Menjaga Nama Baik Islam dari Gerakan Neo Khawarijisme (Takfirisme)

Salat berjemaah
Sumber :
  • instagram/guyonankekinian

VIVA – Kata kafir sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW ketika beliau masih hidup. Alquran berulang kali menyebutkan istilah kafir dan menggambarkan karakter dan ciri-ciri kafir untuk mengingatkan umat Islam tentang bahaya dari perilaku kafir agar dihindari oleh umat Islam.

Meski Beda Agama, Ini Momen Mikha Tambayong dan Deva Mahenra Rayakan Lebaran Bersama

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 disebutkan, hukum kafir melekat kepada orang yang tidak percaya atas keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa, yaitu kepada mereka orang yang musyrik, orang yang menyembah berhala, para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), dan kepada kaum kafir Quraish.

Kata kafir kemudian bermetamorfosa menjadi istilah keagamaan yang mempunyai makna spesifik dalam menghukumi cara-cara beragama seseorang atau suatu kelompok tertentu. Padahal kata kafir berasal dari kata kufr, yang berarti ingkar (tidak mempercayai Allah).

10 Kota Intoleran di Indonesia, Kota Terkenal Ini Masuk ke Daftar

Maka tidak boleh umat Muslim yang percaya adanya Allah SWT (beriman) disamakan dengan orang kafir yang ingkar dan tidak memiliki keimanan hanya karena perbedaan dalam hal furu. Kemudian sebuah gerakan mengkafirkan terhadap orang Islam ini dikenal dengan istilah takfiri.

Takfiri yaitu mengkafirkan sesama Muslim dan melakukan kekerasan terhadap orang yang mereka anggap kafir yang mampu memicu pergesekan, menumbuhkan benih-benih kegelisahan, pertentangan, permusuhan dan kerusuhan dalam beragama maupun bernegara serta pencemaran nama baik agama Islam yang dinilai sebagai agama yang damai.

Prabowo Hadiri Natal Nasional di Surabaya Bareng Jokowi, Masyarakat Antusias Minta Selfie

Gerakan radikalisme yang sering kita saksikan sekarang ini mempunyai corak yang sama dengan gerakan membelot generasi awal Islam yaitu golongan Khawarij. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, menyebut aksi kaum Khawarij tersebut sebagai isti’rad, yaitu eksekusi dalam agama dan bukan sebuah jihad. Aksi tersebut dilancarkan Khawarij karena pemahaman terhadap nash (baik Alquran maupun Hadis) dipahami secara tekstualis.

Syekh Hatim Al-Awn, ulama salafi dari Arab Saudi pensyarah di Universitas Umm Al-Qura, mengkritisi pembacaan teks wahyu dengan pendekatan tekstualis. Yaitu pemahaman Alquran dan Hadis yang cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa.

Dampaknya, pemikiran tersebut dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis. Itulah yang mengantarkan pemikiran takfir klasik ala Khawarij (neo khawarijisme). Sisi lain takfirisme (paham takfiri) mengandung overgeneralisasi (terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu) dalam melihat tindakan seseorang yang menurut mereka mengindikasikan kekafiran.

Menurut al-’Awn, paling tidak ada dua alasan yang menjadikan vonis kafir menjadi tidak valid. Dua hal tersebut adalah atas dasar ketidaktahuan dan takwil. Pelaku sebuah tindakan yang mengindikasikan kekafiran tidak layak dikafirkan jika yang ia lakukan berawal dari ketidaktahuannya (jahlun=bodoh). Demikian pula jika yang dilakukannya berawal dari interpretasi berbeda terhadap teks wahyu. Vonis kafir terhadapnya menjadi salah alamat.

Prof. Dr. Harun Nasution, seorang akademisi, intelektual, pemikir, filsuf dan mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, mengidentifikasi ada beberapa ciri dari aliran Khawarij ataupun yang sudah terpengaruh oleh pemikiran Khawarij, yaitu mereka yang dengan mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka (walaupun orang itu beragama Islam).

Karena ketika orang-orang Islam yang telah tersesat dan menjadi kafir perlu dikembalikan pada ajaran Islam yang sebenarnya yang merujuk pada Alquran dan Hadis. Namun sayangnya, pengembalian kepada ajaran islam itu mereka lakukan dengan cara mereka sendiri. Itulah yang dikhawatirkan dapat merusak citra Islam.

Keyakinan yang berujung pada cara main hakim sendiri untuk menyelesaikan setiap perbedaan pendapat hingga menghilangkan nyawa orang lain adalah perilaku yang menyimpang bagi seorang Muslim. Jika tindakan dan perilaku yang melukai aspek kemanusiaan dan agama ini terus dilakukan secara sistematis dan berkepanjangan, maka akan terjadi kekacauan di mana-mana.

Orang-orang akan mudah berprasangka buruk kepada orang lain dan merasa tidak aman untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Islam mengharamkan setiap perbuatan yang merusak, membinasakan, melukai, dan membunuh tanpa alasan yang benar. Dalam peperangan sekalipun, prinsip-prinsip moral, akhlak, dan etika harus dijadikan pedoman dan acuan. 

Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 94. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Ideologi takfiri tidak lahir dari ketidaksengajaan, apalagi takfiri sudah menjadi sebuah gerakan (baik ideologi maupun radikalisme) dan dengan adanya fatwa sebagai legitimasinya, maka menjadi sangat perlu mengkritik kembali gagasan takfiri untuk menjaga nama baik, kesatuan dan kebersamaan umat Islam, serta menjaga pemahaman yang benar dan menjauhkannya dari pemahaman yang menyimpang. 

Fungsi agama dalam kehidupan manusia sehari-hari antara lain ialah mengajarkan tentang ketauhidan, sikap-sikap permusyawaratan dan kebersamaan, kesempurnaan dan bimbingan untuk keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Maka, artinya manusia tidak boleh semena-semena membunuh manusia yang lain, tidak boleh semena-mena mengklaim kebenarannya tanpa berpegang pada prinsip ijtihad yang disepakati oleh para ulama.

Manusia juga tidak boleh menjustifikasi kafir seseorang dengan hanya bermodal ‘berbeda cara beragama’ dan berbeda dalam pemahaman teks saja. Itulah pentingnya memiliki rasa dalam beragama. Sehingga agama benar-benar menjadi pemandu manusia dalam mencari kebijaksanaan dan kedamaian.

(Penulis: Alwi Husein Al Habib?, Peneliti di Center for Democracy and Religious Studies Kota Semarang dan Mahasiswa Tafsir Quran UIN Walisongo Semarang)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.