APKASINDO: Indonesia Tingkatkan Produktivitas Turunan Sawit

Sumber : Kantor DPP APKASINDO
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kampanye negative sawit tidak akan pernah berkesudahan, dari puluhan tahun yang lalu selalu ada saja bahan dan material yang menjadi topik yang dipermasalahkan. Industri sawit masih memiliki hambatan besar pada pasar Eropa.

Pemanfaatan Maggot Sebagai Pakan Ternak

Kampanye negatif mengenai industri kelapa sawit tidak hanya gencar di berbagai media, namun organisasi-organinasi Internasional pun disinyalir telah disusupi oleh kepentingan kampanye anti sawit melalui berbagai isu.

Meminjam istilah Prof. Yanto yang disampaikan pada suatu seminar, ibarat pertandingan sepakbola, bahwa Eropa itu suka memindah-mindahkan gawang, jadi saat semua sudah fokus ke gawang, saat itu juga gawang dipindah.

Hidroponik, Solusi Lahan Sempit di Perkotaan

Dan Kampanye negatif ini tidak akan pernah berhenti, kecuali sawit bisa tumbuh di negara Eropa. Kampanye negatif sawit dipersubur oleh tudingan-tudingan LSM Domestik.

Selain itu selama ini minimnya kampanye positif sawit baik melalui media Indonesia maupun media luar negeri turut memperburuk citra sawit Indonesia. Hal ini harus menjadi evaluasi diri bagi pemerintah Indonesia tentang kebijakan kampanye positif sawit Indonesia melalui media.

Bahaya Masker Medis: Ancaman Baru Climate Crisis

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung, setuju dengan ungkapan Prof. Yanto, namun Gulat menawarkan strategi yang berbeda yaitu ‘berhenti menjadi penjaga gawang’, saatnya menjadi penyerang.

Penjaga gawang itu ibarat orang asing di atas lapangan. Ia dibedakan mulai dari seragam sampai aturan bersepakbola. Jika rekan-rekannya dilarang keras menggunakan tangan, ia diharuskan untuk menggunakan tangan.

Jika teman-temannya bertugas untuk mencetak gol, ia dipaksa untuk mencegah terjadinya gol. Dan bagi kebanyakan orang, mencetak gol jauh lebih menarik daripada menepis gol. Penjaga gawang itu menurut Buffon harus bersikap masokis, tentu bukan masokis secara harfiah, tetapi lebih kepada mengakrabi kesedihan.

Selama ini kita telah menjadi penjaga gawang yang selalu akrab dengan kesedihan, cukup sudah, kita harus menyerang, ujar Gulat.

Menyerang dalam artian kata adalah memperbanyak produk turunan dari CPO. Seperti Pemanfaatan CPO menjadi campuran Solar, atau Biosolar, dari B5 dan saat ini sudah B30. Menurut Ketum DPP APKASINDO Gulat Manurung bahwa strategi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo sudah sangat benar, pemanfaatan CPO sebagai campuran Solar murni.

Sesungguhnya dengan strategi bio-solar ini, negara-negara Importir CPO justru ketar-ketir, karena Biosolar lah sesungguhnya saingan mereka, semakin tinggi pemanfaatan CPO untuk Biosolar maka ketersediaan CPO Indonesia untuk eksport semakin terbatas karena tingginya kebutuhan domestik.

Sesuai dengan teori ekonomi supply and demand, maka harga yang harus dibayar negara Importir CPO dengan semakin naiknya konsumsi CPO Domestik, akan semakin mahal. Oleh karena itu, kita tidak usah terlalu ambil pusing dengan melakukan kampanye untuk negara tujuan ekspor CPO, yang kita lakukan saat ini adalah berhenti jadi penjaga gawang dan saatnya menjadi penyerang, ujar Gulat.

Penjaga gawang ini kita semua, Petani, Pengusaha, Pemerintah, semua kita sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia. Penjaga gawang harus menerima serangan-serangan dari berbagai penjuru, seperti serangan mempekerjakan anak di bawah umur, palm oil free, membakar hutan, membunuh hewan-hewan, minyak sawit penyebab kanker, deforestasi, industri sawit disubsidi pemerintahlah, dan terakhir ini petisi untuk meminta referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, di mana Petisi tersebut ditandatangani 59.200 orang yang dimuat dalam 26 kardus, sesuai dengan jumlah  provinsi di Swiss.

Sementara itu, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB Prof. Sudarsono Soedomo mengatakan, kampanye tidak simpatik seperti dilakukan LSM yang mencari donasi namun menyudutkan pihak lain sebagai pelaku kejahatan lingkungan, lanjutnya, bisa masuk kategori kejahatan kemanusiaan.

"Pertanyaannya, mengapa kampanye untuk perbaikan lingkungan tidak dimulai dari industri yang lebih buruk? Dalam beberapa tahun terakhir target kampanye LSM hanya menyasar pada perkebunan sawit. Ini menjadi tanda tanya besar," ujarnya.

Gulat Kembali menguraikan bahwa ketika dipercaya menjadi anggota delegasi Pemerintah utusan Petani Sawit Indonesia pada acara Indonesia-Switzerland Business Forum di Swiss dan dilanjutkan ke Madrid Spanyol dengan acara yang sama, jelas terlihat pemikiran negatif dari perwakilan delegasi negara-negara Eropa dari pertanyaan yang disampaikan.

Mereka melakukannya dengan segala cara dan masif. Bahkan saat itu utusan delegasi UE tidak yakin dengan jumlah 41% Petani sawit yang mengelola Perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Namun setelah saya menunjukkan data yang yang diterbitkan oleh DPP APKASINDO, barulah mereka setengah percaya, untung saat itu saya membawa peta sebaran perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia dan saat di Madrid saya baru memahami bahwa dana kampanye negatif sawit sangat tidak terbatas, seperti yang dilakukan oleh Itali yang mengeluarkan anggaran untuk kampanye produk bebas kelapa sawit (palm oil free) Itu menunjukkan bahwa memang persepsi kelapa sawit yang salah itu sudah terbentuk, bukan hanya di komisi UE, tapi pada masyarakatnya atau konsumennya, ujar Gulat yang merupakan Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.

Yang paling aneh adalah, pada saat Petisi boikot sawit Indonesia ini disebar, saat yang bersamaan muncul berita kampanye bahwa menggunakan minyak goreng dari perasan biji canola, bunga matahari, kacang tanah, buah zaitun dan mentega susu adalah sangat baik untuk kesehatan.

Mengapa mereka sebut demikian, ya karena Sebagian besar minyak Canola,  Zaitun dan mentega susu ini berasal dari Petani lokal dan diproduksi di Swiss. Ini tak terbantahkan bahwa semua kampanye negatif tentang sawit adalah politk perdagangan.

Perlu diketahui bahwa faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan vegetable oils lainnya.

Dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya dan tentunya semuanya ini akan membuat ekonomi tinggi dan deforestasi justru akan meningkat 8-10 kali.

Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) dengan konsep Intensifikasi yang menggunakan bibit hibrid yang produksi TBS nya mencapai 3-4 kali lebih tinggi dari tanaman sebelumnya. Jika PSR 500 ribu ha (2020-2022) ini berhasil dilalui Indonesia, maka produktivitas sawit Indonesia akan meningkat 12-16 kali lebih efisien dari vegetable oils lainnya. Hal ini semakin membuat negara-negara penghasil vegetable oils semakin ketar-ketir.

Fakta lain yang perlu diketahui bahwa isu kampanye negatif tentang sawit  berbanding lurus dengan import CPO dari Indonesia oleh negara-negara UE, artinya adalah bagaimana UE bisa membeli CPO Indonesia dengan harga murah karena memang faktanya ketergantungan UE terhadap CPO sangat tinggi. Penekanan terhadap CPO ini nampak jelas dari potongan yang didapat oleh Swiss dari produk yang berbahan baku minyak sawit mencapai 40%.

Dari data statistik GAPKI diketahui bahwa Ekspor Minyak Sawit ke Eropa (Jan-Sep 2019 dibanding Jan-Sep 2018) terjadi penyusutan 11,78% menjadi 3,29 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun penyusutan ini tidak menurunkan harga TBS ditingkat Petani, hal ini terselamatkan oleh serapan Program Biosolar dan meningkatnya eksport CPO tujuan negara lainnya.

Jika melihat data ekspor CPO ke Eropa bulan Januari-Mei 2020, tampak trendnya meningkat meskipun tidak signifikan, padahal pada fase bulan tersebut adalah fase pandemik Covid-19, ternyata pemanfaatan CPO sebagai disinfektan, hand-sanitizer dan konsumsi minyak sawit merah untuk mitigasi Covid-19 adalah salah satu penyebanya.

Gangguan dan diskriminasi kelapa sawit akan berdampak negatif terhadap program pengentasan kemiskinan dan menghambat pencapaian Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada 22,1 juta orang bekerja pada sector perkebunan sawit dan industri sawit ini, termasuk petani kecil (smallholders farmer). Jadi gangguan dan diskriminasi ini bisa dikelompokkan kepada kejahatan kemanusiaan dan melanggar HAM.

Jika Pemerintah Swiss dan negara-negara UE lainnya tidak menghentikan segala kampanye negatif dan diskriminasi terhadap sawit Indonesia, maka  APKASINDO akan mengeluarkan seruan kepada seluruh Petani Sawit Indonesia di 117 Kabupaten-Kota dan masyarakat Indonesia supaya memboikot seluruh produk negara-negara UE terkhusus Swiss. Tiba saatnya kita menjadi penyerang, penyerang dengan full team, ujar Gulat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.