Aku Bukan Boneka

Ilustrasi boneka.
Sumber :
  • top10 teddy bear

VIVA.co.id – Masih terbayang-bayang di benakku ketika aku mendengar kabar tentang kelulusanku beberapa tahun yang lalu. Tertulis salah satu nama, Ridho Adha A pada sebuah kertas yang dipajang tepat di papan pengumuman sekolah. Aku tidak menyangka kalau ternyata aku bisa lulus dari salah satu sekolah terbaik di kota Pekanbaru, SMP Negeri 3 Pekanbaru.

Pergilah Dinda Cintaku

Walaupun aku lulus dengan nilai yang tidak tinggi ataupun rendah, tapi aku bersyukur karena aku telah diberikan kemudahan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi. Yah, itulah MAN. Aku ingin melanjutkan pendidikanku di sana. Sekolah yang berbasis sama seperti SMA tapi bedanya di MAN pelajaran agamanya diperbanyak. Sama halnya seperti MDA yang pernah aku tempuh ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.

Maksud hati ingin melanjutkan ke sekolah pilihanku yaitu MAN, tapi aku malah dituntut untuk masuk ke SMK, Sekolah Menengah Kejuruan. Sekolah dimana aku tidak akan bisa mempelajari ilmu agama dan sastra bahasa Indonesia lebih lengkap. Karena di SMK lebih banyak praktik kerja daripada teori. Lebih tepatnya 70 persen praktik dan 30 persen teori.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Aku ingin masuk ke MAN, karena aku ingin mempelajari ilmu agama dan bahasa Indonesia lebih dalam lagi. Namun, tuntutan orang tua dan keluargaku yang banyak berharap padaku membuat aku terpaksa harus mengikuti kemauan mereka. Aku kira wajar mereka jadi banyak berharap padaku, karena memang aku adalah anak pertama dan memiliki empat orang adik, apalagi laki-laki semua. Aku harus memberikan contoh yang tepat, baik, dan benar pada adik-adikku.

Kujalani kehidupanku sebagai murid Sekolah Menengah Kejuruan dengan baik, walaupun sempat beberapa kali aku membuat masalah karena ketidaksukaanku terhadap apa yang aku pelajari di sekolah. Aku merasa ini bukanlah jalanku, aku tidak cocok berada di sekolah itu. Aku berharap aku dikeluarkan dari sekolah itu, sesegera mungkin.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Aku tidak ingin berada di sana, aku ingin memperdalam ilmu agama agar suatu saat aku bisa menjadi orang yang bijaksana dan dihormati oleh orang lain atas semua ilmu yang aku miliki. Aku juga ingin memperdalam pengetahuanku tentang sastra, terutama bahasa Indonesia, karena aku ingin menjadi seorang penulis.

Memang orang tualah yang selama ini membesarkan, menjaga. dan merawat aku sejak aku masih kecil. Aku dilahirkan dari rahim ibuku, lalu aku dirawat oleh ayah dan ibuku hingga aku dewasa seperti sekarang. Namun, pilihan masa depan akan menjadi apa aku nantinya, itu ada di tanganku. Menjadi apa aku nantinya di masa depan, seharusnya aku yang menentukan. Sedangkan orang tua dan keluargaku hanya boleh mendukung dan mempercayaiku kalau aku pasti bisa menjadi seseorang yang sukses dengan jalan dan pilihanku sendiri.

Namun ternyata, apa yang tertulis dan aku pikirkan selama ini sama sekali tidak terjadi. Aku sadar akan pilihanku yang sangat sederhana tersebut, aku sadar kalau aku terlalu egois akan keinginanku yang ingin menjadi seorang penulis. Sedangkan orang tua dan keluargaku berharap agar aku bisa menjadi arsitek ataupun Pegawai Negeri Sipil. Memiliki uang banyak, lalu bahagia.

Yah, itulah yang terjadi. Orang tua dan keluargaku seakan-akan melupakan peran mereka yang harusnya membimbing aku untuk menuju ke masa depan yang lebih cerah. Masa depan dan cita-cita yang harusnya aku pilih sendiri. Tapi mereka malah menghendaki kehendak mereka tanpa memikirkan aku yang selama ini tertekan dan tersiksa tanpa sepengetahuan mereka.

Hingga akhirnya aku benar-benar sadar, inilah jalanku. Aku dijadikan sebuah boneka oleh orang tua dan keluargaku. Tapi di lain sisi, aku menyayangi dan mencintai mereka walaupun selama ini aku hanya dijadikan sebuah boneka saja. (Tulisan ini dikirim oleh Ridho Adha Arie, Pekanbaru)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya