Ramadan, antara Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Abdul Rasyid Tunny
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Di bulan yang suci ini, umat Islam berlomba-lomba melakukan amal kebaikan, walau terkadang sandal jepit di masjid masih saja hilang. Di media-media sosial banyak aktivitas-aktivitas Ramadan yang terekspos, mulai dari buka puasa bersama sampai dengan santunan anak yatim dan fakir miskin. Bahkan, hal-hal yang bersifat privasi pun sudah ikut terpublikasi.

Pergilah Dinda Cintaku

Bulan Ramadan telah membangkitkan kesalehan sosial dan kesalehan individual umat Islam di seluruh dunia. Terlepas dari dijanjikannya pahala yang dilipatgandakan atas setiap perbuatan baik yang dilakukan di bulan suci ini. Namun, realitas yang ada, ada dikotomi seakan-akan agama mempunyai dua kesalehan yang semestinya satu, yaitu kesalehan individual/ritual dan kesalehan sosial.

Menurut hemat penulis, kesalehan individual adalah kesalehan yang lebih fokus pada kepentingan pribadi yakni mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat, haji, atau zikir. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Di sisi lain, menurut hemat penulis pula, yang dinamakan kesalehan sosial merujuk pada perilaku orang-orang yang mengamalkan nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Kalau penulis boleh meminjam istilah, kalangan Nahdlatul Ulama adalah Islam yang ramah bukan Islam marah. Suka menolong, sangat peduli terhadap masalah-masalah umat, memerhatikan dan menghargai hak sesama. Artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.

Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, atau haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tenteram berinteraksi, bekerjasama, dan bergaul dengannya.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Kesalehan ritual dan sosial saat ini menjadi tren wacana di kalangan Islam fundamental sampai Islam liberal sekalipun. Realitas adanya dikotomi antara dua kesalehan ini bermunculan ketika bangsa dengan penganut Islam terbesar di dunia ini masih saja dalam lingkaran kemiskinan, bahkan kelaparan, dan krisis hati nurani.

Ketika sebagian kalangan yang asyik mempolitisasi ayat-ayat suci, sebagian lainnya kelaparan hampir mati, sedangkan sebagian lainnya pula asyik di masjid sembari menangisi dosa-dosanya, lalu keluar dari pelataran masjid dan melihat pengemis, namun ia tak mampu menangis.

Padahal secara tegas agama mengajarkan kepada kita, ibadah seorang muslim tidaklah lengkap tanpa keseimbangan antara pelaksanaan habluminallah dan habluminannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia). Kesalehan sosial bukan saja terabaikan di negeri ini, namun hampir punah. Kesalehan sosial hanya terlihat ketika bulan Ramadan. Lihat saja angka antrian haji dari tahun ke tahun semakin tinggi, begitupula angka kemiskinan dari tahun ke tahun semakin tinggi.

Jikalau itu haji wajib apa hendak dikata. Namun, ada sebagian kalangan yang berduit banyak masih saja melaksanakan ibadah haji berulang-ulang kali, padahal ia lupa jika dalam agama haji diwajibkan hanya sekali. Mungkin mereka lupa jika Islam mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total.

Ya, secara tegas kita bisa menyimpulkan saleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah, juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia. Namun, kembali lagi, kesalehan itu tidak ditentukan berdasarkan ukuran serba formal. Dan biasanya, Untuk hal satu ini ada saja orang-orang yang merasa memiliki otoritas untuk menilai kredibilitas moral orang lain.

Ramadan kali ini muncul fenomena satpol PP menutup warung yang buka di siang hari menjadi polemik. Beberapa pemilik warung beralasan buka siang hari karena tidak tahu ada himbauan larangan buka siang hari di bulan Ramadan. Sebagian lagi buka warung karena butuh uang untuk menghadapi Lebaran. Peristiwa ini tentunya ditanggapi berbeda-beda dan tegantung pada pendekatan apa yang digunakan oleh sang penanggap.

Penulis teringat dengan Gus Dur yang giat menganjurkan agar berpuasa dengan menghargai orang yang tidak berpuasa. Salah satu pemikiran cemerlang Gus Dur menurut hemat penulis adalah ketika ia menyampaikan agar umat Islam harus istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang hal-hal fundamental, seperti batalnya wudu, qunut dan tidak qunut, yang membatalkan puasa dan tidak membatalkan puasa, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ditangani.

Bukankah baginda Rasulullah SAW sejak lima belas abad silam telah mewanti-wanti betapa kemiskinan itu seringkali berujung pada kekafiran, kada al faqru an yakuna kufran. Dari peristiwa ini kita harus membuka mata bersama bahwa masalah kita hari ini adalah krisis kesalehan sosial yang mengakibatkan saudara kita miskin, tetangga kita miskin, hingga dekat dengan apa yang di peringatkan oleh baginda Rasulullah SAW di atas.

Menahan haus dan lapar di bulan Ramadan ini adalah bagian dari bagaimana kita bisa merasakan yang dirasakan kaum fakir miskin. Sehingga keberadaan bulan Ramadan sebagai contoh bagi bulan-bulan lainnya. Bagaimana kita berlomba-lomba melakukan kesalehan individual dan menyempurnakannya dengan kesalehan sosial.

Menahan haus, lapar, hawa nafsu, kemudiaan berzikir, tadarus sampai bersedekah. Bulan Ramadan telah mengajarkan kita cinta kepada Allah dan sesama manusia. Di mana jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat.

Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih karena haus dahaga. Sehingga kita tak lagi egois dan asyik menjalankan kesalehan individual sampai lupa dengan kesalehan sosial yang justru menjadi penyempurna ibadah kita. Seperti apa yang telah diperingatkan kepada kita, bahwa celakalah bagi orang-orang menjalankan salat, tetapi menghardik anak yatim dan tak memberi makan fakir miskin. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya