Menteri Nasir: Anggaran Riset RI Kalah Jauh dari Tetangga

Menristek Muhammad Nasir
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id - Sebelum menjadi menteri, tidak banyak publik yang mengenal Prof. Drs. Mohammad Nasir MSi. PhD. Sebelumnya, dia adalah Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis/FEB di Universitas Diponegoro, Semarang. Lalu, pada Oktober 2014, Nasir terpilih sebagai Rektor Undip periode 2014 - 2018.

Tak Di-reshuffle, Menristekdikti Beberkan Terobosannya

Namun, belum sempat disumpah sebagai rektor, Presiden Joko Widodo meminangnya sebagai Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada bulan yang sama. Nasir pun mencetak sejarah, sebagai menteri baru untuk dua departemen yang melebur untuk pertama kalinya, yaitu Ristek dan Dikti. 

Dalam masa tugasnya, ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan oleh dua kementerian sekaligus. Namun hal itu dianggapnya tidak menjadi masalah.

Menristek: Jakarta Bisa Pakai Electric Bus pada 2017

Muhammad Nasir sejatinya adalah seorang ‘penghitung’ sejati. Background-nya di dunia anggaran membuat ia dipercaya Presiden Jokowi masuk dalam jajaran menteri Kabinet Kerja. Dengan harapan, Nasir bisa merealisasikan penelitian menjadi inovasi yang dapat diterapkan dalam masyarakat, tentunya dengan biaya komersilsasi dan produksi yang murah serta terjangkau bagi industri.

Viva.co.id berkesempatan mewawancara Nasir di kantornya beberapa waktu lalu:

Agar Peneliti Lokal Dilirik, Menristek Siapkan Rp1,7 Triliun

Dengan latar belakang lebih banyak mengurusi anggaran, apa yang membuat Anda mau menerima tugas mengurusi riset?

Peneliti kurang memperhatikan masalah komersialisasi produk. Anggaran bisa digunakan untuk mengevaluasi sisi komersil dari penelitian, komponen biaya yang berujung pada value added dan non-value added.

Apa sebenarnya latar belakang penggabungan Ristek dan Dikti?

Awalnya karena kami anggap riset yang ada di Dikti maupun di Ristek, begitu besar tapi dampak pada perekonomian di Indonesia belum dirasa baik. Penggabungan diharapkan efektif untuk menyesuaikan penelitian dengan kondisi masyarakat sehingga tercipta daya saing bangsa.

Apa yang dibutuhkan untuk bisa berkompetisi?

Yang kita kembangkan adalah tenaga kerja terampil dan inovasi. Dua hal ini penting agar mewujudkan daya saing bangsa dengan tenaga terampil dan inovatif.

Apakah ini berarti perguruan Tinggi difokuskan untuk riset?

Dalam Tridharma Perguruan Tinggi, Yang namanya PT itu melaksanakan 3 hal, termasuk riset. Pertama melaksanakan pendidikan dan pengajaran, lalu riset, terakhir adalah pengabdian masyarakat.

Bagaimana agar riset bisa direalisasikan dalam dunia usaha?

Kami sudah mengumpulkan para rektor, baik negeri maupun swasta. Forum Rektor kami upayakan agar kerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Tujuannya menghubungkan riset dengan dunia penelitian. Di level mahasiswa bisa langsung melakukan pengabdian di dunia usaha.

Ukurannya apa agar hasil riset bisa dimanfaatkan publik?

Inovasi yang harus sesuai dengan riset, lalu dipublikasikan, kemudian dibuat prototype hingga menjadi temuan, tak lupa untuk dijadikan hak paten. Makin banyak jumlah paten yang dimiliki, mengindikasikan inovasinya makin baik. Awal April kami akan menemukan para peneliti dengan dunia usaha.

Apa masalahnya hingga penelitian banyak yang tidak bisa diaplikasi ke dunia usaha?

Kita selalu evaluasi jika memang inovasi tidak match dengan usaha. Mungkin out of date, mungkin terlalu jauh pasarnya, atau jangan-jangan karena high cost sehingga tidak bisa dijual.

Kebijakan anggaran riset bagaimana?

Kami ambil sebagian besar dari dunia usaha. Pendapatan domestik bruto Indonesia Rp9.000 triliun, alokasinya [untuk riset] sekarang 0,09 persen, maka hanya Rp8 triliun. Itu masih kurang. Negara tetangga, Malaysia, sudah 1 persen alokasi dana untuk riset. Singapura punya 2,6 persen [alokasi anggaran untuk riset].

Jauh sekali perbedaannya. Dari dana riset itu, di Indonesia, 76 persen kontribusinya dari pemerintah, sementara negara Singapura 80 persen dari dunia usaha. Makanya dicocokkan, dunia usaha butuh apa? Kami cocokkan penelitiannya. Dunia usaha suplai dana, kita lakukan penelitiannya.

Penambahan anggaran dari pemerintah?

Anggaran pasti ditambahkan pemerintah. Penaikan anggaran ini khusus untuk riset strategis, seperti riset bidang pertahanan keamanan, alutsista, penelitian penerbangan (pesawat N219), dan kepentingan lainnya untuk negara

Apakah Perguruan Tinggi mendapat alokasi dana juga?

Ada 3 kelompok dana. APBN, PNBP, dan pinjaman. Pemerintah alokasikan Biaya Operasional pendidikan Tinggi, 30 persen. Total BOPTN kami sekitar Rp4,5 triliun, berarti 1,6 trilliun untuk alokasi riset. Sedangkan perguruan tinggi swasta wajib ada alokasi dana untuk riset. Jika besaran dana PNBP sebesar Rp8-9 triliun, diambil 10 persen, alokasinya bisa Rp800 miliar sampai Rp1 triliun

Bagaimana sokongan konkrit pemerintah?

Supaya penelitian tidak duplikasi, akan ada mandat ke Perguruan Tinggi. Mereka harus melakukan penelitian sesuai dengan ilmiah pokok masing-masing.

Misalnya Undip Semarang, khusus pengembangan riset kelautan. Teknik perkapalan, mesin perkapalan, kimia pengawetan perikannan. Satu PT fokus di satu bidang penelitian.

Reorganisasi sudah selesai?

Sudah selesai di eselon satu. Kini tengah pengisian karena penggabungan akan ada 5 direktorat jenderal. Yaitu Dirjen Pembelajaran dan kemahasiswaan, dirjen kelembagaan Iptek dan Dikti, riset dan pengembangan, kelembagaan, Sumberdaya Iptek dan Dikti, serta Inovasi. Ada juga sekjen, dan Inspektorat Jenderal. Total ada 7 eselon satu dan 3 staf ahli.

Perbedaan nomenklatur baru dengan lama?

Dulu, dua lembaga terpisah. Ibaratnya Dikti adalah harimau, Ristek itu Merak. Sekarang digabung jadi Reog.

Apa nanti tidak overlap koordinasi dengan BUMN yang berbasis riset, seperti Pindad, LEN, INTI? Mekanisme koordinasinya seperti apa?

LIPI, BPPT, LAPAN, Bapeten, Pindad, LEN, Inoki, semua harus berbasis penelitian juga. Ke depan harus semakin sinergi. Lembaha harus jadi satu.

Bagaimana dukungan perlindungan hak paten dari Kemkumham?

Selama ini jika inventor mau paten, ada biaya pemeliharaan hak paten sehingga mereka tidak semangat mematenkannya. Belum ada uanng sudah dimintai biaya.

Namun mulai 1 Februari 2015 sudah tidak ada lagi biaya pemeliharaan paten sebelum mereka berproduksi. Tujuan paten adalah agar tidak terjadi duplikasi. Paten itu mudah, yang susah memeliharanya.

Jika sudah ada produksi dari hasil paten itu maka pemeliharaannya dibayar. Inventor bayar pemeliharaan paten dari royalty yang diberikan perusahaan.

Ada keinginan dari pemerintah untuk menarik ilmuwan Indonesia dari luar negeri?

Ada upaya itu. Pemerintah akan coba memfasilitasi. Anggarannya masih dibicarakan. Setiap inventor akan didata mana yang bisa memberikan feedback ke negara. Inventor yang tertentu saja.

Sayangnya, fiskal 2015 sudah terbatas. Lainnya, tergantung penghematan. 2016 harus bisa munculkan anggaran. Kami sudah kerja sama dengan menteri perindustrian, perdagangan dan terkait.

Apa warisan pekerjaan rumah dari menteri sebelumnya?

Kalau di ristek sedikit, di Dikti banyak. Salah satunya terkait UU Pendidikan Dokter. 4 dari satu kecamatan harus ada dokter layanan primer, baik itu kandungan, internis, anak, dan bedah. Kedua, PT harus bisa bersaing di kelas dunia.

Banyak PT baru menambah masalah baru, baik infrastruktur, SDM dan lainnya. Pengangguran pun meningkat. Selain itu ada 32 perguruan tinggi swasta yang ingin di negerikan. Kriterianya, lahan harus di atas 30 hektar minimal. Ada operasional Perguruan Tinggi. Selain itu Perguruan Tinggi minimal harus punya 10 program studi, yang 6 di antaranya harus eksak.

Lalu bagaimana dengan Ristek?

Di Ristek ada sekitar 106 inventor di 2014. Total 2019 targetnya ada 667 inventor. Dari itu, hanya sedikit yang bisa dimanfaatkan dunia usaha. 

Bagaimana program prioritas Ristek-Dikti?

Hilirisasi dan komersialisasi hasil-hasil riset.

Apa targetnya?

Sesuai RPJMN ada peningkatan paten dan publikasi. Saat ini Indonesia telah mempublikasi 14.000 penelitian dari seluruh universitas terbaik di Indonesia . Di sisi lain, Universitas Kebangsaan Malaysia , mereka punya16.000. Paten harusnya banyak seiring dengan riset yang juga banyak.

Bagaimana merangsang para peneliti agar mau aktif melakukan penelitian?

Harus ada kewajiban untuk riset yang dilakukan agar mau dipublikasi. Perguruan Tinggi akan mendapat tambahan alokasi riset. Intinya, sudah ada uang, jangan disia-siakan. Selama ini kendalanya ada di tenaga professional, berikut komitmen dan integrasi kepada peneliti.

Bagaimana target secara keseluruhan? Berapa penelitian untuk satu Perguruan Tinggi?

Ada 220 ribu dosen di Indonesia. Jika satu dosen meneliti, artinya sudah ada 220.000 unit. Target 3.000 paten sampai 2019. Dari 3.000, penelitian kecil hanya menunjukkan sekitar 400-500 paten untuk inovasi kecil. (ren)

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya