SOROT 451

Gelimang Harta Karun di Samudera Nusantara

sorot harta karun - Barang-barang berbahan keramik yang ditemukan dari bangkai kapal berusia 1.000 tahun di perairan Cirebon, Jawa Barat.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nurcholis Anhari Lubis

VIVA.co.id – Tumpukan besi berkarat bergelimpangan di atas geladak kapal. Beratnya diperkirakan mencapai seribu ton. Sementara di masing-masing buritan, dua buah tangan besi raksasa yang dikendalikan mesin terlihat menjulang tinggi berwarna kemerahan berpadu putih.

Atasi Masalah Kepadatan di Penjara, Israel Usulkan Hukum Mati Tahanan Palestina

Dari tangan besi itu terlihat dua capit raksasa, ukurannya hampir dua kali panjang bus penumpang wisata. Bentuknya persis dengan mainan mesin capit yang ada di wahana bermain anak, yang ditaruh di dalam sebuah boks dan biasanya berisi boneka.

Bisa dibayangkan jika ukuran capit ini sebesar bus. Tentu benda yang diangkut juga jauh lebih besar. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kapal ini juga memiliki mesin sedot yang memiliki kekuatan luar biasa. 

Di Tengah Konflik Perang, Tiongkok Dukung Upaya Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Bagaimana tidak, tembaga seberat satu ton saja bisa dengan mudahnya diisap oleh kapal ini. Lalu milik siapa kapal ini?

Ya, inilah kapal keruk Chuan Hong 68. Kapal berbendera China ini memiliki panjang mencapai 122 meter dengan bobot total mencapai 8.258 Gross Ton. 

Menkominfo Sebut Pemerintah Segera Bentuk Satgas Atasi Darurat Judi Online

Akhir April lalu, kapal ini ditemukan di perairan Anambas Natuna Kepulauan Riau. Ketika sedang lego jangkar dan mengoperasikan crane raksasanya. 

Diduga kapal keruk milik perusahaan Malaysia ini sudah berhari-hari di sana bersama 20 anak buah kapalnya. Dan bisa dipastikan, sebuah kapal keruk dengan dua crane raksasa jelas bukan untuk mencari ikan. 

Ya, kapal yang membawa 16 warga China, tiga Malaysia dan satu warga India ini rupanya mengumpulkan besi bekas. Tak jelas apa maksudnya kapal sebesar ini cuma mengumpulkan besi bekas. Jumlah yang dikumpulkan saat ditemukan juga tak main-main, mencapai 1.000 ton. [Baca Juga: Pertaruhan Maut Memburu Harta]

Ini bukan angka sedikit untuk sebuah besi bekas. "Dugaan pengambilan barang berharga bawah air dan pengangkatan kerangka kapal," tulis laporan Komando Armada RI Kawasan Barat dalam laman resminya, Jumat, 21 April 2017.

Ya, kapal keruk raksasa ini dicurigai memang tengah mengumpulkan kerangka kapal masa silam yang tenggelam di perairan Indonesia. Awalnya mungkin kerangka dahulu, selanjutnya mungkin saja isi kapal, yang jelas memiliki nilai jauh tiada tara. [Lihat Infografik: Sebaran Harta Karun di Laut Indonesia]


Selanjutnya... Sarang Harta Karun

Sarang Harta Karun

Sejak lampau, Indonesia sudah masyhur dikenal sebagai salah satu jalur perdagangan utama dunia. Ribuan kapal dilaporkan pernah melintas di perairan Indonesia.

Bahkan saking banyaknya kapal yang mengarung, disebutkanlah setidaknya ada 3.000 sampai 30 ribuan kapal yang tak pernah kembali. Mereka kandas ditelan gelombang perairan Indonesia. Dan pastinya kapal-kapal ini bukanlah kapal kosong, mereka milik para saudagar entah itu dari tanah China, Eropa ataupun Jazirah Arab. 

Mereka membawa emas, permata, guci dan sejumlah pernik dagangan kala itu. Namun demikian, hingga kini di mana kuburan kapal-kapal pembawa harta ini, tak satu pun yang bisa mengungkap secara detail. Kapal-kapal ini pun bersemayam di perut laut selama berabad-abad.

Ada atau tidaknya keberadaan mereka, sepenuhnya menjadi misteri samudera. Konon beberapa masih dikenali sebagai kapal dan lainnya telah menjadi karang dan rumah ikan.

Atas itu mahfum kemudian diyakini bahwa perut laut Indonesia memang kaya akan harta karun tak ternilai. Ia tersebar di palung-palung, teluk dan tengah samudera.

Sampai kini belum ada catatan detail soal ini. Namun sebagai patokan, merujuk pada hasil penelitian Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2000), kapal para saudagar ini kebanyakan kandas di perairan Kepulauan Riau, Selat Karimata, Perairan Bangka-Belitung dan Laut Jawa.

Yang pernah tercatat atau ditemukan pun masih sangat sedikit. Dari puluhan ribu kapal karam, baru 463 titik yang telah terdata. Berapa nilainya? Sungguh fantastis. Dan pastinya, baru seujung kuku dari timbunan harta karun yang terbentang di laut Indonesia.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti memberi estimasi untuk nilai satu titik lokasi Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) atau harta karun ini.

Kata dia, satu titik saja setidaknya memiliki nilai US$80 ribu hingga US$18 juta. Atau dengan kata lain, satu area ini memiliki nilai dari sekurangnya Rp100 juta hingga ratusan triliun. Luar biasa bukan. 

"Apabila dimanfaatkan untuk mendukung pariwisata dapat menghasilkan US$800 hingga US$126,000 per bulan per lokasi," kata Brahmantya.

"Nilai inilah yang kemudian mendasari Pemerintah untuk mengelola BMKT dan tidak ingin menyerahkannya kepada pihak lain, karena BMKT adalah milik bangsa dan identitas kita sebagai Negara maritim."

Batu kristal yang ditemukan dari bangkai kapal berusia 1.000 tahun di perairan Cirebon, Jawa Barat. (VIVA.co.id/Nurcholis Anhari Lubis)

Melimpahnya harta karun di perut samudera itu, menurut Brahmantya, datang dari beragam masa, namun umumnya berkisar dari tahun 1500 hingga 1800-an. Ini artinya dari zaman para dinasti China, perang dunia kesatu hingga ke perang dunia kedua. 

"Ada (kapal) dari Dinasti Suu, kapal Isigawa pada perang Jepang, kapal Amerika, Australia hingga kapal Belanda," kata Brahmantya.

Termasuklah kerangka kapal yang diangkut paksa oleh kapal Chuan Hong 68 yang tertangkap di perairan Anambas Natuna. Sebab, dari catatan sejarah diduga perairan itu menyimpan kuburan kapal bernama Swedish Supertanker Seven Skies (1969), Italian ore/oil steamship Igara (1973), kapal perang Jepang Ijn Sagiri, kapal penumpang Jepang Hiyoshi Maru dan kapal Katori Maru.

Serta konon kabarnya Kapal Flor de La Mar milik Portugis yang tenggelam di perairan Sumatera. Konon kapal ini membawa puluhan ton emas batangan ketika tenggelam.

"Dari dulu distribusi barang perdagangan lewat jalur laut. Itu bahkan terjadi sudah sejak abad ke-13 atau 14. Selat Malaka paling tinggi pelayaran. Di situ paling banyak kapal karam," kata praktisi dan arkeolog Universitas Indonesia Ali Akbar.

Selanjutnya...Incaran Pemburu Harta

Incaran Pemburu Harta

Kabar melimpahnya harta karun terpendam di lautan Indonesia jelas memberi manfaat lain kepada Tanah Air. Namun demikian, hal ini juga menjadi ancaman. Sebab, begitu harumnya harta yang terkubur di bawah laut ini menarik hadirnya para perompak pemburu harta.

Tahun 1980 misalnya, pria bernama Michael Hatcher asal Australia menggondol sisa peninggalan Kapal Tek Sing dari China. Kapal yang dikenal dengan nama 'Titanic Dari Timur' ini sebelumnya karam dari China Selatan menuju Jakarta pada tahun 1822.

Tak ayal, harta karun senilai US$17 juta dolar atau setara Rp220 miliar kala itu masuk ke kantong Hatcher. Indonesia pun kecolongan.

Kejadian kembali terjadi pada bulan November 2016. Pemerintah Belanda dan Inggris melayangkan protes ke Indonesia atas lenyapnya tiga bangkai kapal marinir mereka yang sebelumnya telah tenggelam pada tahun 1942 saat bertempur dengan Jepang.

Kapal dengan panjang mencapai 170 meter itu sebelumnya bersemayam di dasar laut Jawa. Namun entah bagaimana caranya, total enam kapal raib tak berbekas. Akibat ini Indonesia pun dituding melakukan pelanggaran hukum internasional.

Petugas membersihkan keramik di gudang penyimpanan harta karun, Pamulang, Tangerang. (VIVA.co.id/Nurcholis Anhari Lubis)

Ali Akbar, praktisi dan arkeolog UI menyebut setelah kasus Hatcher, Indonesia diakui memang gelagapan melihat besarnya nilai harta karun di dalam laut.

Sejak itu kemudian diterbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Perlindungan Cagar Budaya. Namun kemudian muncul lagi Keputusan Presiden  Nomor 12 Tahun 2009 soal Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

"Dari situ timbul kegalauan. Ini boleh diangkat atau tidak. Karena di situ juga menyebut perusahaan boleh mengangkat," kata Ali.

Dan di sisi lain, muncul celah. Kadang, swasta yang terlibat melakukan pengangkatan temuan harta di bawah laut justru bermain curang. Termasuk juga praktik penipuan ala pemburu harta dengan modus berwisata, kemudian menyelam dan mencuri.

"Ada banyak isu seperti ini. Mereka ternyata mencuri kemudian dibawa keluar. Tapi informasi ini sulit diverifikasi," kata Ali.

Singkatnya, Ali menilai secara prinsip meski UU Indonesia memang mengatur benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dikuasai negara. Namun karena negara tidak fokus pada hal itu. Akhirnya menjadi terabaikan dan dimanfaatkan.

Kemudian jika dikaitkan dengan TNI, kata Ali, tugas utama mereka adalah melindungi kedaulatan dan terkonsentrasi pada perairan bukan di bawah perairan. 

"Dan mereka tidak punya daftar untuk mengecek, kira-kira siapa orang yang biasa berburu harta karun. Orang datang untuk berwisata, mereka enggak bisa melarangnya," kata Ali.

Selanjutnya...Melindungi Identitas Bangsa

Melindungi Identitas Bangsa

Tiga bulan lalu, tepatnya pada Maret 2017. Menteri Susi Pudjiastuti meresmikan Galeri Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) di kantornya. Galeri ini memajang 1.500 benda cagar budaya yang didapat dari dasar laut.

Jumlah itu diperkirakan kurang dari 1 persen total BMKT atau harta karun yang sudah didapat pemerintah Indonesia yang saat ini mencapai 200.000 koleksi mulai dari abad 9-18 masehi.

"Galeri ini bagian dari histori kita," kata Susi dalam peresmian, Senin, 13 Maret 2017.

Ya, Susi melakukan langkah progresif. Harta karun bawah laut ini tak semata dipandang sebagai harta dalam kacamata duit. Namun juga sebagai tautan sejarah. Nilainya bisa tak terkira meski sekali pun bernilai jual tinggi di mata para kolektor.

"Ini milik bangsa dan identitas Indonesia sebagai negara maritim, sehingga perlu dijaga," kata Susi.

Tak cuma itu, sejalan dengan adanya regulasi baru soal benda cagar budaya yang dituangkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, kini pemerintah juga memiliki tugas melakukan konservasi terhadap cagar budaya.

Diperkuat lagi dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka, untuk BMKT. Membuat kini tak segampang dahulu untuk mengangkut harta karun dari bawah laut.

"Jadi kalau mau angkat (BMKT), ya harus diambil oleh negara. Semua menjadi milik negara dan itu tidak akan bisa diambil oleh orang luar, apalagi diperjualbelikan," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti.

Pengunjung mengamati barang koleksi Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) yang dipamerkan di Galeri BMKT, Gedung Mina Bahari IV, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Selasa, 14 Maret 2017. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Iktikad baik pemerintah ini harus diapresiasi. Setidaknya ini menjadi pagar pembatas untuk mencegah praktik dahulu yang mengizinkan swasta untuk mengeruk laut dengan sistem pembagian 50:50. Dan setidaknya juga ini yang bisa menutup celah praktik curang seolah-olah membantu pencarian harta namun justru mencuri di belakang.

Lantas bagaimana pendapat para pemburu harta yang dulu sempat dilegalkan oleh pemerintah? 

Anton A Nangoy, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (ASPBMKT), menyampaikan kekecewaannya.

Ada beberapa hal yang disorot asosiasi ini. Pertama, berkaitan dengan ketidaksinkronan antara KKP dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di mana satu lembaga berpandangan bahwa benda temuan ini adalah cagar budaya dan tidak pantas diperjualbelikan, dan di sisi lain justru memandang bahwa benda ini bernilai rupiah.

Anton berpendapat, BMKT sejatinya bukanlah benda cagar budaya karena berbeda. Ia pantas diperjualbelikan tergantung penawar menaruh harga tertinggi berapa. 

Namun lantaran kisruh ini belum tuntas, alhasil para pemburu harta yang sebelumnya ditugaskan akhirnya jadi luntang lantung. "Sampai kini belum tuntas," kata Anton, Jumat, 2 Juni 2017.

Selain itu, tambah Anton, kini lantaran ada regulasi baru dan memoratorium aktivitas pengangkatan BMKT. Pihaknya merasa sangat dirugikan. Sebab, sejak beberapa waktu kekisruhan ini, kapal-kapal mereka ada yang sedang bekerja.

Kapal-kapal yang telanjur mengangkut peninggalan zaman dulu di tengah laut, akhirnya terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk pencucian ulang lewat proses salinisasi benda yang sudah diangkut.

Kerugian pun membengkak di kalangan para pemburu harta. "Semua terhenti semua. Padahal investasi sudah berjalan," kata Anton.

Anton tak menampik ada traumatik pemerintah soal pencurian harta bawah laut hingga akhirnya memoratorium pengangkatan BMKT. Namun demikian, ujar pria yang telah selama 10 tahun berburu harta bawah laut ini, moratorium justru memicu pencurian makin marak.

"Banyak yang kami dengar di daerah pesisir terjadi pencurian. Kami sayangkan karena kami lakukan dengan izin benar tapi dipersulit. Sementara yang ilegal pemerintah tak berbuat apa-apa," ujarnya.

Atas itu, Anton berharap agar pemerintah segera membuka moratorium BMKT. Sebab ia meyakini bahwa potensi BMKT di laut Indonesia memang benar-benar potensial. Tinggal lagi butuh kerja sama semua pihak untuk memanfaatkannya.

"Daripada ada kapalnya tapi kosong. Atau sudah rusak karena dijarah. Jadi kami melihat sayang kalau tidak dilakukan bersama-sama. Dibantu pemerintah, toh kita angkat izin dan didampingi dan diawasi pemerintah," kata Anton.

Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana mengingatkan agar pemerintah dapat memfokuskan pengelolaan setiap harta yang ada di bawah laut Indonesia.

Ia berharap, gelimang harta terutama bangkai kapal itu bisa dimaksimalkan sebagai potensi wisata maritim. Meski tak merinci detail perihal wacana itu, namun Dadang meyakini bahwa memang belum ada regulasi bahwa benda berupa kapal karam zaman dulu dikelola dalam kategori wisata. 

"Perlu dipikirkan pengelolaan kapal-kapal kuno karam ini," kata Dadang.

Apa pun itu, memandang sebuah benda yang terkubur di dalam laut, khususnya yang sisa peninggalan masa silam, memang tak pantas cuma dikaji dari sisi ekonomi.

Tautan sejarah dari harta karun itu jauh lebih bernilai. Ia tak terukur jika disandingkan dengan uang. Ini soal membaca kepingan sejarah masa lalu yang mungkin menyimpan tabir pengetahuan soal bagaimana tangguhnya mereka yang mengarung di laut-laut ganas.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya