Film Nyai, Sebuah Pengantar Sejarah Film Indonesia di Abad 20

Garin Nugroho dan pemain film Nyai
Sumber :
  • VIVA.co.id/Laras Devi Rachmawati

VIVA – Tak seperti film-film kebanyakan, film Nyai, garapan sutradara Garin Nugroho rupanya tidak akan beredar di bioskop reguler, melainkan hanya dalam layar-layar alternatif dan juga rangkaian master class bersama Garin Nugroho, yang dimulai pada tahun ini.

Aktris Teater Joo Sun Oak Meninggal Dunia, Mati Otak hingga Pilih Donorkan Organ Tubuh

"Film saya memang tidak akan beredar di bioskop-bioskop reguler, tapi layak dalam untuk ditonton karena film ini bisa menjadi pengantar sejarah film Indonesia. Maka kami akan memperbanyak pemutaran dengan komunitas-komunitas dan melengkapinya dengan rangkaian master class," kata Garin.

Bercerita mengenai kehidupan seorang Nyai, sosok perempuan pribumi yang menikah dengan laki-laki Belanda pada masa kolonial yang marak pada periode itu.

Sosok Gadis Cantik Pemeran Suki di Serial Avatar: The Last Airbender

Berlatar pada tahun 1926-1927, film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul serupa, seperti Nyai Isah (1904), karya F. Wiggers, Seitang Koening (1906) oleh R.M Tirto Adhisoerjo, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Nyai Dasima (1906) karya S.M Ardan, dan Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.

Film yang berdurasi 89 menit ini faktanya menggunakan konsep teater, yang juga melibatkan para pemain-pemain teater dengan metode one take, one shot, dan real time. 

Pertunjukan Teater Bawah Air Varuna di Bali Safari Park: Perpaduan Budaya dan Hiburan

"Film ini dibuat dengan metode one take, one shot, dan real time, di mana kalau salah akan diulang lagi dari awal," kata Garin saat berada di kawasan SCBD, Jakarta Selatan belum lama ini.

Berangkat dari hal tersebut, film Nyai disebut-sebut mampu menjadi pengantar sejarah film Indonesia baik dalam keterkaitannya dengan aspek sejarah industrialisasi awal abad 20, sejarah transformasi sastra ke film hingga teater ke film, keterkaitan film dengan politik kolonial, maupun sejarah film Indonesia di awal pertumbuhannya.

Telah diputar di berbagai film festival, film Nyai rupanya pernah sebagai pembuka sesi waves, sesi program eksperimental, saat di Torino Film Festival. Sedangkan di Rotterdam Film Festival, film dengan gaya shakespeare-an ini dikatakan sebagai sebuah pandangan yang tepat dari Garin Nugroho, karen telah membuatnya dengan gaya tonil dan metode one shot.

Bahkan, kritikus ternama, Philip Cheah, menurut Garin, telah memasukkan Nyai dalam 10 film terbaik Asia. Philip menyebut satu shot dan satu take tidak sekadar konsep kamera, tetapi merepresentasikan perempuan terperangkap dalam sebuah rumah dengan beragam perubahan dunia yang masuk ke rumahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya