SOROT 455

'Jalan Darah' Membawa Berkah

Truk melintas di proyek pembangunan jalan Tol Pemalang-Batang Paket I di Saweka, Pemalang, Jawa Tengah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id – Ibarat tubuh, maka Jalan Daendels adalah pembuluh nadinya Pulau Jawa. Ia memanjang sejauh 1.000 kilometer dari Anyer di ujung barat hingga ke Panurukan di ujung timur.

Viral Pengendara Sepeda Listrik Nekat Lawan Arus Bikin Truk Mengalah

Jalan ini lah yang telah memperpendek jarak antara Batavia-Surabaya, dari 40 hari menjadi cuma sepekan.

Dua abad silam, Jawa menjadi satu-satunya koloni Belanda-Prancis yang belum jatuh ke tangan Inggris. Karena itu, Jawa menjadi perhatian serius Raja Belanda, Louis Bonaparte.

Miris! Aksi Pinkan Mambo Dipaksa Suami Ngamen di Lampu Merah Bikin Warganet Ngelus Dada

Adik dari Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte ini khawatir jika Pulau Jawa akan ikut dikuasai oleh Inggris. Atas itu, pada 1807 ia mengutus seorang komandan dari legiun asing Prancis bernama Herman Willem Daendels.

Herman Willem Daendels.

Kombes Latif Bakal Copot Baliho Caleg yang Ganggu Pengendara di Jalan Raya

Sosok Herman Willem Daendels. (VIVA.co.id/ Dody Handoko)

Daendels jelas bukan orang sembarangan. Sebab, sebelum ia diputuskan bertugas ke Hindia Belanda, pria kelahiran Prancis pada 21 Oktober 1762 ini telah membuktikan kerjanya dengan mempertahankan Provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia.

Berawal dari mandat itu lah, Daendels akhirnya mengarungi laut. Sejumlah catatan sejarah menyebut, jika pria ini harus menempuh waktu 10 bulan di laut sebelum akhirnya tiba di Batavia pada 5 Januari 1808, dan kemudian menjadi gubernur Hindia Belanda sembilan hari kemudian menggantikan AH Wiese.

Selanjutnya, Jalan Darah

Jalan Darah
Sejarawan yang meneliti hubungan antara Prancis dan Hindia Timur, Djoko Marihandono dalam sebuah makalahnya, Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah Dan Tradisi Lisan, menyebutkan bahwa setibanya di tanah Jawa, Daendels terkejut dengan kondisi jalan di pulau ini.

Saat itu, Daendels merasa jauh berbeda dengan kondisi jalan yang dibangun oleh Napoleon Bonaparte yang menghubungkan Paris dengan 25 kota lain di Eropa, termasuk jalur transnasional Paris-Amsterdam. Pada sumber lain, disebutkan Daendels juga terilhami oleh jalan pada masa Romawi, Cursis Publicus, yang menghubungkan Roma dengan kota jajahannya.

Ditambah lagi dengan kesiapsiagaan menghadapi gempuran Inggris yang dikabarkan akan merangsek tanah Jawa. Situasi itu akhirnya membuat Daendels berpikir keras agar membuat jalur penghubung antara barat tanah Jawa dengan ujung timurnya.

sorot daendels - Gedung Depkeu yang dulu sebagai kantor Daendels pada 1920

Gedung Kemenkeu yang dulu digunakan sebagai kantor Daendels pada tahun 1920. (kitlv.nl)

Atas itu, usai empat bulan membenahi birokrasi di Batavia, Daendels pun melancong ke Semarang dan kemudian akhirnya memerintahkan agar menghubungkan seluruh jalan desa yang telah ada.

"Proyek ini diserahkan pimpinan pasukan Zeni Von Lutzow," tulis Djoko.

Sejak itu, pada Mei 1808, tonggak pembuatan jalan yang kini dikenal dengan sebutan Jalan Daendels pun dicanangkan. Awal mulanya dimulai dari Buitenzorg (Bogor) ke Karangsambung melalui Cipanas, Cianjur, Bandung, Parakanmuncang, dan Sumedang. Ini ditengarai telah ada jalan sebelumnya yang menghubungkan antara Anyer dan Batavia.

Dan sebagai penanda, Daendels mengharuskan agar setiap 400 Roede Rhijnland atau setara 4,5 kilometer, harus dibangun pos penghentian atau penghubung untuk kebutuhan surat-surat pos (De Grote Postweg).

Saat itu, kata Djoko, sebanyak 1.100 orang bujangan pun diturunkan untuk pengerjaan jalan ini. Oleh Daendels, setiap pekerja diberi upah antara 1 ringgit perak per orang hingga 10 ringgit perak per orang.

Tentu apa yang dikerjakan Daendels bukan barang mudah. Megaproyek ini pun menemui kendala ketika di Sumedang. Kondisi topografis yang sulit, ditambah dengan habisnya anggaran membuat Daendels kelimpungan.

Daendels pun membuat kebijakan agar para bupati di daerah untuk menyediakan tenaga kerja dan harus menyediakan pangan mereka. Kondisi mau tak mau akhirnya membuat ribuan penduduk yang di bawah paksaan bupati terpaksa turun bekerja.

Tak cuma itu, guna memenuhi kebutuhan persiapan perang menghadapi Inggris. Daendels juga membangun benteng. Saat itu juga dilaporkan ribuan orang tewas lantaran terlalu banyak bekerja, namun tak diberi makan yang cukup.

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), menuliskan setidaknya ada 12 ribu orang yang kemungkinan tewas akibat pembangunan jalan Daendels. Jumlah ini pun masih diyakini lebih besar, dan karena itu juga mengapa banyak pihak yang menyebut bahwa Jalan Daendels ini sebagai masa genosida masyarakat Jawa paling kejam saat itu.

"Para pekerja paksa itu tewas lantaran kelelahan dan serangan malaria yang ganas," tulis Pramoedya.

Tak cuma itu, beberapa sumber bahkan menyebutkan jika Daendels kerap menghukum para pekerja paksa itu dengan cara menggantung kepalanya di pucuk pepohonan di kiri dan kanan ruas jalan yang dibangunnya.

Jalan Daendels memang penuh darah. Ribuan orang mati berkalang tanah di seribu kilometer jalan yang kini menjadi cikal bakal tonggak perkembangan sistem tata ruang dan hubungan antar kota di Pulau Jawa itu.

Perangai Daendels yang otoriter, keras, dan kejam ini lah yang kemudian menjadi senjata baginya. Para lawan politiknya pun memberi informasi buruk kepada Eropa. Daendels dituding telah membuat kerja paksa dan pembunuhan massal.

Selanjutnya, Jalan Beranakpinak

Jalan Beranak Pinak
Pada 1811 atau genap tiga tahun empat bulan Daendels di tanah Jawa, Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte memanggilnya pulang dan menggantikan tampuk kepemimpinan Hindia Timur dengan Jan Willem Jansen.

Saat itu, disebutkan bila megaproyek Jalan Daendels masih terus bergulir, meski secara prinsip jalan ini sejatinya telah rampung dikerjakan lantaran memang ada beberapa jalan yang sejatinya telah ada sebelum kehadiran Daendels.

Karena itu, mahfum kemudian jika hanya dalam rentang setahun, Daendels telah bisa membuka kebuntuan jalan di barat sampai timur pulau Jawa.

Ini ditunjukkan dengan keberhasilannya memangkas jarak tempuh antara Batavia-Surabaya menjadi tujuh hari dari sebelumnya 40 hari.

Meski kala itu, selama 40 tahun Jalan Daendels tak bisa dinikmati pribumi. Namun, suka tak suka, jalan darah yang dibangun pria Prancis ini menjadi tonggak pembangunan Pulau Jawa dan pertahanan militer sekaligus ekonomi sejak awal abad-19 hingga kini.

Di era kekinian, jalan yang dirintis Daendels ini lah yang kini populer dikenal sebagai Jalur Pantura atau Pantai Utara. Jalan ini lah yang menjadi arus nadi ekonomi, penumpang, dan barang yang menghubungkan antara Jakarta dan Surabaya.

Beratus tahun sudah jalan buatan Daendels ini kini masih bertahan. Tak terkira berapa manfaat ekonomi yang berputar di sepanjang jalan ini.

sorot daendels - jalan tol solo kertosono

Sejumlah pengendara mobil melintasi ruas jalan tol Solo-Ngawi di Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

Sejauh ini, pemerintah masih terus memanfaatkan penggunaan Jalan Daendels ini sebagai sarana transportasi penting. Jalur ini bahkan telah beranak pinak dengan jalur lain berupa tol.

"Pantura itu kan sudah jadi. Sebagai aset dia harus dipelihara," kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Herry Trisaputra Zuna, Kamis, 15 Juni 2017.

Menurut Herry, saat ini pemerintah sudah menargetkan pada 2018, jalan Trans Jawa yang meliputi Jalan Daendels akan jadi jalan masa depan.

"Tinggal tiga ruas lagi, Semarang-Solo, Solo-Ngawi-Kertosono, dan Pemalang Batang. Ditargetkan tahun 2018 selesai," katanya.

Direktur Jenderal Bina Marga, Arie Setiadi Moerwanto, menambahkan, berangkat dari Jalan Daendels akhirnya memang menginspirasi terbukanya akses jalan lain untuk mobilitas.

Apalagi, Indonesia memang masih mengandalkan jalur darat sebagai akses penumpang maupun pengangkutan logistik. Hanya saja, lanjut Arie, pemerintah akan membagi porsi beban Jalan Daendels dengan ketersediaan tol.

Sebab, selama ini Jalan Daendels memang sudah terlalu tinggi mobilitasnya. Untuk itu, cukup riskan jika hanya sebatas diperbaiki. Atas itu, pemerintah pun sudah merancang jalan tol yang sejajar dengan Jalan Daendels.

"Makanya sekarang kita banyak sekali bangun jalan tol. Kita punya total di bawah 1.000 kilometer jalan tol. Dan insha Allah dalam lima tahun kita akan bangun 1.800 kilometer jalan tol," ujar Arie.

Arie tak menampik, meski kini memang telah ada beberapa tol alternatif, Jalur Daendels atau Pantura tetap menjadi favorit para sopir. Tol Cipali misalnya, meski kini telah beroperasi, faktanya hanya mampu mengurangi 15 persen arus lalu lintas di Pantura.

Menurut Arie, kondisi itu ditengarai oleh pola transportasi angkut di Jawa yang jarang sekali untuk sekali perjalanan, misalnya Jakarta-Surabaya.

"Pola angkutan kita itu sedikit yang end to end. Misalnya, mereka mengirim barang dari Jakarta ke Cirebon. Nanti di Cirebon cari angkutan lagi," katanya.

Terlepas itu, kini jalur rintisan Daendels sepanjang 1.000 kilometer telah menjadi pijakan awal infrastruktur transportasi di Pulau Jawa. Terlepas kontroversinya, jalur ini menjadi urat nadi penting bagi berputarnya uang di tanah Jawa.

Mau tak mau, Daendels telah memberi pengaruh besar bagi Indonesia. Dosanya yang mungkin menewaskan belasan ribu pekerja paksa menjadi catatan kelam. 

Suka tidak suka, tanpa Daendels mungkin tak seramai dan sekencang ini alur ekonomi Pulau Jawa. Tak cuma itu, catatan pentingnya adalah bahwa Daendels yang hanya berkuasa tiga tahun empat bulan telah membuat megaproyek penting untuk Jawa.

Karyanya sepanjang 1.000 kilometer itu memiliki kualitas dan jumlah yang mungkin hampir saja sama dengan apa yang telah diperbuat dan dibangun oleh rezim Orde Baru. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya