Kembalinya Pasal Makar

Ilustrasi/borgol.
Sumber :
  • ientrymail.com

VIVA - Polisi kembali menggunakan pasal makar untuk menjerat seseorang. Korban teranyar adalah advokat yang kini menjadi Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana.

Publik mengetahui status tersangka Eggi dari surat panggilan bernomor S.Pgl/3782/V/2019/Ditreskrimum. Lalu, tidak lama setelah itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono, mengonfirmasi kebenarannya bahwa Eggi memang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus makar.

Awal mula Eggi terjerat pasal makar rupanya akibat pernyataannya mengenai people power. Dia memang menyerukan gerakan people power tersebut untuk merespons proses pemilu khususnya pemilihan presiden yang dia duga penuh dengan kecurangan.

Sebuah kelompok bernama Jokowi-Maruf Center (Pro Jomac) lantas melaporkannya dengan tuduhan penghasutan ke Bareskrim Polri pada Jumat, 19 April 2019. Selain itu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewi Tanjung juga melaporkan Eggi ke Polda Metro Jaya karena pernyataannya soal people power dengan tuduhan dugaan pemufakatan jahat atau makar pada Rabu, 24 April 2019.

Eggi Sudjana.

Nah, tidak lama setelah itu, polisi memanggil Eggi untuk pemeriksaan. Dan pada prosesnya, penyidik menetapkan politikus Partai Amanat Nasional itu sebagai tersangka kasus dugaan makar.

Eggi sendiri heran dengan penetapan tersangka terhadap dirinya itu. Dia merasa sebagai seorang advokat yang tengah menjalankan tugasnya, tidak bisa dijadikan tersangka. Tercatat, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam itu memang menjadi Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), anggota tim advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan juga pengacara Kivlan Zen selaku inisator aksi Gabungan Elemen Rakyat untuk Keadilan & Kebenaran (GERAK).

Terlebih, yang dia persoalkan adalah capres, bukan presiden. Karena itu, jika seruan people power dituduh makar maka salah alamat. Alasannya, dia tidak mempersoalkan pemerintahan yang sah tapi capres yang curang.

Eggi juga menilai polisi sudah melanggar prosedural hukum dalam Kitab Hukum Acara Pidana. Menurutnya, polisi tidak mengindahkan tahapan-tahapan, karena jika tuduhannya makar, maka tidak perlu laporan polisi tapi langsung ditangkap.

Kemudian, dari pasal makar yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu pasal 104, lalu pasal 106, dan pasal 107, Eggi merasa tidak ada yang memenuhi kualifikasi untuk menjeratnya melakukan perbuatan tersebut.

Seiring waktu berjalan, ternyata Eggi bukanlah satu-satunya orang yang dijerat dengan pasal makar. Tokoh kedua adalah anggota Badan Nasional Pemenangan Prabowo-Sandiaga, Ustaz Bachtiar Nasir, lalu ketiga, mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen.

Ustaz Bachtiar Nasir

Wakil Menkumham Sebut Pemerintah Usulkan Ubah Beberapa Substansi RKUHP

Jauh hari sebelum kasus makar ini muncul, pada akhir 2016, kepolisian pernah juga menangkap sejumlah orang dengan tuduhan yang sama. Mereka antara lain Sri Bintang Pamungkas, Muhammad Al Khathath, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Rachmawati Soekarnoputri, Jamran, Rizal Kobar, dan lain-lain. Tapi sayang, kasus mereka hingga kini tidak jelas.

Bukti Melakukan Makar

Polisi Tangkap 3 Pelaku Makar di Papua

Suara-suara sumbang atas langkah kepolisian yang menggunakan pasal makar untuk 'mengatasi' Eggi Sudjana dan tokoh lainnya itu tidak membuat korp baju coklat itu bergeming. Mereka tetap jalan terus karena meyakini sudah ada di jalan yang benar. Bahkan perkembangan terakhir, mereka malah menangkap Eggi saat menjalani pemeriksaan di ruang penyidik.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono menuturkan penetapan tersangka untuk Eggi itu juga telah sesuai prosedur. Polisi memiliki bukti permulaan yaitu pemeriksaan enam saksi, empat keterangan ahli, petunjuk barang bukti seperti video, dan pemberitaan di media online.

Terbukti Makar, 2 Jenderal NII Divonis 4,5 Tahun Penjara

Kabid Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono (tengah).

Gelar perkara juga telah dilaksanakan pada Rabu, 8 Mei 2019. Hasil gelar perkara itu menaikkan status saksi Eggi dari saksi terlapor menjadi tersangka. Bila ada yang keberatan soal penetapan status sebagai tersangka Eggi, dia mempersilakan mereka menempuh proses hukum.

"Kalau keberatan ada aturan mekanismenya, silakan," kata Argo di Mapolda Metro Jaya, Kamis, 9 Mei 2019.

Terkait penangkapan Eggi, Argo mengklaim juga sesuai prosedur. Dia mengatakan penyidik kepolisian bekerja secara profesional.

Argo membantah penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang. Dia mengatakan tahapan yang ada sudah ditempuh dengan benar.

"Sudah selesai pemeriksaan, sudah dibacakan hak-haknya, sudah dibacakan. Dan dia akhirnya menandatangani (surat penangkapan) juga," katanya.

Tidak berbeda, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, menegaskan bahwa penyidik selalu berpatokan kepada fakta hukum. Selain itu, penyidik juga tetap melakukan pekerjaannya dengan standar yang cukup tinggi dalam menggunakan pasal makar tersebut.

"Profesionalitas itu harga yang utama," kata dia, Selasa, 14 Mei 2019.

Oleh karena itu, lanjut Dedi, kalau ada pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat tindakan penyidik, ada mekanisne konstitusionalnya. Bisa diuji di ranah sidang praperadilan.

"Dibuka di situ, apakah langkah-langkah penyidik sudah betul apa tidak. Jadi ya silakan sebagai warga negara Indonesia yang baik harus menghargai bahwa ini adalah negara hukum, dengan segala bentuk macam konstitusi harus dihargai," kata dia.

Bentuk Kepanikan?

Terlepas dari keyakinan polisi, sejumlah pihak menduga penggunaan pasal makar itu merupakan bentuk kepanikan. Mereka dipandang tengah menjaga rezim yang kini sedang berkuasa dari rong-rongan kaum oposisi.

Politisi Gerindra, Nizar Zahro, mengatakan makin banyaknya pendukung 02 yang dipolisikan, membuktikan ada kepanikan luar biasa di kubu sebelah. Menurutnya, semuanya ingin dibungkam agar tidak melakukan perlawanan.

Demo di Depan Bawaslu

Nizar menunding tindakan melaporkan ke polisi disebut karena ingin menutupi kecurang yang massif. Kubu 01 dianggap gelap mata karena menyembunyikan bangkai.

Dia pun mengingatkan tindakan melaporkan ke polisi akan sia-sia. Jutaan pendukung 02 siap mengawal kemenangan Prabowo-Sandi.

"Pihak sebelah lupa, serapat-rapatnya menutup bangkai akan ketahuan juga. Tindakan lapor polisi akan sia-sia belaka, berapa pun yang dipolisikan tidak akan menyurutkan perlawanan," kata Nizar, Senin, 13 Mei 2019.

Senada, Ratna Sarumpaet, yang pernah dituduh makar dan kini masih menjalani proses persidangan atas kasus penyebaran berita bohong, berpandangan kalau kasus Eggi itu hanyalah rekayasa dari pemerintah yang ada sekarang saja.

"Ya enggak apa-apa. Itu permainan pemerintah aja. Biasa," kata Ratna.

Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno juga tidak ketinggalan. Dia turut bersuara atas apa yang menimpa Eggi Sudjana.

Bagi Sandi, kasus Eggi merupakan kriminalisasi. Alasannya, Eggi merupakan salah satu tokoh pendukungnya.

"Ya, satu lagi para pendukung kita (Prabowo-Sandi) yang terkriminalisasi, saya akan menyatakan sekali lagi bahwa hukum itu harus ditegakkan seadil-adilnya. Jangan hanya tajam ke pengkritik dan oposisi, tapi tumpul kepada penguasa dan penjilat," kata Sandiaga saat diwawancarai di Universitas Bakrie, Jakarta, Kamis, 9 Mei 2019.

Menurut Sandiaga, jika hukum ditegakkan seadil-adilnya maka akan adil makmur. Dengan penetapan Eggi sebagai tersangka, masyarakat bisa menilai sendiri. "Tapi kalau diperlakukan seperti ini, walaupun kita percayai proses hukum berjalan, tapi masyarakat akan bisa menilai dengan sendirinya bahwa jika mendukung Prabowo-Sandi pasti akan terancam tindakan hukum," ujarnya.

Demo di Depan Bawaslu

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengakui pasal makar memang diterapkan di saat pemerintah kedodoran dan kelihatan panik dengan wacana-wacana yang dikembangkan pihak oposisi seperti wacana people power.

Tapi, meskipun demikian, dia menilai hukum harus ditegakkan, tidak boleh pandang bulu. Hukum juga tak boleh hanya menyasar kubu tertentu.

"Jika memang ada bukti-bukti kuat melakukan tindakan makar ya harus diproses," kata Ujang saat dihubungi VIVA, Selasa, 14 Mei 2019.

Mengenal Pasal Makar

Sebenarnya, selain Eggi Sudjana, polisi juga menggunakan pasal makar untuk meringkus seorang pemuda berinisial HS, yang mengancam akan memenggal kepala Presiden Jokowi. Ancaman itu dia tersebar melalui video yang viral saat ia ikut aksi demonstrasi di depan Gedung Bawaslu, beberapa waktu yang lalu.

Lantas, bagaimanakah sebetulnya pasal makar itu?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makar memiliki arti akal busuk, tipu muslihat, kemudian, perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya, atau perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Perbuatan makar itu juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukun Pidana, yaitu pada Bab I tentang kejahatan terhadap keamanan negara, pasal 104, pasal 106, pasal 107, pasal 108, pasal 110.

Berikut ini isi lengkapnya:

Pasal 104:

Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 106

Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107

1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

2) Pemimpin dan pengatur makar tersebut ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Dua wanita yang ada dalam video viral aksi unjuk rasa di Kantor Bawaslu, Jakarta, 10 Mei 2019.

Pasal 108

1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun karena pemberontakan: ke-1, orang yang melawan pemerintah dengan senjata, ke-2, orang yang dengan maksud melawan pemerintah, menyerbu bersama-sama dengan gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata.

2) Pemimpin-pemimpin dan pengatur-pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 110

1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104-108, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

2) Pidana tersebut berlaku juga bagi orang yang dengan maksud mempersiapkan atau memperlancar kejahatan tersebut pasal 104-108... dan seterusnya.

Selain apa yang tertulis dalam KBBI, dan KUHP, makar juga ditemukan dalam kitab suci umat Islam, yaitu pada Surat Ali Imran, ayat 54. Bunyinya adalah 'Wamakaru wamakarallahu, wallahu khairul makiriin' yang artinya orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.

Ayat itu menceritakan saat Nabi Isa hendak dibunuh oleh kaumnya dari Bani Israil yang ternyata ingkar terhadapnya. Allah lantas menyelamatkannya dari rencana jahat para kaumnya tersebut. (hd)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya