SOROT 431

Melawan Hoax

Kampanye masyarakat Indonesia anti 'hoax' di Kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Sebuah foto beredar di linimasa media sosial jelang akhir tahun 2016. Terlihat sepasang pilar penyangga jembatan tol melengkung.

Dukung TNI Pakai Istilah OPM, Bamsoet: Urusan HAM Bicarakan Kemudian, Saya Siap Pasang Badan

Pilar melengkung yang tampak di foto itu menunjuk pada Jembatan Cisomang di Jalan Tol Purbaleunyi kilometer 100+800, Jawa Barat. Sangat mengkhawatirkan dan berbahaya jika dilalui kendaraan.

Foto itu langsung menjadi viral. Tersebar cepat. Netizen pun bereaksi. Antara percaya dan tidak. Buru-buru, PT Jasa Marga Tbk dan RTMC Ditlantas Polda Jawa Barat segera mengklarifikasi. Mereka memastikan bahwa foto yang tersebar di media sosial adalah bohong atau hoax.  

Pemerintah Terapkan Sistem Kerja WFH dan WFO bagi ASN pada 16-17 April

"Foto tersebut merupakan hasil suntingan oknum tidak bertanggung jawab yang dalam perkembangannya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat," kata Assistant Vice President Corporate Communication Jasa Marga, Dwimawan Heru, kepada VIVA.co.id, Jumat, 23 Desember 2016.

RTMC Ditlantas Polda Jawa Barat juga telah mengonfirmasi di akun Twitternya bahwa foto yang beredar adalah hoax. Mereka meminta agar foto tersebut tidak disebarluaskan.

Siap-siap, Berselancar di Mesin Pencari Google Tidak Gratis

Rabu siang, 11 Januari 2017, sebuah postingan di Facebook juga menyebar. Disebutkan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, meninggal dunia. Semua orang yang membacanya kaget. 

Lalu, menuliskan belasungkawa bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun, saat dikonfirmasi, keluarga menyebut jika anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu dalam keadaan sehat wal afiat. 

Usai konfirmasi tersebut, diberitakan postingan di Facebook itu pun sontak menghilang. 

Kasus tersebut hanya dua dari sekian banyak kasus hoax yang terjadi di Indonesia. Sejak internet dan media sosial hadir, hoax makin tak terbendung. 

Apalagi Indonesia dianggap sebagai negara paling cerewet di media sosial. Meskipun jumlah pengguna internet di Indonesia baru 132,7 juta, atau sekitar setengah dari populasi penduduk, ada 88 juta pengguna Facebook. 

Bahkan, dari 332 juta pengguna Twitter, sebanyak 77 persen adalah pengguna dari Indonesia dengan 4,1 juta tweet per hari.

“Tren hoax meningkat dari 8.617 kasus sejak 2002 hingga 2016. Separuh lebih, sekitar 4.600 kasus itu terjadi di tahun 2016," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Agung Setya kepada VIVA.co.id.

Artinya, terkait berita hoax meningkat. Dari sekian kasus, menurut Agung, sekitar 196 di antaranya sudah melalui proses pemanggilan kepolisian dan pelaku ditangkap.

Kasus-kasus tersebut, kata Agung, kebanyakan adalah berita yang disebar melalui media online tidak kredibel. Namun, tidak semua berita yang disebar di media sosial dianggap sebagai hoax. 

Kriterianya, menurut Agung, adalah berita yang diidentifikasi mampu menimbulkan masalah hukum, berisi materi ancaman, pornografi, suku, agama, ras, serta yang sifatnya memprovokasi atau menimbulkan kerusuhan.

Yang disebutkan Agung merupakan kategori besar konten ilegal yang telah diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sementara itu, terkait hoax, ada beberapa pengertian yang diatur Kemenkominfo dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  

Pertama adalah berita bohong. Kedua, berita yang disebarkan serta mampu menimbulkan kebencian atau permusuhan individu atau kelompok. 

"Itu semua sudah diatur dalam UU ITE Pasal 28, khususnya ayat 2. Sanksinya, enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.

Semuel menyebut, atas dasar aturan pasal 40 UU ITE Tahun 2016 atas perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, Kemenkominfo melakukan segala upaya untuk bisa meredam peredaran hoax. 

Dalam ayat tersebut, pemerintah harus melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan ITE yang mengganggu ketertiban umum. Pada ayat 2b, pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebaran dan penggunaan informasi elektronik dan/atau elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai ketentuan perundang-perundangan. 

Di sana pun tertera, dalam melakukan pencegahan, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses, dan memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi atau dokumen yang dimiliki melanggar hukum. Peraturan tentang tata kelola pelaksanaannya ini, yaitu Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif.

Melawan Hoax
Jumlah hoax yang semakin meningkat dan tak terbendung membuat pemerintah akhirnya berinisiatif melakukan sejumlah cara. Tidak hanya melakukan blokir akses terhadap platform yang menyebarkan hoax, tapi juga membuka jalur aduan khusus hoax. 

Mereka juga bekerja sama dengan beberapa pihak terkait, seperti Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Masyarakat Telematika, Masyarakat Antifitnah Indonesia, atau aktivis gerakan turn back hoax.

Mastel misalnya, telah menciptakan fitur pelaporan hoax yang terintegrasi pada aplikasi. Pada fitur tersebut, masyarakat dapat melaporkan berbagai informasi fitnah dan hoax, baik itu halaman situs, pesan berantai, maupun gambar. 

Namun, fitur tersebut tetap terintegrasi dengan situs Turn Back Hoax yang telah diresmikan pemerintah pekan lalu. Lihat video di bawah ini.
Situs Turn Back Hoax, menurut pengembangnya, Khairul Anshar, tidak hanya menampung laporan dari warga terkait berita hoax, tapi juga secara proaktif menelusuri peredaran hoax melalui media sosial dan aplikasi pesan instan. Tim mereka kemudian akan menganalisis, lalu mempublikasikan jika temuan tersebut benar hoax atau tidak. 

Tapi, Khairul menyadari masih banyak kekurangan dalam prosesnya. Salah satunya adalah terkait verifikasi data pelapor. Ke depannya, mereka telah mengembangkan sistem baru untuk mengatasi kekurangan tersebut, yakni pemberlakuan KTP, nama, dan tanggal lahir untuk verifikasi identitas pelaporan, sehingga tidak asal.

“Sekarang ini kami sedang membangun bank data. Jadi semua berita hoax kami kumpulkan satu tempat, nanti ada berita yang diduga hoax atau website yang dilaporkan," kata Khairul.

Jika nanti setelah dikumpulkan ternyata 70 persen hoax, akan diumumkan bahwa ‘hati-hati ini hoax’. Jadi nanti, jika netizen mengetik satu portal berita yang terindikasi hoax, akan muncul pop up window, seperti saat mengetik situs pornografi.

Pemerintah juga bekerja sama dengan beberapa pemilik platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, atau Google. Perusahaan yang berasal dari Amerika itu sejatinya telah menyadari bahaya laten hoax yang beredar di platform mereka. 

Bahkan, ketiga platform itu sering dituduh sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam maraknya peredaran hoax. Facebook mungkin merupakan media yang sangat antusias untuk meredam hoax. 

Dalam keterangan yang diterima VIVA.co.id, Facebook memiliki beberapa langkah untuk meredamnya. Selain mempermudah proses pelaporan, juga dengan memperbaiki algoritma dalam sistem pengenalan profil pengguna. 

Bahkan, mereka tidak segan untuk memutus insentif finansial bagi penyebar berita palsu. Yang menarik, Facebook mengaku telah memulai program kerja sama dengan organisasi pihak ketiga untuk pengecekan fakta dan mengidentifikasi berita palsu, lewat International Fact Checking Code of Principles.

“Kami menangani penyebaran informasi yang salah dengan serius. Ini adalah masalah yang kompleks, baik secara teknis maupun filosofis," ujar Facebook Indonesia.

Selain itu, menurut Facebook, meyakini pentingnya menyuarakan pendapat. Meskipun perlu berhati-hati agar tidak membuat orang enggan untuk berbagi pendapat atau melakukan kesalahan dengan membatasi konten yang akurat.

Sementara itu, Google mengaku sedang mengupayakan perbaikan algoritma yang lebih canggih untuk bisa mengidentifikasi halaman atau situs hoax yang muncul dalam mesin pencarian mereka. Namun, mereka tetap berkomitmen menjunjung tinggi prinsip internet yang bebas dan terbuka.

“Saat sebuah informasi yang meragukan ditampilkan cukup tinggi di hasil penelusuran, kami tidak menghapusnya satu per satu, melainkan menerapkan sebuah perbaikan yang dapat secara otomatis diaplikasikan ke semua hasil penelusuran," tutur Google Indonesia kepada VIVA.co.id.

Selain itu, Google baru saja meningkatkan algoritma untuk dapat menampilkan konten yang lebih kredibel dan berkualitas tinggi pada hasil penelusuran pengguna. "Kami berkomitmen untuk terus meninjau algoritma tersebut guna menjawab tantangan semacam ini,” tutur Google.

Sayangnya, tidak seperti Google dan Facebook yang langsung bergerak memperbaiki algoritma, Twitter lebih suka bermain aman dengan menggunakan fitur yang sudah ada. Pengguna dapat melakukan BRIM (Block, Report, Ignore, Mute) terhadap konten atau akun yang membuat mereka tidak nyaman. 

Hal ini dikarenakan Twitter keukeuh sebagai perusahaan penyedia platform, bukan lembaga sensor. 

“Kami tidak berhak menyaring informasi yang beredar di platform kami. Sebagai platform global, kami memiliki peraturan jelas untuk membantu pengguna melindungi dirinya dari berita-berita yang tidak mereka inginkan yang beredar di dunia maya, termasuk Twitter," ujar Agung Yudhawiranata, public policy lead Twitter Indonesia kepada VIVA.co.id.

Twitter memiliki peraturan, persyaratan layanan (terms of service), dan prosedur pelaporan yang sudah jelas. Twitter berharap pengguna Indonesia tidak sungkan untuk melaporkan konten-konten yang membuat mereka tidak nyaman. 

Dari laporan tersebut, tim Twitter akan menindaklanjuti sesuai dengan jenis laporannya

Tanpa Edukasi, Nol Besar
Sementara itu, Septiaji Eko Nugroho, ketua Masyarakat Antifitnah dan Hoax Indonesia, menganggap jika semua pihak harus terlibat untuk bisa melawan peredaran hoax. Yang paling ampuh, adalah penegakan hukum kepada pelaku penyebaran hoax. 

Selain itu, melakukan gerakan literasi kepada masyarakat, serta sosialisasi tentang bahayanya penyebaran hoax, fitnah, dan hasut. 

Namun, tidak demikian dengan pendapat Khairul. Dengan situs yang dikembangkannya, dia tidak serta merta yakin akan mampu menghentikan hoax, mengingat masih banyaknya kekurangan.

Pengamat Cyber Defense dari Universitas Pertahanan, Yono Reksoprodjo, memiliki pesimisme yang sama dengan Khairul. Aplikasi maupun situs dianggap belum cukup jika tidak diiringi dengan edukasi ke masyarakat. Warga Indonesia, katanya, diharuskan untuk mau memanfaatkan situs atau aplikasi yang sudah dibuat pemerintah. 

Platform tersebut pun harus bisa dibuat menarik dan betul-betul terpercaya. “Tugas pertama pemerintah adalah meyakinkan publik guna menumbuhkan rasa percaya," tuturnya.

Masyarakat yang paham soal isu perang informasi atau propaganda atau manajemen persepsi, menurut dia, tahu betul siapa pembuat ‘hoax’ terbaik. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap ‘apa yang disampaikan adalah yang dikerjakan’, bukan ‘apa yang disampaikan tapi tidak dikerjakan’. 

"Itu namanya juga hoax,” kata Yono.
 
Hoax dan Kebebasan Berekspresi
Damar Juniarto dari Safenet, setuju dengan anggapan bahwa hoax hanyalah berita bohong yang tidak berdasar data, tapi kepentingan pragmatis kekuasaan. 

Kalau dibiarkan, kata Damar, kebohongan akan menjadi kebenaran itu sendiri. Namun begitu, Damar meminta cara peredamannya tetap tidak boleh melanggar koridor kebebasan berekspresi.

Banyak pihak yang menganggap jika penanggulangan hoax, melalui blokir dan lainnya, disamakan dengan memasung kebebasan berekspresi. Namun, baik Mafindo, Gerakan Turn Back Hoax, maupun pengamat, sama sekali tidak setuju dengan pendapat ini. 

Menurut Setiaji, meredam hoax tidak sama dengan meredam kebebasan berekspresi, karena hoax disamakan dengan tindak kejahatan yang mampu merugikan orang lain atau kelompok. 

Pendapat senada disampaikan pengamat, sekaligus Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Henry Subiakto. “Kebebasan berekspresi, sepanjang tidak melanggar UU, tidak ada masalah. Kebebasan berpendapat bahkan tidak ada hubungannya dengan hoax," tuturnya. "Itu hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 45 pasal 28". 

Yang dilarang adalah membuat atau menyebarkan hoax yang berupa fakta palsu, tuduhan palsu, atau fitnah. Di negara liberal manapun, fitnah itu dilarang. 

Apalagi, menurut dia, dipakai untuk komoditas mencari uang dan mendukung gerakan politik tertentu dengan menghalalkan segala cara. "Itulah hoax,” tutur Henry.

Bahaya laten hoax, kata Henry, sangat jelas. Hoax mampu memunculkan konflik sosial di masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang percaya dan menelan isi hoax hingga memunculkan pikiran yang tidak rasional, mudah memusuhi orang lain yang punya sikap berbeda.

“Hoax itu mengaburkan fakta kebenaran dengan isi propaganda kebohongan dan kepalsuan,”ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya