini di Jakarta.
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id - Afrizal (48) terlihat sibuk dengan Metro Mini bututnya. Kedua tangannya memegang erat kemudi. Sementara, sesekali kakinya menginjak pedal gas. Tiap kali kakinya menekan pedal gas, ia akan menjulurkan kepalanya ke luar jendela. Ia melakukan itu untuk melihat asap yang keluar dari knalpot Metro Mini nomor 46 jurusan Pulogadung-Kampung Melayu ini.

Maut di Jalan Raya

Pagi itu, Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur terlihat padat. Deru kendaraan yang lalu lalang beradu dengan teriakan calo, kernet dan sopir yang berburu penumpang. Namun, memilih bertahan di dalam kendaraan. Padahal, ia tak memiliki kernet yang membantunya mencari penumpang.

Hari beranjak siang. Namun, penumpang tak kunjung datang. Deretan kursi warna orange masih kosong. Sebagian kursi yang terbuat dari fiber itu terlihat bolong. Cat di dinding bus juga terlihat kusam dan melepuh di sana-sini.

Meruwat Layanan 'Semau Gue'

Sembari menanti penumpang, Afrizal terus mengecek ‘kesehatan’ tunggangannya tersebut. Tiap kali kakinya menekan pedal gas, asap hitam langsung membumbung dari pantat bus yang sudah lapuk tersebut. "Kalau asapnya putih, itu tandanya udah parah mesinnya. Kalau hitam, itu berarti masih mendingan," ujarnya membuka percakapan.

Afrizal mengakui, Metro Mini yang ia kendarai sudah uzur. Banyak perlengkapannya yang sudah tak berfungsi, mulai dari ketiadaan alat untuk mengukur kecepatan hingga wiper pembersih kaca depan. Belum lagi kursi dan badan bus yang sudah bopeng di sana sini. "Saya nggak punya kerjaan lain. Pendidikan saya cuma sebatas SMP. Jadi daripada nggak kerja, saya narik ini," ujarnya kepada VIVA.co.id yang menyambanginya, Rabu, 9 Desember 2015.

Jasad Terakhir Metromini Maut Ternyata Andi

Pria berkulit gelap ini mengatakan, ia telah sepuluh tahun bertahan menjalani profesi sebagai sopir Metro Mini. Ia mengaku tak punya pilihan, dan terpaksa mengemudikan kendaraan yang setiap saat mengancam keselamatan dia dan para penumpangnya tersebut.

Namun, Afrizal tak sendiri. Organisasi Angkutan Darat (Organda) mencatat, hampir 90 persen Metro Mini yang saat ini beroperasi di Ibu Kota, tak laik jalan, karena sudah berumur lebih dari 30 tahun.

Raja Jalanan

Unjuk Rasa Sopir Metro Mini

Metro Mini populer karena dianggap mampu memberi layanan angkutan penumpang paling memadai untuk warga Jakarta.

Metro Mini mulai dikenal pada tahun 1960-an. Awalnya, bus ini diperuntukkan untuk mengangkut para peserta Asean Games tahun 1962. Konon, usai digunakan untuk ‘menjamu tamu’, bus ini teronggok, tak digunakan.

Usai pagelaran olahraga tingkat Asia Tenggara tersebut, bus berkelir oranye dengan kapasitas penumpang puluhan orang ini tak beroperasi. Akhirnya, Pemerintah DKI Jakarta memanfaatkan ribuan bus tersebut. Salah satunya dengan menitipkan pengelolaannya kepada perusahaan bus swasta, Arion. Namun sayang, Arion kewalahan.

Pada tahun 1976, di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin dibentuklah badan usaha yang menaungi para penguasa jalanan tersebut dalam PT Metro Mini. Setidaknya, ada dua ribu pemilik Metro Mini yang bergabung kala itu.

Metro Mini pun menjadi populer dan dianggap mampu memberi layanan angkutan penumpang paling memadai untuk warga Jakarta pada tahun 60-an. Metro Mini yang kala itu diperkirakan mencapai enam ribu unit berhasil memikat warga Ibu Kota.

Julukan ‘raja jalanan’ melekat pada angkutan yang murah meriah ini. Pasalnya, bus yang mematok tarif sekitar Rp3.000 ini sering dikendarai sopir yang 'berani'. Sopir angkutan ini dikenal ugal-ugalan dan sering menurunkan penumpang di tengah jalan. Tak hanya itu, Metro Mini juga dikenal tak memiliki perlengkapan dan komponen keselamatan kendaraan yang memadai.

Banyak yang membenci kehadiran Metro Mini. Namun, tak sedikit yang mencari. Pasalnya, harus diakui, cuma Metro Mini yang menguasai jalanan, karena memiliki rute trayek terluas dibanding moda transportasi jenis lain. Selain itu, tarif angkutan ini juga terbilang murah.

Hampir 31 tahun berselang, tepatnya di tahun 1993. PT Metro Mini yang menaungi enam ribu unit bus ini mengalami konflik internal. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang telah membentuk pengurus baru pada tahun 1995 digugat oleh pengurus periode sebelumnya. Gugatan dilayangkan dan berhasil dimenangkan oleh para pengurus periode tahun 1993.

Dampaknya, konflik di internal semakin mengeras dan tak dapat dihindari. Puncaknya, pada tahun 2013, konflik laten yang terpendam sejak 1993 itu berbuah perusakan. Markas PT Metro Mini di Rawamangun, Jakarta Timur diserang dan dirusak oleh sejumlah sopir.

Dewan Pengurus Pusat (DPP) Organda mencatat, jumlah Metro Mini di Jakarta terus menyusut. Dari enam ribu unit pada tahun 1962-an, hanya tersisa 3.168 unit pada tahun 2013. Jumlah ini menyusut lagi pada tahun 2014 menjadi 1.672 unit.

Dari Trem hingga TransJakarta

Bus Baru Transjakarta Bermasalah

Transjakarta dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas warga Ibu Kota.

Jakarta tak hanya punya Metro Mini. Sejarah transportasi publik di Ibu Kota ini sudah berlangsung lama, yakni sejak abad 18, jauh sebelum Metro Mini ada. Salah satunya adalah trem. "Awalnya trem ditarik menggunakan kuda. Namun, akhirnya banyak kendala. Setidaknya, 545 ekor kuda dilaporkan mati. Selain itu, orang Eropa menganggap, trem merendahkan martabat mereka. Karena itu trem kuda dihentikan," tulis laporan Java Bode (1860) seperti dikutip dari laman jakarta.go.id.

Kemudian, pada 1886, dioperasikan trem uap dan berlanjut ke trem listrik pada 1900. Bagi warga Jakarta, kenangan trem listrik ini begitu populer hingga 1959. Jejaknya masih bisa ditemukan di Museum Fatahillah serta jembatan bekas trem yang melintasi Sungai Ciliwung di daerah Jalan Raden Saleh.

Tahun 1960-an, perlahan menjamur kendaraan yang dikenal dengan sebutan oplet. Meski sejak tahun 1930-an kendaraan yang umumnya bermerek Morris atau Austin dan produksi Inggris ini telah muncul, namun mereka baru populer beberapa tahun kemudian sebagai angkutan umum.

Oplet umumnya dimodifikasi dengan membagi dua ruang, yakni ruang sopir dan penumpang dengan pintu samping dan belakang. Namun, zaman keemasan oplet berakhir pada tahun 1970-an, saat Gubernur Jakarta, Tjakropranolo memberangus angkutan kota ini.

Bemo Transportasi Legenda Jakarta

Meski dilarang melintas di jalanan Ibu Kota, moda transportasi ini masih bisa ditemui di kawasan Bendungan Hilir dan Tanah Abang.

Fungsi oplet kemudian digantikan Becak Motor (bemo). Produk Jepang ini muncul seiring dengan penyelenggaraan Asean Games 1962. Awalnya, angkutan ini diproyeksikan untuk menggantikan becak. Namun, rencana ini gagal. Produksi bemo yang tak berkelanjutan membuat suku cadangnya sulit dan langka. Akhirnya, pada tahun 1971, kendaraan roda tiga ini dilarang melintas di jalanan Ibu Kota. Meski demikian, di beberapa titik, moda transportasi ini masih bisa ditemui, seperti di kawasan Bendungan Hilir dan Tanah Abang.

Pada tahun 1980-an, di Jakarta muncul bus bertingkat. Namun sayang, angkutan massal ini juga tak bertahan lama. Penyebabnya, bus ini tak stabil dan kerap kesulitan melewati jalur menanjak terutama di jalan layang. Karena itu sebagai penggantinya, akhirnya muncul kendaraan umum bernama Mikrolet yang merupakan singkatan dari Mikro (kecil) dan Oplet.

Namun, ini bukan transportasi publik terakhir. Pasalnya, seiring perkembangan zaman, beragam angkutan terus berkembang. Hingga kemudian pada tahun 2004, lahirlah Transjakarta. Mengadopsi pola transportasi di Bogota Kolombia, Transjakarta dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas warga Ibu Kota.

Sejauh ini Transjakarta memiliki lintasan terpanjang di dunia, yakni 208 kilometer, serta memiliki 228 halte yang tersebar dalam 12 koridor (jalur). (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya