RUU HIP yang Nirfaedah

Tugu Proklamasi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Isra Berlian

VIVA – Pemerintah memutuskan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila. Alasannya bukan karena aspek subtansial atau tidak substansial dalam rancangan undang-undang itu, melainkan agar untuk sementara ini pemerintah berkonsentrasi pada penanganan pandemi wabah virus corona.

Momen Presiden Joko Widodo jadi Saksi Nikah Anak Wamenaker Afriansyah Noor

Keputusan menunda tidak sama dengan membatalkan. Artinya, masih ada peluang di lain waktu bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahasnya lagi. Padahal yang publik soroti dari rancangan undang-undang itu kadar urgensinya, selain juga karena dicurigai akan membuka peluang komunisme bersemi lagi di Indonesia.

Parlemen tiba-tiba manut keputusan pemerintah, padahal sebelumnya, terutama fraksi partai-partai yang berbasis massa kalangan muslim, mengisyaratkan menolaknya. Senayan jugalah yang mengusulkan rancangan undang-undang itu masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.

Tim Cook Puts Investment to Build Apple Developer Academy in Indonesia

Pancasila yang diperas

DPR mengusulkan rancangan undang-undang yang belakangan populer dengan singkatan RUU HIP itu pada 22 April 2020. Disetujui oleh tujuh fraksi, yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, dan PPP. Dasar pemikirannya ialah karena sampai sekarang tidak ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Government to Form Special Task Force for Handling Online Gambling

Diusulkanlah dalam RUU itu pembentukan sejumlah badan/lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi Pancasila. Namun, yang paling menyulut badai kritik ialah konsep trisila dan ekasila yang termaktub dalam Pasal 7 dengan tiga ayat di dalamnya. 

Dalam Ayat 1 disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. Sedangkan pada Ayat 2 dijelaskan: Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Sementara pada Ayat 3 dinyatakan: Trisila sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) terkristailisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Celah kritik lainnya ialah RUU itu ternyata tidak mengatur tegas tentang pelarangan ajaran Marxisme, Leninisme, dan komunisme. Karena itulah Partai Keadilan Sejahtera menuntut pencantuman Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dan penghapusan pasal tentang Ekasila jika RUU itu mau dibahas sampai disahkan.

Kritik yang paling mendasar dari naskah RUU itu terletak pada terma-terma seperti trisila dan ekasila, sebagaimana digemakan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua istilah itu dianggap sebagai upaya penafsiran ulang terhadap Pancasila tetapi justru berpotensi merendahkannya.

Muhammadiyah menegaskan, Pancasila telah memiliki kedudukan dan fungsi yang kuat sebagai dasar negara. Karena alasan itu juga Pancasila tidak perlu “diperas” menjadi Trisila atau Ekasila.

NU memperingatkan pemerintah dan DPR bahwa Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945.

Satu hal yang pasti, selain polemik trisila maupun ekasila, menurut Ketua Umum NU Said Aqil Siroj, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus seperti yang diinginkan dalam RUU HIP. Pancasila sebagai philosophische grondslag dan staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional.

Seandainya dirasakan ada masalah mendasar atas pembangunan nasional di bidang demokrasi politik Pancasila, Said mengajukan, solusinya bukan mengutak-atik atau menakwilkan ulang Pancasila, melainkan mereformasi paket undang-undang bidang politik.

Begitu pula jika ada masalah dengan haluan pembangunan ekonomi nasional, yang dirasakan menyimpang dari jiwa demokrasi ekonomi Pancasila, maka yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 ayat (5) UUD 1945.

Pemecah Bangsa

Pro dan kontra tentang RUU itu juga dianggap merugikan bangsa Indonesia. Sebab, sedikit atau banyak, polemik itu ibarat memercik riak-riak yang berpotensi menimbulkan krisis politik, memecah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional. Apalagi dalam situasi seperti sekarang, saat bangsa Indonesia membutuhkan persatuan dan kerja sama, perdebatan tentang RUU HIP hanya memunculkan kegaduhan tak penting dan tak berguna alias nirfaedah.

Persaudaraan Alumni 212 bahkan sampai mengancam memakzulkan Presiden Joko Widodo jika pemerintah dan DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU itu karena berpotensi melanggar konstitusi. Sama seperti kebanyakan kritik, PA 212 juga menganggap RUU HIP sangat tidak urgen dan tidak dibutuhkan.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, malah menganggap RUU itu cacat materiil dan cacat formil, karena berpotensi menjadi omnibus law: berpretensi mengatur segala sesuatu dalam satu undang-undang. Soalnya di dalam naskah RUU HIP juga mengatur tentang ekonomi, inovasi riset hingga media; jadi, bukan sekadar “urusan di bidang pembinaan ideologi Pancasila”. "Terlalu banyak persoalan dalam RUU jadi kontroversi: Pancasila bukan pemersatu, bahkan pemecah,” kata mantan wakil ketua DPR itu.

Ada kekhawatiran lain jika RUU itu sampai disahkan menjadi undang-undang, yakni menjadi alat penafsir tunggal Pancasila bagi penguasa sehingga nilai-nilai luhurnya menjadi sempit dan terkungkung. Kalau sampai itu terjadi, menurut Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher, akan menjadi alat untuk “menyudutkan pihak yang berlawanan sebagaimana dahulu saat menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.”

Upaya pembentukan kementerian/badan kependudukan dan keluarga nasional untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 Ayat (2) RUU HIP, menurut Netty, tidak mengandung unsur penting dan mendesak. Lagi pula sudah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang berada di bawah Presiden.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya