SOROT 432

Menelisik Ormas Paramiliter

Ilustrasi Massa dari Front Pembela Islam.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id – Puluhan pemuda berbaju putih berbaris tegap di tengah tanah lapang. Sikapnya siap siaga, tatapannya tajam ke depan mengikuti instruksi sang pelatih. Sesekali mereka berteriak kompak penambah semangat. Mereka berlatih keras bak seorang prajurit militer.

Siang itu, suasana di Pondok Pesantren Al Futuhiyah yang berada di Jalan Banjar Pasingeun, Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten, ramai. Selain santri pesantren, pondok juga kedatangan puluhan pemuda laskar dan sejumlah personel TNI dari Kodim Lebak dan Koramil Cipanas. 

Rupanya, pesantren yang juga Markas Syariah Front Pembela Islam, Banten, itu tengah melakukan pelatihan pendahuluan bela negara (PPBN) yang bekerja sama dengan Kodim 0603 Lebak, Banten. Kegiatan yang digelar pada 5-6 Januari 2017 itu diselingi aksi penanaman 10.000 pohon.

Kegiatan itu diikuti santri pesantren Al Futuhiyah dan sejumlah pemuda dari laskar FPI Banten. Selama dua hari itu, puluhan pemuda ini dilatih tentang wawasan bela negara, kebangsaan, kedisiplinan hingga latihan fisik melalui kegiatan halang rintang. Mereka pun berhak atas sertifikat PPBN usai mengikuti kegiatan tersebut.

"Terima kasih kepada Korem Banten, Kodim Lebak, dan Koramil Cipanas, Lebak, Banten, yang telah membina, mendidik santri Al Futuhiyah dan Laskar FPI Banten untuk bela negara. Karena FPI memang wajib bela agama dan negara," kata Imam FPI Banten, KH Qurthubi Jaelani dalam keterangan tertulisnya.

Tapi, siapa sangka, pasca foto-foto kegiatan bela negara FPI Banten oleh anggota Kodim 0603 Lebak diunggah di media sosial oleh Dewan Pimpinan Pusat FPI, justru berbuntut panjang. Komandan Kodim 0603 Lebak, Letkol Czi Ubaidillah, yang menggelar pelatihan bela negara dengan FPI Banten itu dicopot dari jabatannya. 

Pencopotan itu sontak menjadi perdebatan sengit di masyarakat, tak terkecuali para elite negeri ikut bereaksi soal itu. Tak sedikit yang khawatir pelatihan bela negara FPI Banten itu akan melahirkan milisi sipil yang berpotensi melakukan aksi-aksi yang cenderung dengan cara-cara kekerasan.

Tapi, ada juga yang berkomentar bahwa FPI juga berhak mendapatkan pelatihan bela negara dari TNI. FPI merupakan ormas yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, dan anggotanya adalah warga negara Indonesia.

"Yang jelas, TNI boleh melatih siapa saja untuk melakukan bela negara, tak cuma FPI. Karena bela negara sesuatu yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Wuryanto kepada VIVA.co.id, Jumat 20 Januari 2017.

Namun, Panglima Kodam III/Siliwangi, Mayjen TNI Muhammad Herindra, menegaskan pencopotan Kodim 0603 Lebak, Banten, Letkol Czi Ubaidillah, karena dianggap telah melakukan kesalahan prosedur dengan menggelar kegiatan bela negara dengan ormas FPI. Harusnya, dandim meminta izin ke atasan sebelum menggelar latihan tersebut.

Kodam Siliwangi juga membantah latihan TNI dan FPI Banten itu adalah pelatihan semi militer. Seluruh kegiatan yang ada dalam pelatihan itu hanya bela negara, bukan militer dan tidak menggunakan senjata.

Imam FPI Banten, KH Qurthubi Djaelani, angkat bicara soal kontroversi latihan bela negara FPI dengan TNI. Menurut dia, pelatihan itu diinisiasi setelah dandim Lebak menyerahkan 1.000 bendera merah putih ke pesantren-pesantren di Lebak untuk dikibarkan jelang peringatan HUT ke-72 RI pada 17 Agustus 2017.

Alasan Rizieq FPI dan GNPF Tak Ikut Aksi 212

Upacara penutupan Pendidikan Bela Negara di Monas Jakarta
Peserta melakukan atraksi pada upacara penutupan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara di Kawasan Monas, Jakarta. (VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar)

Dari situ, Kiai Qurthubi yang juga pimpinan Pesantren Al Futuhiyah meminta dandim Lebak agar santri-santrinya dan laskar FPI yang dia pimpin bisa dilatih bela negara. Dandim merespons dengan meminta sang kiai agar mengajukan surat permintaan izin itu ke Kodim Lebak.

"Akhirnya 20 Desember kemarin bikin surat izin untuk minta izin latihan bela negara, ingat bukan latihan militer, bela negara," kata Qurthubi kepada media, 9 Januari 2017. 

Ia pun menegaskan bahwa latihan bela negara ini bukan pelatihan militer. Dengan begitu, Ia menepis tuduhan yang beredar di media sosial yang menyebut FPI terlibat pelatihan semi militer dengan TNI. Adapun foto-foto yang beredar memperlihatkan peserta sedang tiarap bak strategi militer berperang, Ia langsung mengklarifikasinya.

"Itu bukan merangkak militer pakai senjata, bukan. Itu pada saat mereka berbaris salah balik, itu disiplin, push up," tuturnya.

Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah FPI DKI Jakarta, Novel Bamukmin, mengatakan, pelatihan bela negara antara FPI dan aparat pemerintah sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sebelum gaduh soal ini, FPI pernah menjalin kerja sama dengan TNI Angkatan Laut dan kementerian/lembaga terkait pelatihan pembinaan anggota.

Bahkan, di beberapa kegiatan, ia mengklaim FPI sering dilibatkan oleh TNI-Polri. "Kegiatan dengan TNI dan Polri juga kami biasa saja, tidak ada yang aneh sebenarnya. Kami sering kegiatan bareng mereka," kata Novel kepada VIVA.co.id, Kamis, 19 Januari 2017.

Menurutnya, latihan bela negara yang dilakukan FPI bersama TNI-Polri merupakan suatu kewajiban warga negara untuk siap membela negaranya. 

"Hubbul wathon minal iman (cinta kepada Tanah Air ini sebagian dari pada iman) sehingga kewajiban kita untuk bela Tanah Air," katanya sembari menyebut FPI adalah ormas nasionalis dan cinta Tanah Air.

Tapi, kebersamaan dengan TNI-Polri tak kemudian dimaknai bahwa FPI adalah kepanjangan tangan dari dua aparat pemerintah itu. Novel menegaskan, FPI tidak mau terikat dengan siapa pun. FPI juga membantah dibentuk dan dibekingi oleh mantan petinggi TNI-Polri. 

Menurut dia, kalau FPI dibekingi aparat, tentu tidak ada anggota yang terlibat dalam beberapa kasus ditangkapi aparat. Pimpinan FPI Habib Rizieq pernah ditangkap aparat, begitu juga dia yang pernah ditahan berbulan-bulan karena aksi di Balai Kota.

"Jadi itu sudah jelas, kita tidak dibeking polda, tidak dibeking Polri, tidak dibeking TNI, karena kita selalu dijebloskan ke penjara. Jadi gagal paham kalau ada orang bilang kita dibekingin sama TNI atau Polri," tutur dia.

Ormas Paramiliter

Sebenarnya, ormas yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan TNI-Polri bukan hanya FPI. Ormas Barisan Ansor Serbaguna (Banser) juga pernah merasakan sentuhan TNI-Polri. Bahkan, hubungan Banser dengan TNI-Polri sangat apik. TNI biasa dilibatkan setiap pelatihan wajib maupun kegiatan lain yang digelar Banser.
  
Komandan Satuan Koordinasi Wilayah Banser Jawa Timur, Abid Umar, mengatakan, Banser telah menjalin kerja sama selama puluhan tahun, sejak berdirinya, dengan semua elemen masyarakat dan para stakeholder dalam setiap kegiatannya. Tujuannya satu, mengawal NKRI.

Termasuk menjalin kerja sama dengan TNI. Kerja sama dengan TNI, terang Gus Abid, juga terjalin dalam hal pelatihan-pelatihan berjenjang yang wajib diikuti oleh anggota Banser seluruh Indonesia, termasuk Banser Jatim. 

"Kami tidak bisa berdiri sendiri dalam menjaga persatuan dan keutuhan NKRI," kata Gus Abid di Graha Ansor Jatim di Gayungsari Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis, 19 Januari 2017.

TNI dan Polri dilibatkan dalam pendidikan kader Banser dalam hal pengembangan wawasan kebangsaan dan pengetahuan militeristik. Bukan hanya wawasan, TNI-Polri juga diminta melatih fisik kader Banser dalam kegiatan pendidikan dan latihannya. "Itu kami lakukan sejak rekrutmen kader," ujar Gus Abid.

Ada tiga jenjang pendidikan wajib yang harus diikuti oleh Banser. Yakni pendidikan dan latihan dasar (Diklatsar), pendidikan khusus lanjutan (Susbalan), dan pendidikan serta latihan khusus Banser pimpinan (Susbanpim). Setiap jenjang pendidikan itu juga melibatkan TNI-Polri.

"Karena bagaimanapun beliau-beliau di TNI dan Polri yang menguasai tentang pertahanan dan strategi," kata Gus Abid. "TNI-Polri dilibatkan dalam pendidikan sejak dulu, sejak Banser berdiri sampai sekarang," tuturnya.

Meski demikian, Gus Abid menegaskan tidak ada nama pejabat dari lingkungan TNI maupun Polri yang menjadi pembina, kendati hubungan kader inti Gerakan Pemuda Ansor itu dengan dua instansi penjaga keamanan itu terjalin apik. "Kalau di Banser kebetulan tidak ada pembina dari TNI-Polri," ucapnya.

Penegasan ini menyusul polemik Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Anton Charliyan yang menjabat sebagai pembina dari LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). Nama GMBI mencuat setelah terlibat bentrok dengan FPI di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Suara di Kawasan Petamburan Didominasi Anies-Sandi

Anggota Banser NU dan TNI berfoto bersama usai Apel Nusantara Bersatu di Malang, Jawa Timur

Anggota Banser NU dan TNI berfoto bersama usai Apel Nusantara Bersatu di Malang, Jawa Timur. (VIVA.co.id/Nur Faishal)

Penghitungan di TPS FPI Diulang 5 Kali, Ahok Tetap Menang

Bagi ormas Banser, kontroversi pejabat Polri duduk sebagai pembina ormas adalah hal yang lumrah. Karena banyak ormas yang memang sengaja meminta seorang tokoh atau pimpinan wilayah untuk menjadi pembina atau dewan penasihat. 

"Menurut saya itu sah-sah saja. Termasuk Bapak Irjen Pol Anton Charliyan, itu hak beliau sebagai manusia yang bebas memilih," kata Gus Abid. 

Ketua Umum Ormas GMBI, Muhamad Fauzan Rachman tak menampik ormasnya kini dibina oleh Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan. Menurut Fauzan, dipilihnya Anton sebagai pembina adalah atas permintaan GMBI, yang meminta agar mantan kadiv Humas Polri itu bersedia menjadi pembina dari ormas yang dia pimpin.

"Kami meminta itu sejak Pak Anton menjadi kapolwil Priangan. Kami banyak diajarkan bagaimana cara berbudaya dan beretika," katanya.

Meskipun menjabat sebagai pembina GMBI, Fauzan memastikan mantan kapolda Sulsel itu tidak memiliki hierarki untuk memerintahkan anggota GMBI dalam bentuk apa pun. "Tidak ada instruksi. Bagaimana mau instruksi? Kami sudah sepakat komando ketua umum," katanya.

Ormas TNI-Polri

Di luar ormas-ormas yang secara de facto memiliki kedekatan dengan TNI-Polri, ada tiga ormas yang diklaim binaan TNI-Polri. Yakni Pemuda Panca Marga (PPM) yang berbasis putra putri veteran, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), dan Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPPP).

"Setahu saya cuma tiga organisasi kepemudaan itu yang memang dibina TNI dan Polri," kata Sekjen Pemuda Panca Marga Saharuddin Arsyad kepada VIVA.co.id, di Cibubur, Kamis, 19 Januari 2017.

Adapun alasan yang menyebut ketiga ormas ini secara resmi binaan TNI-Polri, tak lain karena ormas-ormas ini tidak seperti organisasi lain. Mulai dari perekrutan anggota, pendidikan, dan syarat-syarat yang harus dipatuhi ormas ini.

Untuk syarat mutlak keanggotaan di ormas Pemuda Panca Marga, Saharuddin mengatakan, adalah harus sebagai anak-anak veteran. Sementara itu, FKPPI notabene sebagai anak-anak tentara, dan KBPPP anak-anak purnawirawan Polri.

Menurut dia, syarat bahwa yang bersangkutan adalah anak dari TNI-Polri atau veteran mutlak dimiliki oleh anggota atau pengurus.

"Kalau mau masuk FKPPI harus punya SKEP TNI dari bapaknya, mau masuk PPM harus punya SKEP veteran bapaknya, begitu juga kalau mau masuk KBPPP harus punya SKEP polisi bapaknya," paparnya.

Gerakan Muda FKPPI juga sangat jelas dalam rekrutmen kader, searah dengan TNI-Polri. Di mana setiap kader yang masuk harus anak TNI dan Polri.

"Jadi harus surat SKEP TNI dan Polri. Jadi bukan TNI saja, tapi anak-anak Polri juga ada di kami. Jadi jelas, kalau dibilang apakah GM FKPPI itu adalah organisasi binaan TNI dan Polri, saya katakan iya, kami adalah organisasi binaan TNI dan Polri," kata Sekjen GM FKPPI Nurseto Budi Santoso di Depok, Jumat 20 Januari 2017.

GM FKPPI memiliki aturan main AD/ART yang jelas, seperti dalam hal pendidikan. GM FKPPI memiliki silabus pendidikan yang berjenjang dan sudah menjadi acuan sejak 1985. Pendidikan berjenjang itu dilakukan bersama TNI dan Polri.

"Kami organisasi binaan yang sudah terlatih dengan berbagai pendidikan. Kalau kami ribut, maaf kami mungkin selalu menang. Tapi karena kami adalah organisasi yang benar-benar dibina oleh TNI dan Polri, maka tidak bisa ribut. Coba dicek, mana pernah Anda mendengar FKPPI itu ribut antar organisasi," tuturnya.

Sekjen Pemuda Panca Marga Saharuddin Arsyad juga menyoroti kisruh ormas GMBI yang mengaku-ngaku ormas binaan Polri, seperti halnya PPM, KBPPP, dan FKPPI. Ia menilai, GMBI bukan organisasi binaan Polri atau kapolda Jawa Barat. GMBI, lanjut dia, merupakan ormas yang dibina Anton Charliyan secara personal, bukan sebagai kapolda apalagi institusi.

"Karena setahu saya tidak ada itu GMBI (dibina institusi TNI/Polri), lah saya saja baru dengar GMBI atau Gerakan Masyarakat Bawah itu baru kemarin kok, makanya saya bertanya-tanya, ini ada apa ini?," ujar Saharudin.

Ia berpendapat, seorang kapolda tidak boleh menjadi pembina atau pengurus ormas. Seorang pejabat Polri diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menjadi pengayom masyarakat, milik seluruh masyarakat dan tidak milik kelompok tertentu. 

"Terkecuali GMBI ini dibina oleh Pak Anton secara personal, itu lain hal, tapi tidak boleh membawa institusi atau lembaga. Karena tugas Polri itu melayani, mengayomi, dan membina masyarakat seluruhnya, bukan ormas-ormas tertentu," tuturnya.

Sementara itu, ormas PPM, KBPPP, dan FKPPI, Sahar menjelaskan, memang memiliki struktur yang baku dari petinggi TNI maupun Polri. Sebagai contohnya ketua Dewan Pembina PPM itu adalah panglima TNI, wakil ketua Dewan Pembina itu kapolri, ketua Harian Dewan Pembina adalah ketua LVRI (pusat), anggota, pembinanya itu ada KSAU, KSAL, dan KSAD. 

Di tingkat provinsi, ketua Dewan Pembinanya itu setingkat pangdam, wakilnya kapolda, ketua Harian Pembinanya adalah ketua LVRI provinsi, anggotanya adalah pangkoops, armabar. Adapun di kabupaten/kota, dewan pembinanya bisa danlanal atau danlanud. 

"Pembina aktif semua, makanya kalau ada acara mereka, kami wajib itu hadir, wajib sekali. Kami pun berkoordinasi terus dengan mereka dalam menjalankan kegiatan. Karena biar bagaimana pun lahirnya PPM itu kan awalnya ada keppres tentang LVRI dan keturunannya, yaitu Pemuda Panca Marga," kata Saharudin.  

Sahar tak menampik ormas PPM juga rutin melakukan kegiatan bela negara minimal setahun sekali dengan TNI. Pelatihan biasanya bersamaan dengan penerimaan anggota baru. Materi yang diajarkan meliputi wawasan kebangsaan, kedisiplinan, dan fisik yang baik. Semua materi itu dilatih dan dibina langsung oleh personel dari TNI. "Karena cuma TNI yang punya kemampuan itu," ucapnya.

Dari pendanaan, ormas yang dipimpin Abraham Lunggana atau Haji Lulung ini memang tak memiliki sumber dana khusus. Selain dari sumbangan masing-masing anggota, dana organisasi juga berasal dari donatur. Semua pemasukan dan pengeluaran tercatat lengkap, serta siap dilaporkan secara berkala. "Ke dewan pembina kami tidak pernah minta, jadi murni pengurus PPM," ujar Sahar.

Ormas Jadi Alat

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Puri Kencana, menilai munculnya ormas-ormas yang kerap menampilkan aksi-aksi kekerasan dan arogansi, tak lepas dari tangan negara dan aktor-aktor keamanan. 

Tidak aneh jika sewaktu-waktu aktor keamanan ini akan menggunakan ormas-ormas tersebut di tengah konflik sosial di masyarakat. "Tapi mau sampai kapan kita mendiamkan kecacatan hukum ini?," kata Puri dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Jumat, 20 Januari 2017.

Mengapa cacat hukum? Menurut Puri, karena sudah terlampau lama negara mendiamkan aksi-aksi arogansi yang dilakukan oleh sebagian ormas. Negara harus menindak tegas sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan kaidah-kaidah Hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, semua prosedur hukum dapat digunakan tanpa menyalahi aturan.

"Yang saya cemaskan retorikanya hanya memperkuat regulasi ormas, termasuk rencana membubarkan ormas ormas radikal. Tapi itu tidak menjawab masalah. Pembubaran, pemblokiran situs tanpa aturan yang jelas justru membuat negara terkesan cuci tangan dan menyederhanakan masalah," ujar dia.

De facto, permasalahan sebagian ormas tak jauh dari urusan pilkada atau perebutan wilayah/lahan. Hal itu sangat mudah dilacak dari laporan-laporan yang masuk dari aduan masyarakat ke Polri dan Komnas HAM.

Selain itu, ia menilai keberadaan ormas paramiliter tidak perlu dan tidak penting. Tapi yang selama ini terjadi di Indonesia, justru keberadaan mereka dirawat dan jika mereka melakukan praktik kekerasan, efek jera yang diberikan sangat minimalis. Beberapa agenda polisi untuk melakukan penegakan hukum juga tidak dijalankan efektif dengan bermacam dalih.

Ormas-ormas itu dibentuk dengan tujuan dan motif tertentu. Dalam hukum perang, organisasi paramiliter dimungkinkan dibentuk untuk mendukung agenda perang negara, yang disebut sebagai kombatan. Tapi dalam situasi damai, model organisasi ini rentan untuk disalahgunakan. Karena mereka memiliki sejumlah skill untuk melakukan kekerasan

"Tapi model ormas macam begini banyak dipertahankan dalam model negara yang memiliki kecacatan standar hukum. Mengapa? Karena aparatur penegakan hukumnya tidak akuntabel menjalankan standar akuntabilitas," papar Puri.

Ia pun tak terkejut jika kemudian banyak petinggi/mantan petinggi TNI atau Polri yang masuk sebagai pengurus di ormas-ormas tersebut. Alasannya, kebutuhan mereka membentuk ormas itu adalah untuk mempertahankan status quo politik. Tapi dalam perjalanannya, model organisasi ini dipertahankan seiring supremasi hukum yang tidak ditegakkan secara adil.

"Ada banyak nama jenderal, purnawirawan. Saya pikir penelitian-penelitian politik dan HAM sudah membahas itu. Silakan dicari," tuturnya.

Namun, Mabes Polri membantah tuduhan bahwa petinggi Polri, atau institusi Polri ada di balik terbentuknya ormas-ormas yang disebut kerap menunjukkan cara-cara represif dalam aksinya. 

Kepala Bagian Mitra Biro Penerangan Masyarakat Polri, Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono menilai anggapan Polri di balik itu semua tidaklah tepat.

Awi menjelaskan, dalam implementasinya selama ini polisi pengemban Kamtibmas, yang tentu setiap hari bersentuhan dengan masyarakat di dalam masyarakat dan kelompok-kelompok ormas yang juga butuh bimbingan. Menurut dia, di situ lah peran polisi dalam membimbing mereka untuk membantu berpartisipasi terhadap kamtibmas itu sendiri.

"Makanya polisi itu kan banyak program. Misalnya, kami melakukan safari pembinaan kepada masyarakat, seperti masyarakat kelompok tukang ojek kami rangkul, biar tertib berlalu lintas. Polisi goes to campuss, agar mahasiswa turut serta tugas-tugas polisi dalam Kamtibmas," kata Awi di Mabes Polri, Rabu, 18 Januari 2017.

Awi tak menampik dalam pelaksanaannya, anggota Polri terkadang diminta oleh masyarakat untuk dicatut namanya sebagai pembina organisasi. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 16 huruf d, disebutkan bahwa untuk menjadi pengurus atau pembina ormas harus seizin pimpinan Polri/kapolri. 

"Jadi kalau pun misalkan kapolda, kapolres menjadi suatu (pembina) organisasi suatu kemasyarakatan sesuai dengan perkap sah-sah saja, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila," tutur Awi. 

Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq melakukan aksi menyampaikan pendapat di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin, 16 Januari 2017

Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq melakukan aksi menyampaikan pendapat di depan Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin, 16 Januari 2017. (VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar)


Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Wuryanto juga membantah petinggi TNI di balik berdirinya ormas-ormas paramiliter. "Tidak ada itu. Tidak ada TNI mendirikan ormas-ormas tertentu," kata Wuryanto kepada VIVA.co.id.

Apa pun itu, kisruh soal ormas-ormas paramiliter ini tidak lantas menjadi pintu masuk revisi Undang Undang Ormas. Pembenahan ormas tidak lantas eksesif, dengan membenarkan pembatasan ormas, memblokir website secara ekstrem di luar kaidah hukum dan HAM. Intinya adalah akuntabilitas hukum.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya