Apakah Penulis itu Harus Mempunyai Bakat?

Menulis Artikel
Sumber :
  • vstory

VIVA – Bahwa seorang bisa menjadi penulis itu karena adanya bakat. Hal ini sering kita dengar sehari-hari. Bakat menurut KBBI adalah kemampuan yang sudah ada atau dibawa sejak lahir. Baik menjadi penulis fiksi seperti prosa dan sajak, atau menulis non fiksi.

Gandeng Sejumlah Kampus di Indonesia, Maxnovel Tumbuhkan Minat Baca Melalui Karya Fiksi

Hal ini sering menjadi perdebatan yang menarik, dalam penjelasan secara rasional menggunakan filsafat tidak pernah ditemukan adanya bakat ini, yang ada adalah Habitus.

Secara sederhana dan mudah dipahami dapat kita artikan habitus menurut filsuf Pierre Bourdieu adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia.

Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

Untuk lebih mudah memahami, saya berikan contoh berikut :

Sejak kecil, saya terbiasa membaca buku. Ayah saya bekerja di toko buku, dan sering membawakan buku komik, novel, koran, serta majalah terbaru untuk saya. Dunia bacaan adalah dunia yang telah akrab di mata saya, sejak saya kecil.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Sewaktu SMU, saya tinggal di asrama. Di waktu-waktu kosong karena tidak banyak hiburan, saya mulai membaca buku yang tebal-tebal. Akhirnya, kegiatan membaca pun menjadi suatu kebutuhan yang amat penting untuk saya. Saya seolah tidak bisa hidup, tanpa membaca.

Sewaktu kuliah, saya diminta banyak menulis paper ilmiah. Saya pun mulai belajar menulis, dan menyukai kegiatan itu. Di sisi lain, saya juga banyak ikut kelompok diskusi di kampus. Kegiatan itu merangsang saya untuk berani berpendapat, berargumen, dan mendengarkan pemikiran orang lain.

Dari sudut pandang teori Bourdieu tentang habitus, “saya” sudah memiliki habitus yang tepat untuk menjadi seorang penulis, yakni habitus membaca, menulis, dan berdiskusi. Habitus tersebut saya peroleh dari penghayatan nilai-nilai yang ada di lingkungan saya, yang kemudian mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang “saya” hayati sebagai manusia.

Dengan demikian terlihat bahwa menjadi penulis itu bukan berdasarkan bakat, tetapi bisa diciptakan kondisi-kondisi yang membuat seseorang kelak menjadi penulis, dan itu harus dimulai sejak dini, sejak masa kanak-kanak, yang terus menerus secara konsisten.

Jadi pembentukan habitus tersebut bisa dikatakan sebagai suatu latihan untuk menjadi seorang penulis. Maka latihan-latihan yang perlu dilakukan adalah, latihan pertama dengan menjadikan membaca sebagai kebutuhan kita.

Baik membaca koran, majalah, media online, dan membaca buku, membaca kehidupan, membaca pengalaman, baik pengalaman dirisendiri, maupun orang lain. Juga membaca diri sendiri, kekurangan dan kelebihannya.

Latihan kedua adalah menulis, menulis, dan menulis. Sebagai bagian dari santapan rohani keseharian kita, karena dengan menulis akan bisa mendatangkan kenikmatan spiritual, kebanggaan, dan percaya diri secara wajar, dan juga keuntungan material.

Kegunaan dari membaca dan latihan menulis :

1. Mahir mempermainkan kata (penempatan kata dan kalimat)

2. Piawai merangkainya, dalam deretan-deretan kalimat

3. Cerdas dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.

Terus bagaimana cara agar tulisan kita itu sesuai dengan passion (gairah) dan karakter kita, ada dua cara yaitu, yang pertama menulislah apa yang ada di benak kita, yang sesuai keinginan kita, sesuai dengan wawasan dan pengetahuan yang kita miliki. Jangan berpikir tulisan baik atau buruk, berbobot atau tidak.

Yang kedua mengevaluasi hasil tulisan dengan mengurutkan masalah yang hendak diungkapkan, hal-hal yang menjadi benang merah, bagian mana yang bisa dikembangkan, dan dibuang.

Manfaatkan kamus dan tesaurus untuk meyakinkan istilah-istilah yang kita singgung. Juga untuk melakukan pemilihan kata yang tepat dan menarik, untuk membangkitkan daya imajinasi dan kontemplasi pembaca. Selain itu untuk meyakinkan kita tidak ada kesalahan ketik, ejaan, tanda baca. Sebelum kita launch atau kirim ke media.

Membaca paparan di atas, bisa kita lihat bahwa menulis itu tidak perlu bakat, tetapi habitus dan pengembangannya secara terus-menerus. Selain itu sebenarnya menulis itu banyak sekali manfaat untuk diri sendiri maupun pembacanya, sebagai sebuah kegiatan intelektual dan spritual.

Pada saat kita berada dalam proses penulisan, pada saat itulah pikiran dan intelektualnya bekerja. Yang bermuara pada kenikmatan spiritual.

Hasil tulisan bisa dibaca di mana saja dan kapan saja. Tidak terbatas ruang dan waktu, hingga bisa dibaca begitu banyak orang dengan wilayah yang begitu luas dan waktu yang begitu panjang, dan mendatangkan manfaat bagi orang banyak. Membiasakan berpikir secara teratur, runtut, dan sistematik. (Penulis: Arif Gumantia, Ketua Majelis Sastra Madiun)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.