Wajah Perjalanan Pagimu Jakarta

Ilustrasi kemacetan.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Jangan berharap menikmati pagi yang indah di Jakarta. Bukan udara segar yang akan kau hirup, tapi polusi yang menyiksa hidung juga paru-parumu. Bukan kesunyian pagi yang tenteram, tapi nyanyian klakson kendaraan juga cacian penuh maki. Coba saja kau keluar dan nikmati perjalanan pagimu, mungkin banyak cerita yang akan kau tambahkan.

Alasan Sedan Listrik BMW i5 Belum Memiliki Harga

Sejuta cerita menikmati jalan di ibukota. Sejuta cara pula menyiasati padatnya kendaraan. Tak adakah solusi berarti wahai para penyelenggara? Perempatan jalan tanpa polisi. Lampu merah yang tak lagi berfungsi. Angkot, mobil, motor yang saling adu gengsi, tapi tak peduli sangsi. Kereta yang enggan berhenti. Jam di tangan yang sudah menunjuk angka hati-hati. Dikejar waktu kerja yang sama. Keluar rumah di waktu yang sama. Melewati jalan yang sama. Lalu ramai-ramai orang mencari solusi. Beli motor dan mobil untuk dimiliki pribadi.

Tak bosan rasanya membahas ibukota tercinta, khususnya buruknya manajemen transportasi yang terjadi. Fenomena hijrahnya pengguna kendaraan umum beralih ke kendaraan pribadi perlu diperhatikan serius. Tanda bahwa sudah tak ada rasa nyaman dan aman menggunakan angkutan umum Jakarta. Alasan-alasan klise nan tak berujung adalah kemacetan, cerita-cerita berantai tentang copet, jambret, dan hipnotis. Lalu yang terbaru karena mahalnya naik angkot akibat harga BBM yang terus naik.

Polisi Sebut Kecelakaan Beruntun di GT Halim Libatkan 9 Kendaraan

Tak segeranya pemerintah menangani fenomena ini, juga orang-orang yang langsung memanfaatkan harga miring kendaraan membuat masyarakat mencari jalan cepat. Siapapun rasanya sekarang bisa kredit motor. Bahkan tak harus menunggu kaya melintir untuk mempunyai mobil. Para Gubernur Jakarta sudah mencari inovasi kendaraan modern untuk ibukota. Dari mulai Trans Jakarta, commuter line, sampai monorail yang gagal dibangun berlanjut ke pembangunan subway sudah dilakukan. Kami memang menikmatinya, tapi untuk sesaat.

Godaan memiliki mobil pribadi penuh gengsi sudah bercokol di kepala para pekerja setengah sosialita. Tak segeranya tindakan pemerintah juga cepatnya tercipta budaya modern tidak bisa menghentikan tren ini. Anak SMP saja sudah minta dibelikan kado mobil pada orangtuanya. Juga banyaknya para single driver lainnya. Hampir setengah pengendara pribadi di Jakarta mengendarai mobilnya sendiri, three in one pun semakin tak ada gunanya. Padahal jika mereka mau meninggalkan kendaraan pribadi di rumah dan mulai menggunakan angkutan massal, setidaknya bisa mengurangi kemacetan sampai dua kilometer.

Pemuda Kena Tipu hingga Puluhan Juta saat Hendak Beli Mobil untuk Ayahnya

Mobil tua bercat merah juga biru. Bus tua bercat oranye juga hijau. Apa yang salah dengan mereka? Tak ada yang salah dengan kendaraan hampir usang peninggalan turun temurun penuh modifikasi itu. Rasanya tak salah menyalahkan sumber daya manusia di atasnya. Seenaknya mengenakan tarif dan juga asal-asalan berkendara. Sebenarnya saya sangat penasaran dengan manajemen perangkotan sendiri. Khususnya tarif-tarif yang disetorkan di tiap terminal. Bukankah sudah ditentukan oleh Dishub trayek angkot juga pemberhentian terakhir mereka?

Untuk satu angkot saja hampir ada tiga titik mereka harus menyetorkan sejumlah uang. Bisa dibayangkan berapa kali ia melewati tiga titik itu dalam sehari. Bisa dibayangkan pula berapa ratus angkot yang lewat setiap harinya dan penghasilan yang didapatkan olehnya dari angkot-angkot itu. Kasus ini bisa disambungkan ke arah masih merebaknya premanisme di ibukota. Para penguasa-penguasa tak bertanggung jawab yang mencari untung saja. Padahal tak ada dalilnya mereka bisa seenaknya seperti itu.

Dikejar setoran, juga naiknya harga BBM membuat para sopir angkot ikut menaikkan tarif. Lalu siksaan yang terjadi selanjutnya adalah para pengguna angkutan massal. Dibanding biaya angkot per harinya dengan bensin motor tentu saja masyarakat memilih menggunakan motor. Apalagi yang tempat tinggalnya jauh di pinggir Jakarta yang harus beberapa kali menaiki angkot. Berkaca pada luar negeri, para orang kaya, manager, bahkan artis tak malu naik kereta dan bus. Mudahnya juga rasa aman dan nyaman membuat mereka tidak segan menggunakan angkutan massal. Waktu kedatangan subway dan bus yang sudah terjadwal, mencari rute yang sudah ditentukan adalah salah satu yang mereka tawarkan. Walaupun jarak stasiun cukup jauh, cukup ditempuh dengan jalan kaki saja sudah cukup.

Di Indonesia, baru keluar rumah saja sudah dilayani angkot kecil berjuluk KWK. Dari penataan kota untuk hunian juga daerah perkotaan sepertinya sudah jauh ketinggalan. Banyak aspek yang harus diperbaiki. Ada ratusan nomor angkot di Ibukota. Dari mulai trayek terdekat sampai terjauh. Melewati jalan besar sampai jalan tikus sekalipun. Yang berjumlah empat enam sampai lima delapan. Dari yang bisa duduk sampai hanya bergelantungan di pintu. Beragam hal yang dilakukan angkot dan bus Jakarta.

Hal termiris adalah sopir-sopir yang mengemudi tanpa tahu aturan. Seperti tak menyadari membawa nyawa manusia, lalu memaki-maki bila tak sesuai harganya. Sifat mereka yang seperti itu bisa disadari karena tekanan memperoleh uang secara cepat. Jika permasalahannya adalah memperbarui angkutan massal seperti TransJakarta, Commuter Line, dan juga dalam waktu dekat subway, maka tak ada salahnya mempercayai Pemerintah dan menunggu hasilnya.

Tapi dengan kasus angkot yang seenaknya juga preman-preman berembel-embel keamanan harus ditindak secara serius. Bagaimana jika angkot disamakan dengan kereta dan TransJakarta, yaitu membayar dengan e-money. Biar saja para sopir angkot digaji oleh pemerintah tiap bulannya. Sehingga tidak ada lagi asal-asalan menentukan tarif dan dikejar-kejar setoran. Karena sepertinya beredarnya agkot tidak dapat dihentikan begitu saja dan menjadi angkutan tradisional tersendiri di Jakarta.

Dengan begini biaya bisa ditarif dengan ditargetkan jauh dekatnya. Juga bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak seperti yang dilakukan TransJakarta. Teknisnya dapat dilakukan observasi dan penelitian lebih lanjut. Juga untuk para sopir perlu diadakannya pelatihan agar mereka mulai menyadari dan memperbaiki sikapnya di jalan. Perlu inovasi juga peraturan tegas agar para pengguna kendaraan pribadi segera hijrah dan tak memikirkan gengsi untuk menggunakan angkutan umum.

Pertumbuhan kendaran yang pesat tidak berimbang dengan tersedianya jalan. Jalan sudah tidak bisa diperbesar berarti pengurangan kendaraan umum harus ditindak secara tegas. Rasa ingin berubah yang belum ada di seluruh masyarakat Jakarta bisa menjadi penghambat nantinya. Lagi-lagi karena gengsi para setengah sosialita ini. Bergesernya nilai-nilai dan pengaruh budaya asing menjadi salah satu penyebabnya.

Seandainya tidak ada rasa perubahan berarti perlu diadakannya peraturan tegas seperti yang dilakukan Singapura. Pemerintah tidak perlu takut demi terciptanya keteraturan transportasi di Jakarta. Segalanya perlu ditindak serius dan tegas juga diberikan pengertian-pengertian agar masyarakat juga dengan sukarela mengikuti. Sudah banyak pula isu-isu lingkungan tentang polusi yang ada di Jakarta. Biasakan menggunakan sepeda bisa juga menjadi alternatif aksi lingkungan dan mengurangi macet.

Kampanye-kampanye lain adalah saling memberikan tumpangan di kendaraan pribadinya. Aksi-aksi inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan. Karena dengan ini berarti ada rasa ingin berubah bersama. Budaya awalnya tercipta untuk menjawab dan menyelesaikan suatu permasalahan. Lalu kebiasaan itu mulai dilakukan secara massal. Jika membuat peraturan tegas dan dilakukan bersama walau dirasa cukup berat pada awalnya, tapi bisa menyelesaikan suatu permasalahan. Maka jangan bilang tidak mungkin jika budaya baru bisa terbentuk di antara masyarakat dan bisa menjadi jawaban atas segala permasalahan kemacetan dan kepadatan jalan di ibukota. (Tulisan ini dikirim oleh Dianafril)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya