SOROT 377

2016, Tahunnya Tiongkok

Uang kertas Yuan bersama mata-mata uang lainnya.
Sumber :
  • REUTERS/Tyrone Siu

VIVA.co.id - Pada 2016, lupakanlah Ketua Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) Janet Yellen atau Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB), Mario Dragi. Orang yang akan menjadi sorotan dunia adalah Presiden Republik Rakyat Tiongkok, Xi Jinping.

Dia disebut-sebut menjadi pemimpin China paling kuat sejak Mao Zedong, pendiri Republik Rakyat China. Xi telah mengguncang ekonomi dunia pada 2015, dan di 2016 diperkirakan, segala apapun mengenai ekonomi China akan berpengaruh pada perekonomian dunia. Apalagi pada 2016, dengan China menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara yang memiliki ekonomi besar G-20, Xi secara otomatis menjadi presiden kelompok negara-negara yang berupaya mendorong stabilitas ekonomi secara berkelanjutan itu.

Xi berdiplomasi dengan sangat luwes. CNBC, pada Rabu 30 Desember 2015, menyebut, Xi telah dianggap teman makan malam yang menyenangkan bagi keluarga kerajaan Inggris, khususnya Ratu Elizabeth, saat berkunjung ke negara itu beberapa waktu lalu. Begitu pula Presiden AS Barack Obama terpesona dengan kunjungan Xi ke Gedung Putih belum lama ini.

Xi juga mudah berbaur dengan para bos-bos perusahaan multinasional besar di dunia. Setiap kunjungan kerjanya ke negara lain, salah satu agenda penting yang wajib dilakukan adalah menemui para pengusaha kakap dan bonafide. Tak heran untuk pertemuan G-20 tahun 2016 ini, dia memilih tema "Membangun ekonomi inovatif, menyegarkan, dan saling berhubungannya antarkeuangan dunia". Tema yang menandakan jelas bahwa China ingin lebih berperan dalam ekonomi dunia pada 2016.

Vietnam Kirim Peluncur Roket ke Laut China Selatan

Presiden Tiongkok, Xi Jinping

Xi berdiplomasi dengan sangat luwes. Xi telah dianggap teman makan malam yang menyenangkan bagi keluarga kerajaan Inggris, khususnya Ratu Elizabeth. FOTO: REUTERS/John Lok/Pool

Tiongkok Bangun Hanggar Pesawat di Laut China Selatan

Meski pertumbuhan ekonomi China menurun di tahun 2015, dihitung IMF tidak tembus angka 7 persen, namun sejumlah peristiwa monumental terjadi. November 2015, mata uang China Renminbi resmi masuk keranjang Special Drawing Rights (SDRs), atau mata uang yang diakui Dana Moneter Internasional (IMF), sebagai mata uang internasional. Desember 2015, Zimbabwe, sebuah negara di Afrika, resmi menggunakan Renminbi sebagai mata uang negaranya.

Pada 2015, untuk pertama kalinya, China adalah rumah bagi empat perusahaan terbesar di dunia. The Forbes Global 2000, yaitu daftar lengkap perusahaan publik yang paling kuat di dunia, yang diukur dengan nilai komposit pendapatan, laba, aset dan nilainya pasar keuangan, menyatakan 232 dari 2.000 perusahaan terbesar global berpusat di China. Pada 2015, perusahaan-perusahaan China dalam daftar ini meraup pendapatan US$4,6 triliun, keuntungan US$473 miliar, dengan total aset US$25 triliun, dan US$6 triliun nilai pasar.

E-Commerce raksasa Alibaba berada di urutan 269, setelah mencetak initial public offering (IPO) terbesar dalam sejarah di New York pada 2014. Pendatang baru terkenal lainnya termasuk properti komersial Dalian Wanda, dijalankan oleh orang terkaya China Wang Jianlin, dan Lens Technologies, yang ternyata pendirinya Zhou Qunfei menjadi seorang wanita terkaya di dunia.

Tiongkok telah menjadi raksasa baru. Segala macam barang yang ada di dunia telah diproduksi di Tiongkok. “Kami hampir di kapasitas maksimum industrialisasi. Kami memproduksi hampir segalanya,” kata He Yafei, Vice President of the Chinese Overseas Exchange Association, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Desember 2015.

Karena itu, kata He Yafei, Tiongkok harus melakukan ekspansi global. Karena, “tidak ekonomis lagi membuat segala sesuatu di China,” kata mantan Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok itu dalam diskusi yang diselenggarakan Foreign Policy Forum itu. Lebih efisien bagi China membangun pabrik di negara lain daripada membangun di negerinya sendiri.

Sejak 2014, China telah menjadi negara net capital export; ekspor kapital dalam bentuk investasi lebih dominan daripada ekspor barang. Tahun 2016 nanti, diperkirakan 1,25 triliun dolar Amerika Serikat kapital China akan mengalir ke luar, kata He.

One Belt One Road

Ekspansi ke luar ini sudah dimulai jauh-jauh hari. Sejak 2013, Presiden Xi sudah memprakarsai One Belt One Road (OBOR), sebuah program pembangunan infrastruktur menghidupkan kembali jalur kuno yang menghubungkan Timur dengan Barat: Jalur Sutra. Jalur Sutra ini terdiri dari Jalur Sutra Darat dan Jalur Sutra Maritim, menghubungkan benua Asia, Eropa, dan Afrika.

Datang Sebagai Turis ke Jerman, Malah Dikira Imigran

Infrastruktur ini meliputi jalan raya, jalur kereta api, pelabuhan laut dan udara, kawasan ekonomi khusus, jalur pita lebar, pembangkit listrik, dan kota-kota mandiri baru. Jalur ini diperkirakan akan menguntungkan 4,4 miliar orang atau sekitar 63 persen dari populasi global. Satu sabuk, satu jalan, menghubungkan tiga perlima dunia.

Warna-warni jalan layang di Jinan, Provinsi Shandong, China

Presiden Xi memprakarsai One Belt One Road (OBOR), sebuah program pembangunan infrastruktur menghidupkan kembali jalur kuno yang menghubungkan Timur dengan Barat: Jalur Sutra. FOTO: REUTERS/Stringer

Untuk melaksanakan OBOR, China telah menciptakan China-ASEAN Maritime Cooperation Fund senilai RMB 3 miliar pada 2011, menyumbang US$40 miliar pada Silk Road Fund pada tahun 2014, dan mendirikan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang resmi diluncurkan pada 2015. China juga telah menjalin sejumlah komitmen bilateral pembangunan infrastruktur dengan negara-negara yang terkait jalur ini di Asia, Afrika dan Eropa, tak terkecuali dengan Indonesia.

Para pemimpin ASEAN sebelumnya telah memiliki peta Master Plan ASEAN Connectivity (MPAC) pada tahun 2010, yang berfokus pada konektivitas infrastruktur, kelembagaan, dan hubungan antar warga negara. Namun, ASEAN terbatas sumber daya keuangan dan kapasitas untuk melaksanakan MPAC. Karena itu, OBOR sangat disambut baik oleh MPAC yang juga memprioritaskan pembangunan infrastruktur, perdagangan dan promosi investasi, dan hubungan budaya. Pada 2015, beberapa negara ASEAN menyerukan rencana aksi strategis untuk mengintegrasikan MPAC dengan OBOR.

Pada 2015, China menyalip Jepang untuk proyek kereta api kecepatan tinggi pertama di Indonesia. Indonesia membuat keputusan besar dan sangat mengejutkan karena memberikan proyek ini kepada China daripada Jepang, untuk membangun rel kecepatan tinggi menghubungkan Jakarta dengan Bandung. 2016, Proyek raksasa ini mulai digeber.

Emirza Adi Syailendra, analis dari The S. Rajaratnam of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University, Singapura, menyatakan, meskipun proposal Jepang menarik, China akhirnya mengamankan proyek ini dengan tawaran yang sulit ditolak oleh Jakarta. China menunjukkan bahwa tidak ada keraguan untuk menggunakan senjata terbesarnya yakni uang dan fleksibilitas untuk beradaptasi dengan kebutuhan pemerintah Indonesia.

Sementara itu Jepang, setelah menyelesaikan studi kelayakan yang dibuatnya selama 10 tahun dengan biaya sekitar US$3 juta, merasa percaya diri proyek itu akan didapatkan. Apalagi, sebagai investor terbesar kedua di Indonesia, Tokyo juga telah menikmati hubungan yang kuat dengan Jakarta. Produk-produk yang ditawarkannya pun berkualitas tinggi dengan pinjaman bilateral murah untuk pembiayaan. Indonesia harus membayar hanya 0,1 persen bunga. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe juga berusaha untuk menawarkan kesepakatan di menit-menit terakhir, dengan mengurangi kuantum jaminan berdaulat Indonesia, memperpendek waktu penyelesaian sekitar lima tahun, termasuk transfer teknologi dan menjanjikan untuk memperluas kerjasama maritim dengan Indonesia.

Sayangnya, ketika uang berbicara, segala nilai tambah tersebut dikesampingkan pemerintah Indonesia. Beijing telah menawarkan Jakarta pinjaman senilai US$5,27 miliar, jauh lebih besar dibanding Tokyo senilai US$4,4 miliar. Tawaran dari China tanpa jaminan pemerintah dan murni sebagai transaksi bisnis-ke-bisnis, penawaran itu pun diikuti oleh janji-janji lainnya seperti peningkatan kapasitas, dan pengembangan industri manufaktur lokal yang akan membuka peluang kerja bagi sekitar 40.000 pekerja.

Ini berarti bahwa pemerintah Indonesia akan menikmati hasilnya, sementara China mengangkat seluruh beban berat proyek ini. Bejing pun berjanji akan menyelesaikan proyek ini sebelum Pemilu 2019. Itu akan menjadi nilai tambah bagi Presiden Joko Widodo, yang kemungkinan akan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Tiga tahun jangka waktu ini tentu saja lebih menarik untuk Jokowi, karena akan menjadi dorongan politik yang sangat besar baginya.

Proyek Kereta Cepat ini jelas menjadi puncak dari investasi besar-besaran China di Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, realisasi investasi Tiongkok secara kumulatif Januari-September 2015, sudah mencapai US$406 juta dengan jumlah proyek mencapai 705 proyek. Sedangkan dalam lima tahun terakhir, realisasi investasi Tiongkok rata-rata tumbuh 66 persen per tahun, dari US$174 juta pada 2010 menjadi lebih dari US$800 juta pada 2014. Selain itu, dari sisi rencana investasi sejak 2010 hingga September 2015 tercatat minat investasi dari Tiongkok menembus angka US$36 miliar.

Pameran Kereta Cepat China di Senayan City

Proyek Kereta Cepat menjadi puncak dari investasi besar-besaran China di Indonesia. FOTO: VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Lobi-lobi ala China ini merupakan cerminan salah satu strategi OBOR. Kebijakan adalah upaya China untuk membuka 'jalan keluar' untuk dirinya sendiri dari negara yang terpojok di Pasifik. Terlebih lagi China menyadari bahwa AS telah menciptakan 'cincin strategis pengepungan' di Pasifik Barat. Banyak sekutu AS di Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina dan Australia juga telah berusaha untuk membentuk persepsi bahwa kebangkitan China adalah ancaman menjulang dan akan mengguncang wilayah tersebut.

Tokyo telah mencoba untuk mengimbangi upaya Beijing untuk meningkatkan dan memperdalam pengaruhnya di Asia Pasifik. Pada bulan Mei 2015, Perdana Menteri Shinzo Abe mengumumkan rencananya memperdalam hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara melalui peningkatan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur selama lima tahun. Jepang juga telah memperdalam hubungan maritim dengan Filipina dan Vietnam, yang keduanya menentang ketegasan China tumbuh di sengketa teritorial di Laut Cina Selatan.

Namun, salah satu kendala utama yang dihadapi adalah China adalah kurangnya kepercayaan di wilayah tersebut dalam komitmen negara panda itu dengan kualitas produk-produknya. Tetapi, jika China berhasil dalam proyek rel kecepatan tinggi ini, akan membuka peluang untuk proyek-proyek lainnya di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Perlambatan



Namun prediksi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) beberapa tahun lalu yang menyebut China akan menjadi negara ekonomi terbesar dunia mengalahkan Amerika Serikat pada 2016 sepertinya belum bisa terwujud. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat membuat posisi itu baru bisa diperoleh China setelah tahun 2020.

CNN Money menulis, para ekonom memproyeksikan ekonomi China akan jatuh lebih jauh pada 2016. Sementara ekonomi AS akan tetap sama, artinya dalam keadaan 'tapi tidak lebih besar'. Eropa akan meningkat sederhana, tapi masih bersemangat. Dan India serta negara dengan pasar berkembang lainnya akan menjadi superstar.

"Ekonomi global terjebak dalam pola bertahan," kata Bart van Ark, kepala ekonom di The Conference Board.

The Conference Board memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 2,8 persen di 2016, sedikit perbaikan dari 2015 yang diperkirakan akan mencapai 2,5 persen. Sementara itu OECD sedikit lebih optimistis dengan proyeksi 3,3 persen PDB dan 2,9 persen untuk 2015. Sedangkan,  IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2016 akan mencapai 3,6 persen.

Kuncinya adalah China. Hampir tidak ada yang percaya data resmi pemerintah China pada pertumbuhan ekonomi. Namun konsensus para ekonom menyatakan adalah bahwa China mengalami "soft landing".

"Kabar baiknya adalah ini bukan pendaratan keras," kata van Ark.

OECD memperkirakan ekonomi China akan mengalami perlambatan menjadi 6,5 persen tahun ini, dari 2015 yang diproyeksikan akan mencapai 6,8 persen. Cina membeli banyak bahan baku dari negara lain seperti minyak dan tembaga. Jika skenario yang terburuk mengenai perlambatan ekonomi China sudah mencapai klimaks di 2015. Hal itu akan memungkinkan seluruh dunia untuk rebound dan bergerak maju pada 2016.

Sejumlah buruh China menyelesaikan pekerjaan di sebuah proyek konstruksi

Para ekonom memproyeksikan ekonomi China akan jatuh lebih jauh pada 2016. FOTO: REUTERS/Jason Lee

Di dalam negeri, Xi dihadapkan dengan tantangan berat untuk menyeimbangkan perekonomian, dari ketergantungan pada ekspor, untuk fokus lebih besar pada pemenuhan permintaan domestik, konsumsi dan jasa. Kabar baiknya, tantangan tersebut pada tahun 2015 sudah mulai teratasi dengan porsi konsumsi domestik yang telah berperan lebih dari 50 persen dalam komponen pertumbuhan ekonomi negara tirai bambu itu.

Selain itu, Xi juga telah menyiapkan berbagai rencana berani untuk melakukan reformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di China, memperkuat pengawasan lingkungan dan menyatakan perang dengan korupsi. Sebagian besar perusahaan China berinvestasi dengan optimistis untuk masa depan, karena sektor swasta didukung penuh. Pemerintah tidak membatasi produksi barang dan jasa dan mendorong peningkatan penggunaan teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan standar hidup.

Sektor jasa konsumen di China pada 2014 membuat sekitar 13 juta pekerjaan baru dan bertambah lagi sebanyak tujuh juta pekerjaan pada semester pertama 2015. Di sisi lain, regulator membuat penyesuaian yang diperlukan untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan ketidakseimbangan dalam industri.

Namun, apapun yang terjadi di China, jelas akan berdampak pada dunia. Ekonomi China melambat, ekonomi dunia ikut melambat. Mungkin itu yang mendasari pendekatan China sekarang, berkembang bersama negara berkembang lainnya. “Kita harus tumbuh bersama, setiap negara harus mendapat untung,” kata He Yafei, mantan Wakil Menteri Luar Negeri China. [aba]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya