Adanya Bibit-bibit Kesombongan dalam Diri

Ka'bah
Sumber :
  • vstory

VIVA – Beberapa hari lalu, salah seorang teman baru saya diberi kenikmatan besar. Pergi ke tanah suci untuk beribadah umrah. Teman yang satu ini sungguh unik dan menarik. Dia adalah tipe orang dengan kepribadian penghibur. Penghibur dalam arti sebenarnya, jarang serius dan sering becanda.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Kalau dia tak ada, suasana sepi, tapi kalau dia ada, suasana pecah dan ceria. Teman saya ini dengan jujur mengakui, dia sebenarnya ragu, apa pantas orang seperti dia berangkat umrah. Kegalauan seseorang yang merasa diri masih sangat kurang dalam hal beribadah.

Kegalauan teman ini mengingatkan saya pada sebuah kisah. Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat hijrah ke Madinah, rombongan beliau disambut dengan suka cita. Orang-orang kaya dan terpandang saling berebut tali unta, meminta rumahnya dijadikan persinggahan Rasulullah SAW.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Demi keadilan, Rasulullah SAW akhirnya melepaskan tali untanya dan membiarkan untanya berjalan sendiri. Beliau memutuskan, di mana pun unta itu berhenti, di situlah beliau akan singgah.

Sesampainya di depan pintu rumah Abu Ayyub al-Anshari, unta itu berhenti, maka turunlah Rasulullah SAW dari untanya. Abu Ayyub tentu tak menyangka, manusia paling mulia di muka bumi akan singgah di rumahnya. Rumah seorang fakir yang merasa diri tak mungkin mendapat derajat tinggi di sisi Allah SWT, tapi dugaan Abu Ayyub ternyata salah, Allah SWT telah memilihnya untuk mendapat keistimewaan itu.

Membongkar Tuduhan Pratikno sebagai Operator Politik Jokowi, Strategi untuk Menjatuhkan

Kegalauan teman saya itu membuat perasaan saya teraduk-aduk. Ada perasaan iri yang teramat sangat sekaligus sebuah tanya, kapan saya dan keluarga bisa menyusul berangkat ke tanah suci? Saya juga seperti mendapat semacam pencerahan, bahwa sebenarnya ketika seseorang beribadah, apapun itu, entah ibadah sehari-hari seperti salat dan puasa, sampai ibadah khusus semacam umrah atau haji, seharusnya tak sekadar niat yang ikhlas.

Tata-cara yang sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW saja juga perlu diperhatikan, dan ditumbuhkan perasaan bahwa diri kita ini kecil, fakir, hina, dan tidak pantas di hadapan Allah SWT.   

Saya juga jadi merasa was-was, jangan-jangan selama ini, dalam beribadah saya terlalu percaya diri, merasa diri lebih baik, lebih salihah, dan merasa lebih pantas mendapat kunci dan kapling surga dibanding orang lain.

Seperti iblis yang menjawab "Aku lebih baik daripada dia" ketika diperintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam. Membuat saya teringat cerita seorang teman beberapa tahun lalu. Beliau pulang dari umroh juga.

Waktu itu dia bertanya kepada saya dengan sedih, "Mbak, kenapa ya saat di tanah suci aku tidak bisa menangis? Semua orang di sekelilingku menangis melihat Ka'bah, kecuali aku." Waktu itu saya juga bingung harus menjawab apa, tapi sekarang sepertinya saya tahu jawabannya.

Teman, menangis di depan Kabah boleh jadi adalah salah satu bukti iman yang tidak bisa direkayasa, tapi jika saat itu engkau tak bisa menangis meski engkau sangat ingin menangis, setidaknya dalam hatimu terselip kekhawatiran dan kesedihan karena ketidakmampuanmu itu.

Justru perasaan bangga dan "aman" karena berhasil menangis di depan Kabah itulah yang sebenarnya perlu kita waspadai, agar perasaan itu tak tumbuh menjadi bibit-bibit kesombongan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.