Tuhan, Kembalikan Ramadhanku

Kembalikan Ramadhanku
Sumber :
  • vstory

VIVA – Semarang, 30 Sya’ban 1441 H. Aku terpaku lama memandang rembulan bulan Sya’ban yang sudah terkikis habis, pertanda rembulan Ramadhan akan segera lahir. Tanganku terkepal menahan gejolak perih di hati, aku menggigit bibir perlahan menahan air mata yang sudah membendung di kelopak mata. Aku tenggelam dalam duniaku. Aku berbisik lirih “Ramadhan, mengapa cepat nian kau datang”.

Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

Aku menunduk dalam-dalam membebaskan air mata yang sudah antre lama untuk mencecap udara luar. Sedangkan teman-temanku yang lain sedang asyiknya bertukar kebahagiaan menyambut sang suci Ramadhan yang senantiasa dinantikan sejuta umat.

Tidak terkecuali aku. Dahulu, aku pun selalu menanti-nanti kedatangan bulan nan suci itu, bulan dengan jutaan rahmat yang melimpah dari sang Khalik. Tapi itu dulu. Tidak untuk sekarang.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Aku masih terlalu takut untuk menjalani satu bulan bersamanya, bukan karena aku sudah tak lagi mencintai keagungannya, melainkan ada kenangan menyedihkan di dalamnya.

Tepatnya pada suatu malam yang amat sangat cerah, dengan bintang yang dengan cantiknya menyinari malam. Malam itu dunia amat ramai dengan gema takbir yang saling bersahut-sahutan di seluruh penjuru dunia. Bahkan aku yakin, para malaikat pun ikut bertakbir menyambut kedatangan Hari nan Fitrah, Idul Fitri. Tak terkecuali keluarga kecilku.

Heri Chandra Santosa Menghidupkan ‘Pesantren’ Sastra di Lereng Medini

Semarang, 30 Ramadhan 1440 H
Malam itu rumah kami cukup ramai, kami sekeluarga tengah berkumpul bersama di teras rumah sambil mengumandangkan takbir bersama sembari menikmati gemintang lintang di angkasa.

Dari kejauhan aku melihat ayah yang dengan setengah berlari menghampiri kami dengan kedua tangan yang membawa kenduri dari masjid, wajahnya nampak berseri-seri dengan senyum ayng terukir lebar, “I’ed Mubarok anak-anak”.

“I’ed Mubarok juga ayah kamii” jawabku dan kedua adikku serentak. Kami langsung berhamburan menghampiri ayah dan mengambil alih nampan kenduri yang ayah bawa sambil bersorak girang tak sabar melihat apa saja aneka makanan yang ayah bawa malam ini.

Dengan segera kami berlari ke dalam rumah untuk menikmati kenduri bersama, sementara ayah dengan senangnya memperhatikan kami dari ambang pintu. Ketika aku menawarkannya untuk makan bersama, ayah hanya tersenyum ambl menganguk takzim, isyarat agar kami makan terlebih dahulu.

Entah mngapa tatapan ayah kali ini terasa berbeda, seperti ada jutaan kalimat tertahan yang tersirat di balik tatapannya itu. Tiba-tiba saja rasa sedih menelusup ke dalam hatiku tanpa kutau apa sebabnya, sedetik kemudian pipiku terasa basah oleh airmataku yang mulai berlinang deras. “Aaah, aku ini kenapa?” keluhku dalam hati sembari mengusap air mataku.

Kutarik napas dalam-dalam untuk meredakan tangisanku, biasanya cara ini selalu berhasil , namun nampaknya tangisanku kali ini cukup membandel untuk sekadar diredakan. Alhasil aku memilih keluar dari rumah untuk menenangkan tangisan yang aku sendiri tidak tau apa sebabnya.

Nampak di teras ayahku sedang duduk bersama ibu sambil menyanyikan sebuah sya’ir yang belakangan ini amat digemari oleh beliau:

Saben malem jum’at ahli kubur tilik omah
Kanggo njaluk dongo wacan qur’an najan sak kalimah
Lamun ora dikirimi, banjur bali brebes mili
Balik nang kuburan, mangku tangan tetangisan

Anehnya seusai menyanyikan lagu tersebut ayah langsung menengadahkan tangan ke atas, terdiam sebentar, lalu mengusapkan kedua tangannya ke wajah sambil berucap “Aaamiin”.

Entahlah kurang lebih sudah 1 bulan ini aku merasakan beberapa keanehan dari ayahku tercinta itu, ia juga lebih sering tersenyum belakangan ini, namun setelah itu ia tiba-tiba saja menangis tanpa mau menceritakan apa sebab tangisannya tersebut.

Ayah juga lebih sering berkumpul dengan kami sampai-sampai membatalkan banyak jadwal pengajian yang sudah terjadwal jauh-jauh hari. Padahal biasanya, jika Ramadhan begini ayah lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk mengisi pengajian daripada berkumpul bersama kami.

Bahkan, jika dihitung-hitung yah lebih banyak menghabiskan waktu berbuka di luar rumah daripada di rumah bersama kami. Namun, kali ini berbeda.

Pernah suatu hari usai ayah mengisi pengajian sore di salah satu masjid terdekat desa kami, ia berlari kencang menuju rumah hanya demi agar bisa berbuka bersama tanpa terlambat. Mengapa tidak ia gunakan motor? Alasannya jalanan kala itu sangat macet sehingga ayah pikir dengan berlari ia akan lebih cepat sampai di rumah.

Jujur aku sangat senang, Ramadhan kali ini kami bisa memiliki waktu yang lebih banyak untuk berkumpul bersama ayah. Namun, entah mengapa di balik rasa senang itu terselip rasa khawatir yang mendalam dalam hatiku.

Aku tak tau apa penyebab kekhawatiran itu, yang jelas makin hari, rasa itu tersa makin nyata saja.

Aku berusaha menjinakkan pikiranku yang berkelana jauh dan memilih duduk di samping ayah. Seketika ayah menatapku dengan senyuman yang tercetak di wajahnya yang mulai berkeriput.

Ayah mengangkat tangan kanannya mengusap pelan kepalaku sambil mengulang lagu kesayangannya tadi dengan sorot mata penuh arti, seakan menyiratkan sebuah ‘perpisahan’. Ya perpisahan, itulah yang bisa kutangkap dari tatapan tersebut.

Suara ayah terdengar begitu lembut di telingaku, aku menamati wajah pahlawan kesayanganku itu. Rambutnya terlihat rapi walau sudah banyak yang mulai memutih. Mata jernihnya terasa teduh, mampu menenangkan anak-anaknya ketika sedih. Bahunya yang kokoh dan keras menjadi saksi bisu perjuangan beliau selama ini menafkahi kami.

Aaah.. Ayah.. Betapa aku sangat menyayangimu, apa jadinya hidup ini tanpa kehadiranmu.

Aku pun besandar di bahunya sambil menceritakan beberapa kisahku padanya. “Yah, Lia nggak sabar deh pengen cepet-cepet lulus sarjana.

“Memang kenapa?” tanya ayah lembut.

“Soalnya Lia nggak sabar pengen pake toga universitas, terus foto bareng sama ayah sambil pegang rumpunan bunga mawar kesukaan Lia” celotehku panjang lebar sambil memejamkan mata membayangkan masa itu.

Sebenarnya alasanku ingin segera lulus sarjana bukan sesimpel itu, haha.. yang benar saja. Tentunya aku ingin segera bisa bekerja, sehingga ayah tidak perlu lagi berletih ria mencari nafkah untuk kami. Cukup aku saja. Aku selalu membayangkan suatu hari di mana kau bisa dengan bangga mengirimkan transferan uang bulanan kepada keluarga berkat pekerjaanku yang sudah sukses.

Adik-adik bisa bersekolah dengan hasil jerih payahku, ayah dan ibu tinggal menikmati hari tua dengan santai di rumah, tanpa harus memikirkan nafkah lagi.

Mendapati curhatanku hanya dijawab oleh angin kosong, aku pun menegapkan tubuh menatap ayah, “yah… kok cuma diem aja?” sembari memasang wajah cemberut.

Namun, aku cukup tertegun dengan ekspresi ayah kini, matanya nampak bening oleh air mata. “Memangnya ayah bisa datang ke wisudamu besok?”

Aku tertegun mendengar jawabannya. Bisa-bisanya ia menjawab begitu, dan lihat apa arti air matanya itu. Sungguh membuatku kesal bercampur khawatir saja, “Ayah bercanda ih,” jawabku sambil mengelitiki pinggangnya. Ayah pun ikut tertawa sambil membalaku dengan menggelitiki pinggangku balik.

Karena lelah tertawa, aku akhirnya masuk ke dalam rumah dan meninggalkan ayah. Kulihat kedua adikku sedang menonton televisi bersama sambil menikmati kolak pisang buatan ibu. Akhirnya aku turut duduk di sisi mereka sambil menikmati kolak. Acara di TV malam inii cukup menarik, sehingga adikku menyetel volume dengan amat sangat kencang.

Baru 15 menit aku bersantai ria bersama mereka, terdengar suara ibu yang beteriak histeris dari arah teras. Reflek kami bertiga berhamburan keluar untuk menghampiri ibu. Betapa terkejutnya aku kala kulihat ayah sudah terbujur kaku di pangkuan ibu. Ibu sudah menangis histeris di sana, beberapa tetangga sibuk melafalkan kalimat tarji’ di sana. Satu persatu dari mereka mulai memelukku dan kedua adikku sambil berpesan agar kami banyak bersabar.

“Apa ini? Ada apa?” tanyaku gamang.
“Ayahmu telah berpulang, Lia. Allah sayang ayahmu” jawab salah satu warga sembari memelukku erat. Aku pun berlari memeluk jasad ayah yang sudah tidak memancarkan lagi kehangatan.

Aku memeluknya erat sambil berharap agar aku segera tersadar dari mimpi buruk ini. Sekian lama aku menangis aku tak juga bangun dari mimpi buruk ini. Kembali aku menampar pipiku keras-keras, nyatanya ini sakit.

Ya Allah… Ini bukan mimpi ternyata. Mengapa ya Allah mengapa kau ambil ayah secepat ini? Tidakkah kau dengan do’aku tadi? Aku berdo’a supaya ayah bisa terus mengawalku bahkan saat aku lulus sarjana nanti. Aku kira kau sudi mengabulkannya, namun ternyata…

Ya Allah, sakit sekali hatiku ini, mengapa kau memberiku gelar yatim bertepatan saat malam nan agung ini yaa Allah?

Jadi ini jawaban dari segala keanehan ayahku selama ini? Rupanya Tuhan ingin memberikan ayah kesempatan untuk memberikan memori manis tanda perpisahan bersama kami.

Semarang, 30 Sya’ban 1441 H
Lihatlah betapa menyedihkannya diriku saat ini, terpuruk di bawah pelukan malam seorang diri sembari berulang kali menyesali datangnya bulan nan suci. Berdosakah aku karena tak mampu menyambut Ramadhan?

Tuhan, sungguh bukan maksudku untuk berbuat lancang seperti ini. Aku hanya belum sanggup membuka luka lama itu. Ramadhan kali ini berbeda, ada luka lama yang tersimpan di alamnya, berupa kenangan lama yang pasti akan kembali menghantuiku.

Apalah daya diri ini, semua sudah berlalu. Suatu tindakan yang amat sangat bodoh jika aku hanya terus-menerus terpuruk begini. Mungkin ada baiknya Anda mencoba berdamai dengan masa lalu. Akan lebih sulit menjalani hidup ini tanpa bisa berdamai dengan segala luka yang menyapa di tiap penghujung waktu, bukan?

Bukankah arwah orang mati masih bisa melihat keadaan kita yang di bumi? Pastilah ayah akan amat kecewa jika melihat keadaanku begini. Tunggu, yah, aku berjanji kau akan melihat betapa suksesnya aku kelak dari alammu sana. Aku janji.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.