Memulihkan Ekonomi di Tengah Covid-19

Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Tiga bulan lebih pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) melanda Indonesia. Sebanyak 36 ribu kasus positif terkonfirmasi. 

Tercatat Lebih Kuat, APBN Dukung Momentum Pemulihan Ekonomi Indonesia

Per 12 Juni 2020, persentase pasien meninggal dunia 5,6 persen, dengan kesembuhan tercatat 35,8 persen. Enam provinsi melaporkan nihil penambahan kasus baru.

Tak hanya berdampak bagi kesehatan, Covid-19 menggerus sendi ekonomi bangsa. Turunnya daya beli masyarakat berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kuartal I-2020.

COVID-19 di Jakarta Naik Lagi, Total Ada 365 Kasus

Periode itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) ekonomi hanya tumbuh 2,97 persen. Konsumsi rumah tangga terpangkas menjadi 2,8 persen year on year, dibanding periode sama 2019 sebesar 5,02 persen.

Tak ingin dampak terhadap ekonomi berkelanjutan, pemerintah pun menyiapkan skenario pelaksanaan protokol tatanan normal baru atau new normal yang produktif dan aman dari Covid-19. 

Malaysia Detects Over 6000 Coronavirus Cases in a Week

Dua program pun dirancang secara bersamaan, yaitu Exit-Strategy Covid-19 yang dimulai secara bertahap pada setiap fase pembukaan ekonomi. Satu lagi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.

"Pemerintah membuat rencana agar kehidupan berangsur-angsur berjalan ke arah normal, sambil memperhatikan data dan fakta yang terjadi di lapangan," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangan pers dikutip Kamis 28 Mei 2020.

Tahapan penilaian kesiapan berdasarkan sistem scoring mencakup dua dimensi dibuat. Pertama, dimensi kesehatan yang terdiri atas perkembangan penyakit, pengawasan virus, dan kapasitas layanan kesehatan. Kedua, dimensi kesiapan sosial ekonomi yang mencakup protokol untuk setiap sektor, wilayah, dan transportasi yang terintegrasi satu dengan lainnya.

Airlangga menegaskan, skenario produktif dan aman Covid-19 ini hanya bisa dicapai apabila pemerintah bersama dengan masyarakat merespons dengan cepat upaya menekan tingkat infeksi dan kematian akibat Covid-19.

Selain itu, didorong pemulihan ekonomi dengan cepat melalui pembukaan kegiatan ekonomi setelah kurva melandai serta melakukan dorongan fiskal dan moneter. "Sehingga diharapkan kita bisa keluar dari resesi ekonomi," tuturnya. 

Butuh Ribuan Triliun

Memulihkan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 memang membutuhkan dana tidak sedikit. Angkanya bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Apalagi, hingga saat ini, belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. 

Menteri Perdagangan periode 2011-2014, Gita Wirjawan, membandingkan paket stimulus yang disiapkan negara-negara kawasan ASEAN. Per 27 Mei 2020, menurut Gita, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan anggaran untuk stimulus perekonomian 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) yakni senilai US$26,4 miliar atau sekitar Rp405,1 triliun. Jumlah tersebut kemudian direncanakan naik menjadi Rp667,2 triliun.

Namun, angka ini masih jauh lebih kecil dibanding negara lain. Malaysia misalnya, menyiapkan stimulus 20 persen dari PDB, Thailand 11,2 persen, sedangkan Singapura 19 persen. Jumlahnya masing-masing sekitar US$63 miliar, US$64,8 miliar, dan US$65,4 miliar.

"Jadi dari sisi pemulihan daya beli, plus kesehatan itu Rp600 triliun plus Rp400 triliun, itu kurang lebih Rp1.000 triliun. Belum dari sisi pasokan," kata Gita dalam acara webinar Buka Suara VIVAnews bertajuk “New Normal: Bisakah Bangkitkan Ekonomi RI”, Selasa, 9 Juni 2020.

Gita menyebut, sektor pariwisata harus menjadi perhatian pemerintah untuk segera dibangkitkan. Lewat pariwisata, Indonesia akan mampu berbicara banyak di kancah internasional dan menjadi negara berpengaruh. 

Dengan mendatangkan puluhan juta wisatawan, menurut Gita, akan sangat menopang kapasitas untuk bisa memproyeksikan citra Indonesia secara positif. Namun, di tengah pandemi Covid-19 saat ini, diakui Gita, justru sektor pariwisata yang paling terdampak. Kebijakan yang diambil seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sangat memengaruhi sektor ini.

"Supaya kita bangkit secepat mungkin dan bisa memancarkan sinar yang luar biasa," katanya.

Apalagi, menurut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bila krisis kesehatan akan terselesaikan dalam dua-tiga tahun, krisis ekonominya butuh waktu lima tahun. Karena, setelah krisis kesehatan tuntas, baru akan terjadi normalisasi, seperti masyarakat mulai bekerja, aktivitas ekspor-impor normal, hingga pengangguran berkurang.

Selain pariwisata, menurut Portfolio Manager-Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Andrian Tanuwijaya, pasar saham Indonesia juga masih menawarkan peluang. Valuasi saat ini -1 standar deviasi dari periode 10 tahun terlihat sangat menarik. 

Selain itu, dia melanjutkan, dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan earnings tahun ini yang merupakan salah satu yang terendah di kawasan, dibandingkan dengan kinerja tahun berjalan IHSG per 3 Juni yang sudah turun -21 persen, tampaknya potensi downside risk pasar saham Indonesia sudah semakin terbatas.

"Kami cukup meyakini bahwa Indonesia, -dengan konsumsi domestik yang menjadi kontributor utama ekonomi-, dapat mengalami pemulihan relatif lebih cepat,"  tutur Andrian. 

Pasca Covid-19
Namun, upaya memulihkan perekonomian nasional pasca pandemi virus Corona, diperkirakan belum berjalan mulus. Sejumlah risiko negatif akan memengaruhi ekonomi dunia, jika Covid-19 pada akhirnya betul-betul bisa dihadapi dan berakhir. 

Gita menyebut, risiko utama yang masih akan dihadapi sejumlah negara, termasuk Indonesia, adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu karena masih rendahnya agregat demand atau daya beli di seluruh dunia. 

Selain itu, akan terjadi penurunan produktivitas karena disrupsi terhadap rantai pasok yang terjadi di negara-negara ekonomi besar seperti Tiongkok ataupun seluruh dunia. Di samping adanya peningkatan polarisasi antara dua ekonomi besar Amerika Serikat dan Tiongkok. 

"Ini sudah mulai kelihatan gonjang-ganjing antara mereka dalam penanganan Hong Kong, Laut China Selatan, hingga tensi perdagangan yang semakin meruncing," tutur dia.

Risiko lain, Gita memperkirakan, terjadi lonjakan utang dari sisi negara, korporasi hingga individu. Sebab, untuk membangkitkan kembali perekonomian membutuhkan dana atau stimulus ekonomi lebih besar dari kapasitas fiskal yang dimiliki.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya