- VIVAnews/Fernando Randy
VIVA – Jakarta sedang kelabu. Polusi udara di Ibu Kota tengah berada pada tingkat mengkhawatirkan sejak beberapa waktu lalu. Bahkan, kota yang pernah 13 kali berganti nama ini sempat menjadi jawara sebagai kota paling berpolusi di dunia.
Data AirVisual pada Jumat pagi, 2 Agustus 2019, Jakarta sempat berada di peringkat tiga negara dengan kualitas udara terburuk, kemudian posisinya mencapai puncak pada siang hari. Sorenya sekitar pukul 16.20 WIB, turun ke posisi kedua, di bawah Dubai tapi di atas Sao Paulo.
Air Quality Index (AQI) atau Indeks Kualitas Udara Jakarta sore kemarin berada di angka 155. Angka AQI turun menjadi 117 sekitar pukul 22.02 WIB. Malam tadi Jakarta berada di urutan empat, di bawah Tashkent, Ulaanbaatar dan Dubai, namun di atas Hanoi.
Sekadar informasi, AQI adalah indeks yang digunakan AirVisual untuk mengukur tingkat keparahan polusi udara. AQI dihitung berdasarkan pengukuran particular matter (PM) 2,5 dan PM 10, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3).
Rentang nilai AQI antara 0-500. Semakin tinggi nilai AQI, kualitas udara di kota tersebut semakin buruk dan dampaknya pun makin berbahaya bagi kesehatan individu.
Angka AQI 0-50 tergolong baik, 50-100 termasuk moderat. Sedangkan angka AQI 100-150 tidak sehat bagi kelompok orang yang sensitif, dan 150-200 masuk kategori tidak sehat. Sementara 200-300 sangat tidak sehat dan AQI 300-500, artinya kualitas udara di kota tersebut berbahaya. Kualitas udara Jakarta baru-baru ini sempat lebih dari 200, yang artinya sangat tidak sehat.
Saking buruknya kualitas udara di kota paling sibuk di Indonesia, level kecemasan masyarakatnya pun ikut meningkat. Hingga akhirnya sejumlah lembaga, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta dan 31 orang yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) melayangkan gugatan warga negara (citizen law suit) kepada tujuh pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Mereka, yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat hingga Gubernur Banten. Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan sidang perdana telah digelar pada 1 Agustus 2019.
Alasan mereka mengajukan gugatan karena menganggap para tergugat abai terhadap hak warga negara untuk menghirup udara sehat di Jakarta. Mereka menilai, para tergugat belum melakukan langkah konkret untuk mengatasi polusi udara yang kian hari kian buruk.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta, Erlina Burhan mengatakan bahwa kontributor terbesar buruknya kualitas udara adalah kendaraan bermotor. "Berdasarkan data yang ada, sebagian besar polusi udara di Indonesia berasal dari transportasi sebesar 80 persen, diikuti industri, pembakaran hutan," katanya di Jakarta Selatan, Jumat, 2 Agustus 2019.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menambahkan, pengelolaan sampah yang salah juga berkontribusi terhadap jeleknya kualitas udara. Misalnya, jika sampah yang dibakar itu plastik maka akan menyebabkan gas pembawa penyakit.
"Karbon monoksida akan membuat lubang ozon rusak, akhirnya kita kena sinar ultraviolet yang bahaya, penyakit akan banyak seperti kanker dan katarak," ujarnya.
Bahaya polusi udara