Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, M Subuh

Difteri Tidak Pernah Hilang di Indonesia

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dr. Mohamad Subuh
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Difteri, mendadak jadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di sejumlah daerah di Indonesia sepanjang tahun 2017 ini. Masyarakat panik ketakutan, tak ingin anggota keluarganya tertular.

Deret Penyakit Berbahaya bagi Bayi, IDAI: Difteri Itu Mematikan

Penyakit yang disebabkan oleh penularan bakteri Corynebacterium Diphtheriae ini memiliki gejala nyaris sama dengan flu. Awalnya pilek dan demam biasa. Namun yang membedakan, tiba-tiba ada bengkak di tenggorokan. Setelah dicek ada selaput lendir di selaput saluran pernapasan. Jika dicongkel sedikit dengan cotton bud akan berdarah. Ada juga gejala, langit-langit mulut terlihat bercak putih. Bukan hanya menular, penyakit ini juga mematikan.
 
Mengenai penyakit difteri, Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Dr. Mohamad Subuh, MD, MPPM, saat ditemui di kantornya, Jalan Percetakan Negara No.29 Jakarta, 20 Desember 2017 lalu menjelaskan upaya pemerintah menanggulangi KLB difteri yang belakangan bikin masyarakat ketakutan. Ia, juga menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah panjang difteri di Indonesia hingga progres penanganan difteri sepanjang 2017 ini.

Tak hanya itu, pria kelahiran Pontianak 19 Januari 1962 ini juga menjelaskan bagaimana proses berjalannya Outbreak Response Immunization (ORI) yang jadi bagian dari program pencegahan difteri di Indonesia, bagaimana kendalanya, dan bagaimana respons masyarakat mengenai pencegahan difteri di Indonesia.

Miris, Lebih 200 Kota di Indonesia Risiko Tinggi Penularan Polio

Berikut petikan wawancara Dirjen P2PL Kementrian Kesehatan, Mohamad Subuh dengan tim VIVA.

Bagaimana progres penanganan wabah Difteri sejauh ini?

Seorang Anak yang Diduga Terserang Difteri di Lampung Barat Meninggal setelah Dirawat

Sebelumnya saya ingin mengoreksi, bahwa sebenarnya kita ini belum dalam keadaan “wabah” ya, kita sekarang ini dalam keadaan, Kejadian Luar Biasa (KLB). Itu ada satu perbedaan prinsipil yang sangat penting antara wabah dan KLB.

Sebenarnya Permenkes 1501 tahun 2010 yang mengatur penyakit-penyakit yang menjadi wabah itu sudah diatur di sana, apa yang disebut KLB, KLB adalah suatu Kejadian Luar Biasa yang pada intinya pernyataan KLB adalah suatu langkah preventif untuk mencegah terjadinya wabah. Jadi sekarang ini kita itu belum wabah, kita menyatakan ini masih Kejadian Luar Biasa (KLB).

Kenapa disebut Kejadian Luar Biasa?

Nah, ini yang perlu kita pahami bersama, apabila di satu daerah terdapat tidak ada suatu kasus pun selama ini dan tiba-tiba muncul satu kasus maka itu disebut Kejadian Luar Biasa. Jadi kasus yang baru muncul, itu baru disebut KLB. Walaupun kasus itu dahulu juga pernah ada, kemudian muncul kembali, itu kita sebut Kejadian Luar Biasa. Atau terjadinya peningkatan dalam waktu satu minggu, jam, bulan, itu terjadi peningkatan di periode yang sama, itu kita nyatakan juga Kejadian Luar Biasa (KLB). Atau peningkatan angka kematian itu juga Kejadian Luar Biasa. Jadi berbeda dan hati-hati sekali kita kalau katakan wabah, karena wabah itu eskalasinya nasional atau regional, jadi lebih tinggi lagi jumlah korbannya.

Kalau sekarang ini kan tidak seperti itu, kasus (difteri) sekarang ini kan terjadi di provinsi, dan itu pun tidak di semua kabupaten, bahkan ada di satu provinsi hanya ada di satu kabupaten, di satu kabupaten pun tidak semua kecamatan, hanya terjadi di satu kecamatan. Tetapi kita tetap warning, jangan sampai difteri ini menyebar ke seluruh kabupaten yang ada.

Sampai saat ini berapa jumlah penderita difteri?

Sampai pada tanggal 19 Desember 2017 kemarin jumlahnya 772 orang yang kena difteri. Jadi kalau kita bagi dengan jumlah penduduk Indonesia, itu insidennya hanya 0,03 permil, atau 3/100 ribu penduduk, di antara 100 ribu penduduk itu ada tiga orang yang mendapat difteri. Jadi sebenarnya angkanya masih sangat kecil. Tetapi, apakah angka yang kecil itu kita tidak perlu waspada? Tentu kita tetap waspada, itulah makanya kita nyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB).

Apa saja langkah-langkah yang dilakukan dalam status KLB itu?

Langkah-langkah yang kita lakukan pertama, tentu mengobati. Kemudian, kita melakukan langkah-langkah penyelidikan atau epidemology, kita mentrest mengapa ini terjadi? Bagaimana cara penularannya? Dan juga mencari kontak-kontak yang ada. Karena begitu satu orang dalam satu keluarga itu ada yang positif difteri, maka keluarga yang lain yang berdekatan itu harus kita lindungi, kita berikan obat antibiotik, supaya yang lain tidak terjangkit. Itu yang sudah kita lakukan.

Kemudian, setelah itu tentunya kita lakukan evaluasi dong terhadap imunisasi yang telah kita berikan, makanya kita lakukan apa yang disebut Outbreak Response Immunization  (ORI). Jadi ORI itu adalah suatu imunisasi untuk merespons Kejadian Luar Biasa (KLB). Karena, inti dari difteri ini, difteri adalah termasuk PD3I (Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi). Jadi bagaimana ingin mencegah difteri caranya adalah imunisasi, tidak ada cara lain. Banyak sebenarnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, ada sekitar 9 atau 10 penyakit, makanya kita berikan imunisasi-imunisasi wajib.

Nah, tentunya kita juga melihat, kenapa selama ini imunisasi sudah berjalan untuk difteri ini kurang lebih sudah 40 tahun, kita sudah berikan sejak tahun 1977 dan cakupan secara nasional selama tiga tahun terakhir ini bagus, tetapi kenapa masih terjadi difteri? Makanya perlu kita evaluasi status imunisasi terhadap yang bersangkutan, apakah yang bersangkutan selama ini sudah melakukan imunisasi secara lengkap? Lengkap untuk difteri itu minimal dilakukan imunisasi sebanyak tujuh kali.

Pertama, enam bulan kehidupan dia sudah dapat imunisasi tiga kali. Kemudian pada usia 18 bulan, diberikan lagi imunisasi difteri. Kemudian di usia kelas 1 SD itu diberikan lagi, kelas 2, kelas 3 diberikan lagi difteri, itu total sudah tujuh kali. Nah, apakah itu semua sudah dilakukan? Kalau itu semua belum dilakukan, maka mohon maaf pasti penyakit difteri itu bisa terjangkit. Makanya ini semua harus dievaluasi, apakah mereka yang terjangkit itu semuanya sudah menerima imunisasi lengkap seperti itu? Apakah tercover? Itu semua yang kita evaluasi bersama-sama. Terutama bagi masyarakat tolong diperhatikan benar-benar anggota keluarganya apakah benar-benar menerima imunisasi dengan benar atau tidak. Jadi ini kita harus evaluasi semuanya dari A sampai Z nya, semua persoalan dari hulu sampai ke hilirnya kita evaluasi semuanya.

Nah evaluasi ini harus dilakukan lintas sektoral, penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) ini tidak bisa hanya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan saja, jadi semuanya harus bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Ada faktor lain yang jadi faktor pendukung. Faktor masalah lingkungan, faktor perilaku, juga faktor akses pelayanan, kita semua harus bekerja sama menangani ini. Semua multisektor harus terlibat untuk menangani Kejadian Luar Biasa ini.

Kemarin sudah dilakukan rapat koordinasi yang dipimpin langsung oleh Menkopolhukam. Kita bersama-sama menggerakkan sektor, ini suatu langkah yang bagus sekali ya, semua sektor dapat bergerak bersama-sama, menggalang kekuatan dalam mengatasi kejadian-kejadian ini.

Data terakhir ada 772 penderita difteri. Di daerah mana saja status KLB itu Pak?

772 penderita difteri itu adalah kejadian dari bulan Januari sampai Desember 2017 ya, kejadian paling besar sebenarnya adalah di bulan Januari, media tidak ada yang ribut, padahal kita sudah kasih tahu itu sejak bulan Januari itu, media cuek saja kan. Bulan Februari menurun jadi 92 kasus. Bulan Maret naik lagi menjadi 89 kasus. Jadi dalam waktu tiga bulan awal tahun 2017 itu saja sudah ada 300 kasus sendiri.
 
Itu 300 kasus sendiri dibandingkan bulan April sampai bulan Desember  2017 naiknya kan total 400 kasus. Sehingga pada bulan April 2017 saya membuat konsep kepada ibu menteri, “Bu Menteri, tolong diingatkan kepada daerah, ini hati-hati loh, difteri ini mungkin meledak menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).”

Kemudian ada surat edaran dari Ibu Menteri Kesehatan kepada para gubernur, para bupati, kenapa Ibu Menteri mengirim surat kepada Gubernur dan Bupati,karena levelnya ini memang level multisektor, supaya Gubernur, Bupati memerintahkan seluruh aparat, kepada kepala dinasnya untuk hati-hati, tapi ternyata belum mendapat respons yang baik, kemudian terjadilah seperti sekarang ini. Karena apa? Di tahun 2017 ini sendiri, Menteri Kesehatan itu telah mengeluarkan Permenkes Nomor 12 Tahun 2017 tentang imunisasi.

Di situ dikatakan, apabila terjadi Kejadian Luar Biasa maka tindakan yang harus dilakukan adalah ORI. Jadi ORI ini adalah perintah peraturan menteri, enggak usah lagi nunggu pusat, sehingga tidak terjadi seperti sekarang ini. Terus terang saja,kalau terjadi KLB di salah satu kecamatan saja, kemudian kabupaten melakukan tindakan-tindakan yang tadi harusnya dilakukan, selesai itu sebenarnya difteri, tidak akan menyebar kemana-mana, jadi tidak meluas seperti ini. Saya tidak mau menyalahkan siapapun yang ada, yang penting bagaimana kita bisa belajar dari hal seperti ini.

Kalau kita katakan dari 772 ini, itu sebenarnya berapa provinsi yang status KLB?

Sekarang sampai saat ini sudah 28 provinsi yang melaporkan, di 142 kabupaten/ kota yang ada. Jadi kalau kita hitung dari yang paling Barat, Aceh sampai ke Timur, justru beban yang paling berat itu di wilayah Barat dibandingkan di wilayah Timur. Ini juga yang harus menjadi perhatian kita semua.

Kenapa bisa di wilayah Barat yang banyak?

Karena kepadatan wilayah penduduk. Penduduk di Barat itu lebih banyak dibandingkan di Timur. Ingat, penularan difteri ini adalah melalui droplet, partikel air kecil (seperti hujan rintik-rintik) yang mungkin dihasilkan ketika seseorang batuk atau bersin. Jadi kalau dia batuk atau bersin jelas ini yang paling berbahaya karena akan merangsang lendir dari bagian tenggorokan untuk keluar, kalau keluar dan kena percikan maka bisa tertular. Makin padat orang, maka kemungkinan penularan itu lebih besar. Jadi 28 provinsi dari 34 provinsi sudah melaporkan, di 142 kabupaten/ kota dari total 514-an Kabupaten/kota seluruh Indonesia, artinya tidak di setiap provinsi dan di setiap kabupaten/kota itu ada kasus.

Bagaimana langkah yang harus diambil bagi daerah yang tidak masuk dalam KLB?

Ini harus menjadi pembelajaran yang menarik, daerah yang tidak kena harus membuat sistem pendataan imunisasi yang baik. Saya kira dengan otonomi daerah ini daerah-daerah kabupaten/kota bisa membuat sistem yang baik dalam pendataan imunisasi di daerahnya, agar penyakit difteri yang terdapat di kabupaten/kota yang lain tidak masuk ke kabupaten/kota yang belum masuk. Jadi itu yang harus dilakukan, sehingga mereka mempunyai suatu pertahanan terhadap penyakit itu, agar yang tadinya daerah tertular menjadi daerah yang tidak tertular.

Sejauh ini apa saja kendala yang dihadapi dalam menangani difteri ini?

Kalau kendala-kendala yang ada sih sebenarnya, bagaimana kita memobilisasi sumber daya. Karena yang dinamakan KLB itu adalah sesuatu event yang unpredictable. Kenapa saya katakan demikian, perencanaan kita kalau bicara logistik, kita itu sebenarnya satu tahun ini sudah ada. Sasaran imunisasi kita dalam satu tahun itu kalau sampai kelas 3 SD itu sekitar 48 sampai 50 juta dosis yang kita siapkan.

Situasi saat ini kita harus menghitung kembali, mempersiapkan kegiatan ekstra tanpa menghilangkan sesuatu yang rutin (persiapan tahunan) itu. Contoh, kita melakukan ORI di 12 Kabupaten/kota di tiga provinsi pada pertengahan Desember 2017 lalu, kita mempunyai sasaran 7,9 juta antara anak di bawah 1-2 tahun sampai untuk usia 19 tahun, itu 7,9 juta. Nah, sebenarnya ini alokasi vaksinnya kan tidak tersedia. Nah ini bagaimana kita mengumpulkan sisa-sisa vaksin yang belum terpakai dengan menghitung kembali sisa-sisa anggaran yang kita punya, alhamdulillah kita hitung-hitung sampai akhir Desember ini kita bisa atasi, tidak ada masalah.

Lalu yang kedua, karena kejadiannya akhir tahun, tentu kita berhadapan dengan dana operasional. Nah, dana operasional ini akhirnya kita sharing dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat itu urusannya (menyiapkan) vaksin, hal-hal yang sifatnya bahan, dsb. Tentu daerah-daerah juga mempunyai kendala, karena ini kondisinya akhir tahun, tapi kita dorong semua, karena ini keadaannya darurat.

Ketiga, masalah sosialisasi kepada masyarakat. Ini terus menerus kita lakukan. Tetapi saya katakan kepada masyarakat sejak awal, bahwa imunisasi ini sangat penting, bahwa difteri adalah PD3I, penyakit yang hanya dapat dicegah dengan imunisasi. Dan penyakit ini kalau tidak dicegah, mematikan. Jadi ganas sekali kalau dibiarkan. Bahkan dia tidak mengenal usia, bukan hanya menyerang balita saja, usia dewasa pun bisa terkena penyakit ini. Dia tidak mengenal usia, tidak mengenal musim, status ekonomi, tidak mengenal area, tidak mengenal kota, semua bisa kena semua, dia sangat ganas.

Ini yang menjadi kendala-kendala. Tetapi kendala-kendala itu bisa kita atasi dengan optimal. Artinya, komunikasi risiko kita tingkatkan, ayok daerah, tolong kalian berikan dong operasional, kami berikan vaksinnya. Berapa pun yang kalian butuhkan, kita akan hitung, kita cukupi vaksinnya.

Kemudian juga, masalah berikutnya adalah obat-obatan. Itu juga masalah keterbatasan stok dunia ya, terutama untuk antidifteri serum. Tetapi insyaallah dalam minggu depan kita tercukupi stoknya ya, sehingga kita bisa lebih aman lagi dalam menangani kasus-kasus ini.

Lalu, juga ada hal lain lagi, yaitu belum tersedianya ruangan-ruangan isolasi difteri di beberapa rumah sakit untuk perawatan. Kita sudah menekankan kepada rumah sakit-rumah sakit, selama ada rumah sakit, ada dokternya, ada ruangan perawatan, itu bisa dijadikan ruangan isolasi untuk penderita difteri. Karena ruangan isolasi difteri tidak harus mempunyai spesifikasi khusus, tidak seperti ruang isolasi flu burung. Flu burung dia perlu tekanan negatif, ruangan yang tidak punya ventilasi ke luar, semua ventilasi ke dalam. Kalau pada difteri tidak perlu, karena penularannya tidak melalui udara, tapi penularannya dari air atau cairan lendir yang berasal dari tenggorokan atau saluran pernafasan yang sudah terinfeksi, beda dengan flu burung, itu ruangannya perlu tekanan negatif, tidak boleh ada ventilasi, karena itu bisa menular dari udara.
Jadi seharusnya tidak ada kendala juga untuk rumah sakit menyiapkan itu, tapi setelah kita jelaskan seperti itu, mereka sudah mulai terbuka.

Selanjutnya, kendala yang keenam, tentunya permasalahan diagnostiknya. Dia ada diagnosa klinis, ada diagnosa laboratorium. Nah, untuk laboratorium itu tidak semua laboratorium itu bisa melakukan pemeriksaan, terbatas sekali memang, karena ini kultur, dan membutuhkan waktu yang agak lama, kurang lebih 5-7 hari baru bisa keluar hasilnya positif atau negatif. Sementara yang kita tegakkan ini dari kriteria atau diagnosa klinis saja. kriteria klinis itu, begitu kita lihat ada selaput putih di tenggorokan, khas sekali bentuknya, tebal, mengkilat, kemudian ada pembengkakan di bagian leher, maka dokter mengatakan, “ini suspect difteri.”

Begitu dia dinyatakan terduga difteri, maka dimasukkan ke dalam catatan namanya W1 atau formulir KLB. Begitu tahapannya. Jadi begitu, KLB bukan sesuatu yang istimewa sebenarnya, tapi early warning system atau peringatan dini, agar benar-benar dapat dipahami oleh masyarakat, dan pemerintah daerah bisa bergerak cepat, sehingga masyarakat sebenarnya enggak perlu khawatir dengan KLB ini. Dia tahu bagaimana cara penularannya, maka dia harus pakai masker kemana-mana, higienis, sanitasi harus terus dijaga.

Nah, beberapa kendala yang saya sebutkan tadi, terus kita perbaiki. Baik dalam hal teknis pelayanan maupun dalam hal administratifnya. Administratif itu seperti masalah-masalah kewenangan, masalah-masalah peraturan, masalah keuangan. Kalau masalah teknisnya itu seperti bagaimana kita melakukan pelayanan, bagaimana kita melakukan penyelidikan epidemology, bagaimana mengadakan sarana prasarana, dll.. dan dua hal ini yang terus menerus kami pantau. Jadi kami terus bekerja 24 jam.

Sebenarnya apa yang menyebabkan difteri ini?

KLB Difteri ini sebenarnya kan penyakit yang sudah lama, dan dalam catatan kami, kejadian luar biasa difteri paling besar di Indonesia itu terjadi pada tahun 1990, itu kurang lebih ada 2000 penderita. Kemudian, dari tahun 1990 sampai tahun 2017, difteri sebenarnya tidak pernah hilang di Indonesia. Makanya selalu endemis, selalu muncul setiap tahun.

Pada tahun 2012, di Jawa Timur, khususnya di 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur itu terjadi lagi KLB difteri yang juga besar, itu hampir 1200 penderita. Kemudian menurun lagi. Barulah terjadi besar lagi tahun 2017 ini dengan jumlah penderita 772 penderita. Itu artinya sebenarnya di tahun 2017 ini masih tergolong kecil jika dibandingkan di tahun 2012 dan 1990. Dan itu artinya, sebenarnya semua daerah sudah punya pengalaman untuk mengatasi difteri ini, semua sudah pegang protap, logistik sudah disiapkan oleh pusat untuk daerah. Nah, masalahnya? Kenapa bisa muncul lagi?

Pertama, imunisasi tidak lengkap. Kedua, masih ada masyarakat yang tidak diimunisasi dengan berbagai macam sebab. Sebab penolakan karena agama, sebab penolakan karena ketidaktahuan, sebab penolakan karena gagal paham, dsb... makanya dengan berbagai sebab ini kita perlu benahi bersama, imunisasi rutinnya harus diperkuat.

Siapa yang harus memperkuat imunisasi rutin? Pemerintah Daerah, terutama dinas kesehatan di provinsi, Kabupaten/Kota. Kita dari pemerintah pusat melakukan teknikal asisten. Asistensi teknis penyiapan logistik dan juga penyiapan materi-materi yang ada. Karena yang melakukan operasional adalah teman-teman di provinsi, kabupaten/kota. Ini yang harus terus menerus dilakukan. Nah, jadi ini terjadi karena masih banyaknya masyarakat yang tidak imunisasi. Akibatnya terjadi imunisasi gap.

Kalau kita mau terlindungi dengan baik, masyarakat kita itu minimal 90 persen harus terimunisasi. Artinya, yang 10 persen yang tidak imunisasi ini, dapat tertolong oleh 90 persen yang sudah diimunisasi. Apabila yang diimunisasi hanya 80 persen, 70 persen akhirnya terjadi yang istilahnya backlock. Backlock ini adalah orang-orang yang tidak diimunisasi, terus tertinggal, dan semakin lama jumlahnya semakin besar, nah inilah yang dapat menyebabkan penyakit ini dapat berkembang dengan cepat. Ini masalah buat kita.

Berapa data imunisasi gap terakhir Pak?

Begini, sebenarnya secara nasional rata-rata masyarakat Indonesia yang sudah diimunisasi dasar itu ada 90 persen. Tetapi sesungguhnya disparitasnya masih besar. Kenapa saya sebut terjadi disparitas, di tingkat kabupaten, tingkat kecamatan, dan tingkat desa. Bisa di tingkat kabupaten mendapatkan imunisasi 90 persen, tetapi itu berada di ibu-ibu kota kecamatan saja misalnya. Karena jumlah penduduknya banyak, akhirnya kalau dibagi jumlah sasaran dia besar dapatnya, tapi kalau dibagi di tingkat kecamatan atau desa, dia tidak 90 persen. Ada yang 80 persen, ada yang 70 persen saja di tingkat desa, jadi tidak merata 90 persen.

Apa masalahnya Pak? Kenapa bisa seperti itu?

Ya itu tadi masalahnya, mungkin karena aksesnya sehingga belum dapat dia. Kedua, mungkin tidak paham, ketiga mungkin penolakan karena paham-paham tertentu, keempat karena ketakutan. Jadi banyak faktor kenapa banyak yang tidak melakukan imunisasi. Makanya saya sampaikan, pendekatan persuasif ini yang harus dilakukan. Kita tidak bisa melakukan pendekatan secara frontal kepada masyarakat, tapi harus melakukan pendekatan secara perlahan-lahan, memberikan pengetahuan, melakukan pendekatan melalui para tokoh-tokoh, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, dsb, termasuk melakukan pendekatan secara individu maupun secara kelompok, ini yang harus terus kita lakukan.

Saya ingin sampaikan, cerita sukses penyakit yang bisa dihilangkan lewat imunisasi di Indonesia adalah cacar, kemudian contohnya polio, tetanus, itu semua dengan imunisasi. Jadi sekali lagi saya ingatkan, kalau mau difteri ini hilang ya cuma satu syaratnya, imunisasi. Karena difteri ini adalah penyakit PD3I, tidak ada cara lain. Jadi saya juga melihat momen ini bagus untuk mengingatkan kepada masyarakat juga tentang pentingnya imunisasi.

Nah, untuk itu kita lakukan ORI. ORI itu harus dilakukan tiga kali, tidak ada tawar menawar. Makanya waktu memutuskan ORI, saya itu harus rapat kurang lebih satu minggu. Hanya memutuskan akan ORI atau tidak! Karena ini dampaknya itu besar sekali loh ORI ini. Pertama kita harus bisa menjamin yang kita suntik hari ini misalnya tanggal 20 Desember 2017, harus kita suntik lagi tanggal 20 Januari 2018, dan harus kita suntik lagi pada tanggal 20 Juli 2018.

Jadi jarak ORI itu berapa lama ?

ORI harus tiga kali, jaraknya 1-1-6 bulan. Suntikan pertama, kemudian diulang satu bulan kemudian, dan diulang lagi enam bulan kemudian. Dan ini orangnya harus sama. Tidak ada tawar menawar. Kalau itu tidak tercapai, maka kegagalan akan di depan mata, jangan harap difteri itu tidak akan muncul.

Makanya ketika memutuskan ORI itu banyak yang harus kita pertimbangkan. Sistem pencatatan kita sudah benar apa belum? Karena kita harus mengikuti itu. harus tercatat semua itu, karena harus lengkap. Kalau dia pindah bagaimana? Pesan ke RT/RW nya, kalau dia pindah, tolong kasih tahu mereka pindah ke mana, Kejar!!! Itu sampai ke situ kita loh, jadi bukan sembarangan ngomong ORI saja kita. Semuanya harus tercatat, dan harus terdata. Misalnya, dia tadinya kos atau ngontrak di Jakarta, kemudian pada bulan ketiga setelah disuntik, dia pindah ke Jayapura, itu harus tahu kita, dia pindah ke mana. Kita harus kejar, kalau kita tahu dia pindah ke Jayapura, kita kontak langsung ke teman-teman di Jayapura, untuk mencari dia, karena dia harus menerima suntikan satu kali lagi kan di bulan kedelapan kan. Jadi sampai ke situ kita, jadi tidak gampang loh.

Makanya kita ketika memutuskan ORI itu juga tidak sembarangan, benar enggak nih kita ORI? Bisa enggak kita ORI? Kalau sudah tidak ada cara lain, oke kita putuskan ORI. Jadi semuanya harus kita pantau. Jadi nanti kita harus mengevaluasi ORI yang pertama ini nanti di bulan Agustus, karena baru selesai kan di bulan Juli kan. Nanti ORI yang bulan Januari, baru bisa kita evaluasi di bulan September. Anda bisa bayangkan itu kan, kita bekerja dalam situasi ORI itu seperti itu. Tetapi saya yakin, karena saya melihat kesiapan di lapangan, its oke. Kemudian, teman-teman di kabupaten/kota sudah familiar dengan ini, oke, kita laksanakan ORI. Tetapi dengan catatan harus bisa teregistrasi dengan baik semua.

Nah, dengan ini masyarakat saya harapkan tidak perlu gundah gulana, tidak perlu khawatir lah. Bahkan, saat ini tren-nya sangat hebat sekali, yang bukan sasaran ORI pun minta diimunisasi. Saya mengapresiasi masyarakat yang ingin diimunisasi. Tetapi, saya ingatkan, yang diprioritaskan oleh pemerintah dan yang dibiayai pemerintah saat ini adalah mereka yang menjadi sasaran utama, yaitu usia 1 sampai 18 tahun, di 3 provinsi, di 12 kabupaten/kota. Lalu yang program rutin adalah bayi sampai anak kelas 3 SD, itu sasaran utama.

Yang di luar itu mohon maaf, sementara ini mandiri dulu. Artinya mandiri bayar sendiri dulu. Dan saya sangat mengapresiasi bagi masyarakat yang bukan sasaran utama dan mau datang sendiri dengan mencari vaksin sendiri untuk upaya pencegahan, itu sangat bagus. Kita apresiasi. Tinggal kewajiban kami, pemerintah ini menjaga pasokan vaksin. Jangan sampai masyarakat sudah mau, tetapi vaksinnya tidak ada. Atau ada tapi palsu, nah ini yang kita antisipasi juga, kita harus jamin itu.

Dan perlu diingat, produsen vaksin terbesar saat ini ada di Indonesia, yaitu Biofarma. Dia mengekspor ke 134 negara. Jadi sebenarnya kalau bicara persediaan vaksin negara kita ini aman sebenarnya.

Artinya stok vaksin difteri ini sudah aman yaa pak?

Iya, aman, sudah oke. Mereka terus bekerja, Natal dan Tahun Baru mereka terus kerja itu untuk memproduksi vaksin ini. Karena mereka juga menjaga kebutuhan vaksin dunia kan, jangan sampai Indonesia diperhatikan, kebutuhan vaksin untuk dunia lain juga tidak bisa dipenuhi. Seperti sekarang ini kan sebenarnya ada empat negara yang KLB juga, Myanmar, Bangladesh, India, dan Venezuela. Bahkan, kasus terbesar ditemukan di Venezuela, sudah mencapai angka 1000 lebih penderita difteri. Jadi kalau dikatakan Indonesia terbesar, itu tidak lah yaa.. kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, sekarang ini kita juga masih di bawah, pada tahun 2012 itu hampir 1200 penderita, sekarang (2017) terdapat 772 penderita difteri.

Kalau target ORI itu sendiri berapa sih?

Gini, kan tadi saya sudah katakan, bahwa kenapa kita tingkatkan jumlah sasaran, karena difteri pada tahun ini variasi umur yang terkena ini cukup luas. Biasanya pada anak-anak di bawah 10 tahun, tapi sekarang sudah melebar sampai usia di atas 10 tahun, bahkan data terakhir kita itu di usia 82 tahun itu masih ada yang terkena difteri. Makanya dengan adanya kejadian seperti ini sasaran kita itu kita perluas, menjadi sampai usia anak kelas 3 SMA atau anak usia 18 tahun.

Nah, sasarannya ini cukup banyak, untuk di tiga provinsi saja, 12 kabupaten/kota itu jumlah sasaran kita sudah 7,9 juta orang.

Artinya ORI ini wajib sampai anak kelas 3 SMA ya?

Iya, kita lakukan perlindungan. Perhitungan sasaran kita itu 7,9 juta orang. Dan kita belum hitung lagi, nanti di bulan Januari 2018 kita akan meningkatkan untuk melakukan di 78 kabupaten/kota, di 8 provinsi. Untuk berikutnya yang delapan provinsi, 78 kabupaten/kota kita masih hitung bersama dengan BPS, data Pusdatim kita, termasuk masukan-masukan dari pemerintah provinsi yang menjadi sasaran. Jadi sangat banyak sekali sebenarnya target kita. Bayangkan, di tiga provinsi, 12 kabupaten/kota saja target sasaran kita itu 7,9 juta orang.

Tiga provinsi itu mana saja?

DKI Jakarta, Jawa Barat, dengan Banten. Di 12 kabupaten/kota, termasuk Jabodetabek. Jakarta nya itu Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Depok, Bekasi, Bogor, Serang, Tangerang, Purwakarta, Karawang, dsb.

Itu ORI tahap pertama?

Iya tahap pertama lah ya. Nanti di bulan Januari 2018 itu tahap selanjutnya di delapan provinsi, 78 kabupaten/kota. Jadi totalnya di akhir bulan September 2018 nanti kita sudah harus melakukan di 11 provinsi, 82 kabupaten/kota. Dan itu tidak menutup kemungkinan untuk kabupaten-kabupaten lain melakukan ORI secara langsung. Karena di Permenkes 12 tahun 2017 itu kan semua harus melakukan imunisasi kan.

Sejauh ini apa saja hambatan dari ORI tersebut?

Hambatan dari ORI sejauh ini, pertama kita melaksanakan ORI yang besar ini kan di tiga provinsi 12 kabupaten/kota, jadi kendala yang kita hadapi saat ini bahwa 75 persen sasaran kita saat ini berada di usia sekolah, karena sasaran kita sampai SMA kelas tiga kan.. sedangkan sekolah sekarang sudah memasuki musim libur. Itu salah satu kendala yang nyata di depan mata, tetapi apakah kita menghentikan pelayanan? Kan tidak. Saya minta kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, tolong berinovasi. Tetap pelayanan diberikan di Puskesmas-Puskesmas, tetapi harus diberikan keterangan, sehingga nanti ketika dia masuk ke sekolah, data yang ada di Puskesmas itu dibawa ke sekolah, kemudian dicatat di sekolah, bagi yang belum kita berikan lagi.

Dari target 7,9 juta orang itu saat ini yang sudah mendapatkan ORI berapa banyak?

Sekitar 24.65 persen, atau kurang lebih sekitar 1,9 juta orang dari target 7,9 juta orang.

Kendala apa lagi selain liburan sekolah?

Jadi kendala yang saat ini kita hadapi hanya itu sebenarnya, jadi bagaimana kita menyiasati liburan sekolah ini seperti apa. Kita mengharapkan di masa libur sekolah ini masyarakat juga mau mengakses ke Puskesmas-Puskesmas terdekat. Kemudian di libur panjang akhir tahun dan awal tahun depan ini juga menjadi salah satu kendala bagi kita. Nanti saya akan berkomunikasi kepada Kepala Dinas Kesehatan di tingkat kabupaten/kota supaya mereka mendirikan posko-posko pelayanan pada saat liburan akhir tahun dan awal tahun baru akan datang. Jadi kita akan update terus setiap harinya. Jadi saya juga harapkan kepada para orang tua untuk memanfaatkan puskesmas-puskesmas membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi, biar tercatat semuanya, saya saja yang di Kemenkes datang ke Puskesmas, di kantor saya ini tidak ada vaksin. Saya datang ke Puskesmas untuk disuntik antidifteri ke Puskesmas kok. Oleh karena itu kita berharap sekali orang tua memanfaatkan Puskesmas-Puskesmas ini. Atau kalau tidak mau ke Puskesmas, suntik vaksun secara mandiri atau sendiri-sendiri di rumah sakit, tapi tentu harganya agak mahal, jika dibandingkan dengan Puskesmas, kalau Puskesmas kan tinggal datang saja kan yang memang target sasarannya kan. Selama memang sasaran, datang saja ke Puskesmas.

Tadi Anda menjelaskan stok vaksin kita itu cukup. Sebenarnya apakah ada vaksin yang harus diimpor?

Saya kira tidak ya. Ada sih memang tapi itu karena demand masyarakat kita yang memang termotivasinya dengan barang-barang impor. Ada sih memang vaksin yang impor untuk difteri ini, ada beberapa merek sih. Tapi juga persediaannya terbatas. Sudah lah, kita jangan sampai mengulangi kejadian yang pernah terjadi lah yaa. Dahulu itu ada kasus vaksin palsu, yang dari impor kan. Sebenarnya, kualitas kita produksi dalam negeri itu khasiatnya sama kok dengan vaksin luar negeri. Jadi saya kira tidak perlu untuk impor.  Paling yang membedakannya hanya kemasannya saja yang lebih bagus vaksin impor itu kan.

Artinya Kemenkes tetap mendorong agar kita menggunakan vaksin dalam negeri yaa?

Iyaa dong. Toh, 134 negara memakai vaksin dari kita kok, kenapa kita harus memakai vaksin dari luar kan.

Bagaimana anda menanggapi gerakan Antivaksin yang kian masif di media sosial?

Komunitas antivaksin memang mereka itu pemahamannya berbeda yaa dengan kita. Dan kalau kita lihat, komunitas antivaksin itu ada bermacam-macam bentuk ya. Artinya kita harus tahu dahulu, dia antivaksin itu karena apa? Ada yang dari sudut pemahaman agama. Ada yang dari sudut tidak mengetahui apa-apa, ada yang dari sudut pemahaman ekonomi, ada yang dari sudut pemahaman politik, ada yang mereka itu memang benar-benar tidak paham sama sekali tentang vaksin ini, dsb. Misalnya kalau dari sisi ekonomi, mereka yang antivaksin menilai ngapain pakai vaksin, vaksin itu tidak ada apa-apanya, vaksin itu adalah persaingan bisnis, dsb. Kemudian ada yang alasannya pemahaman agama, jadi banyak faktor sebenarnya gerakan antivaksin itu.

Jadi sebenarnya tidak bisa juga dipukul rata, bahwa gerakan antivaksin itu karena pemahaman agama. Ini yang memang yang menjadi salah satu kendala kita. Kondisi hari ini saya berharap mindset masyarakat bisa berubah. Karena tidak ada vaksin yang membahayakan. Dan dengan adanya ORI ini, mudah-mudahan mereka sadar, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah. Karena sekali lagi saya katakan, yang namanya difteri adalah penyakit PD3I, penyakit yang hanya dapat dicegah dengan imunisasi. Tidak ada cara lain selain imunisasi. (ms)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya