Kisah Sutijah Penunggu Kuil Dewa Penjaga Pintu Langit

Bu Sutijah, penjaga Kuil Dewa Penjaga Pintu Langit.
Sumber :

VIVA.co.id – Sutijah, 68 tahun, adalah janda tua yang menunaikan pekerjaan sebagai penunggu kuil bertuan rumah Kongco/Dewa Penjaga Pintu Langit. Pekerjaan tak ringan ini dilakoni demi menunaikan amanah suaminya, Subroto, 78 tahun yang meninggal tiga tahun lalu.

Diadaptasi dari Novel, Serial Sabtu Bersama Bapak Bakal Tayang di 240 Negara

Klenteng Budi Luhur Sakti Penenang Samodra terletak di Jalan Lingkar Utara Pelabuhan, Semarang. Kuil ini memuja Kongco Penjaga Pintu Langit. Di kuil ini mendiang Subroto sejak usia 45 tahun sudah menjadi biokong/juru kunci klenteng didampingi Bu Sutijah istrinya.

Suami istri Subroto dan Sutijah berasal dari Desa Beringin, Kecamatan Beringin, Kabupaten Semarang. Mereka berdua awalnya adalah perawat Vihara Welas Asih yang sering disebut Vihara Beringin, karena berlokasi di Desa Beringin. Klenteng Budi Luhur Sakti Penenang Samodra umatnya tak banyak tapi punya kekhasan sendiri. Di kuil ini terdapat Kongco Kaki Semar Ismoyo, tokoh pewayangan. Banyak warga Tionghoa yang ingin hidup enak, lalu sembahyang di altar kongco ini dan terkabulkan.

Pergilah Dinda Cintaku

Puluhan tahun mendampingi Subroto suaminya sebagai biokong, membuat Bu Sutijah tak asing pada pekerjaan itu. Ketika suaminya masih hidup, acapkali pekerjaan biokong dilakukan Bu Sutijah. “Jika Pak Broto ada keperluan lain, saya yang menggantikannya,” kata Bu Sutijah.

Tiga tahun lalu, selama delapan bulan sebelum meninggal, Subroto sakit asma berat dan dirawat di desa asalnya, Desa Beringin. Agar klenteng tak kosong, Bu Sutijah menggantikannya sebagai biokong. Sebelum tiada, Subroto meminta istrinya untuk meneruskan pekerjaan biokong.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Tugas biokong, menurut Bu Sutijah cukup berat. Dia harus siaga 24 jam. Pukul 04.00 bangun, membersihkan klenteng, lalu memberi sesaji teh/arak pada para Kongco di altar masing-masing. Kemudian melayani umat/tamu jika ada yang datang di kuil hingga pukul 21.00. Tiap dua pekan, klenteng melakukan sembahyang malam, Jie-it dan Cap-go. Umat berkumpul melakukan ritual hingga lewat tengah malam. Kerja Bu Sutijah pun bertambah, termasuk cuci piring dan bersih-bersih klenteng seusai sembahyangan.

Berapa honor diterima Bu Sutijah dari pekerjaannya sebagai biokong? Janda tua ini menjawab, Rp 1,5 juta per bulan. Mungkin nilainya kecil, tapi Bu Sutijah ikhlas menerimanya. Dengan uang sebesar itu harus dicukup-cukupkan untuk menyambung hidup.

Janda jebolan kelas 5 SD yang fasih baca tulis ini, kini merasa lebih tenang bekerja setelah Suharno, 52 tahun, satu dari dua menantunya ikut membantu bekerja di kuil. “Tiap akhir bulan, Suharno pulang ke Desa Beringin menengok keluarga,” ucap Bu Sutijah. Selama puluhan tahun menjadi juru kunci Kelenteng Budi Luhur Sakti Penenang Samodra, satu kali Bu Sutijah dapat pengalaman amat dahsyat. Bermula beberapa bulan lalu, kuil yang ditunggunya nyaris rata dengan tanah akibat kebakaran.

Dikisahkannya, saat itu menjelang tengah malam. Semua pintu kuil telah ditutup dan digembok kuat. Tak lama terdengar suara gemeretak bercampur bau sangit. Lalu tampak asap hitam mengepul, keluar dari sela-sela bangunan klenteng senilai puluhan milyar itu. Waktu diintip, satu dari dua lilin setinggi satu meter, di kanan kiri altar utama meleleh. Api merembet ke meja altar. Membakar habis semua benda di atas altar. Zirah jubah Kongco ikut terbakar. Tapi aneh, tubuh arca Kongco sedikit pun tidak hangus.

Bu Sutijah dan Suharno panik, berusaha membuka pintu klenteng. Karena gugup, usahanya gagal. Beruntung api padam sendiri, tapi altar dan ruang utama habis dimakan api. Sejak itu, setiap malam hari Bu Sutijah mematikan seluruh api di altar-altar yang ada dalam kuil.

Bu Sutijah sendiri tidak tahu apakah pekerjaan biokong ini akan dilakoninya hingga akhir hayat, seperti terjadi pada mendiang suaminya. “Biar Tuhan yang menentukan,” ucap janda pemeluk Budha tapi berkeinginan berganti keyakinan sebelum dia menutup mata nanti. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya