Kenangan Tentang Masa Lalu yang Murung

Ilustrasi pria menyendiri karena kecewa.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – “Di mana Ayah? Di mana Ibu? Di mana sayang? Di mana kasihmu? Kuingin berbaring di pundakmu. Kuingin menangis di pelukmu. Tetapi yang kubisa hanya memaki wajahku sendiri. Kuhanya mampu menjerit dalam sunyi. Aku sendiri, Bu! Aku sendiri!”

Cerita Kak Seto Jadi Gelandangan, Pemulung dan Tidur di Tempat Sampah

Di tahun kelahirannya, ayah tertangkap sedang mendua. Ibu menceraikan ayah ketika usianya satu mingguan. Ibu marah dan meninggalkannya. Ibu menitipkannya pada nenek yang sudah renta di saat usianya masih sembilan bulan. Hingga akhirnya ia digiring seperti anak anjing menuju majikan baru.

Paman dan bibi memiliki anak yang masih kecil-kecil, dan dia kembali pada nenek yang menerimanya seperti rumput kering. Ia tumbuh menjadi laki-laki yang kuat, sekaligus pemurung. Mencari-cari perhatian, tetapi paham betul bahwa jiwanya tetap tak berbunyi tanpa kehadiran ayah dan ibu kandungnya sendiri. Lima belas tahun ia menunggu, ibu tetap tak menjemput. Seolah ibu memendam benci pada ayah dan dilampiaskan pada wajahnya.

Cerita Masa Lalu, Abdel Achrian Pernah Gunakan Putaw hingga Sabu

Ia merasa terbuang dan selalu sendirian. 15 Desember 2015, nenek pergi, dikalahkan kanker serviks. Sebelumnya, kakek telah lebih dulu dijemput mati, sejak Agustus 2007 lalu. “Rumah nenek di Ciamis. Satu tahun sebelum nenek meninggal, setelah aku lulus SMP, aku merantau ke Bandung untuk mencari kerja. Aku kerja dan tinggal di rumah bos aku. Aku tidak melanjutkan sekolah,” tulisnya melalui pesan singkat.

Anak laki-laki kelahiran 1998 ini meninggalkan neneknya sendiri. “Nenek mulai sakit-sakitan sejak itu. Kanker serviks tepatnya. Aku belum sepenuhnya membalas jasa nenek. Aku cuma sempat membantu biaya rumah sakitnya satu dua kali saja. Dan sebelum meninggal, aku hanya bertemu nenek satu kali. Aku menjenguknya dan dia bilang, hanya minta doa,” lanjutnya.

6 Rahasia yang Harus Kamu Simpan Sepanjang Hidup dari Orang Lain

Tak bisa ia ingat kembali betapa perih dadanya melihat tubuh nenek yang selama ini merawatnya. Hanya nenek yang menerimanya di saat ibu dan ayah sibuk mementingkan perasaan dan ego mereka masing-masing. Nenek terbaring di kasur rumah sakit, kulitnya bergelayut, dan matanya tak menyala lagi.

“Aku sengaja tidak datang pada hari pemakamannya. Mendengar kabar nenek sudah tiada saja rasanya luka. Tapi aku mempersembahkan buku kumpulan puisi: Berjalan di Antara Daun Gugur. Itu untuk nenek, serta doa. Kumpulan puisi itu masih dalam pengerjaan. Ya, semacam ziarah waktu.” tuturnya. Kematian nenek adalah kesedihan yang masih bisa ia kenang. Namun, kabar bahwa ayah kini telah memiliki dua istri lagi, dan ibu telah menikah kembali dengan orang Bali, mungkin hanya akan menjadi perjalanan yang menuntunnya pada sepi yang tak berkesudahan.

“Ayah sekarang tinggal di Palembang. Mereka jarang menghubungiku, hanya saat mereka butuh saja,” katanya. Keluarganya terpecah. Dan hanya dia yang sendirian. “Kakak perempuan kandungku tinggal bersama bude di Banyuwangi. Aku punya tiga kakak tiri dari ibu tiri yang pertama, lalu dua adik kakak tiri dari ibu tiri yang kedua. Ibu kandungku punya satu anak dengan suami barunya, sementara suami barunya adalah duda beranak dua. Aku merasa istimewa menjadi satu-satunya anak laki-laki dari keluarga yang memusingkan ini. Karena aku berbeda,” jelasnya.

“Bapak senang menyendiri. Kupikir mungkin ia hanya menyadari sesuatu. Anaknya banyak, tapi tidak bisa membahagiakan semuanya. Sementara aku anak satu-satunya laki-laki yang ia punya. Aku merasa istimewa sekaligus berat,” lanjutnya. Ia senang menulis dan bercita-cita menjadi seorang penulis yang menginspirasi. Mimpinya besar, dan usahanya pun besar untuk mewujudkannya.

Tulisannya berbau kesedihan dan kemurungan. Mungkin orang-orang yang kesepian dan digantung kesedihan sepertinya lebih mudah untuk menuliskan cerita yang melankolis. Tetapi ia adalah orang yang kuat. Sebab meski sakit berkali-kali ia tetap bertahan dan tidak bunuh diri. “Pertama kali aku tahu, itu sangat sakit. Tapi seiring berjalannya waktu, semua jadi biasa saja,” katanya.

Untuk pertama kalinya, di pertengahan tahun 2016, setelah belasan tahun berlalu dengan murung, ia dapat bertemu dengan ibu kandungnya sendiri. Angin yang berbolak-balik melewati tubuh mereka masing-masing menjadi saksi. Dan semua terjadi di Kota Bandung. Begitu puitis, dengan hening, dan ingatan yang tak pernah pergi. Ia senang bercampur sedih karena bisa menatap wajah ibunya, sebelum akhirnya ibu pergi meninggalkannya kembali.

“Meski memang sudah lama, tapi kenangan tak pernah tua,” katanya. Serumit apa pun hidup yang dijalaninya tak pernah sedikitpun ia membenci kedua orangtuanya. Ia hanya berharap kelak ketika ia punya keluarga, anak-anaknya tak boleh bernasib sama dengan dia. Semua harus bahagia, hingga tak merasa hidup sendirian. (Tulisan ini dikirim oleh Jihan Suweleh, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Nasional, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya