Bahasa Bukan Sekadar Ejaan, Tapi Juga Tentang Rasa

Huruf Penyusun Kata
Sumber :
  • vstory

VIVA – Mengapa kita sebagian besar tidak setuju dengan adanya pembakuan bahasa? Menurut saya, karena pembakuan itu mirip dengan penyeragaman yang bisa membuat hidup jadi monoton dan stagnan. Di ranah kehidupan apapun, penyeragaman dan pembakuan dapat membelenggu kemerdekaan dan kreativitas.

Gandeng Sejumlah Kampus di Indonesia, Maxnovel Tumbuhkan Minat Baca Melalui Karya Fiksi

Menurut pakar bahasa-bahasa Nusantara, Manu W Padmadipura Wangsawikirama, bahasa itu punya roh, nah bukan manusia saja yang punya tapi bahasa juga. Yang dimaksud dengan roh bahasa adalah rasa bahasa, rasa di sini bukan rasa pahit atau manis, tapi penghayatan estetik yang terkandung dalam kosa kata itu sendiri.

Yang menunjukkan, hubungan-hubungan antar kita semua di semesta ini. Di dalam estetika itu tersimpan seluruh pengetahuan, apakah itu etika, moral, dan sebagainya. Alasan yang kedua adalah penolakan terhadap pembakuan bahasa, karena bahasa merupakan gejala sosial yang kesepakatannya diputuskan oleh publik pengguna, bukan oleh otoritas elitis semacam ahli bahasa yang diangkat oleh penguasa untuk menjadi anggota dewan bahasa.

Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

Jadi,  yang  terpenting adalah hubungan-hubungan kata dan kalimat yang menghasilkan rasa bahasa, menghasilkan penghayatan hubungan antar manusia dan pengetahuan, bukan sibuk untuk berdebat cara menuliskan “di” yang dipisah dan bikin kangen atau “di” yang digandeng, seperti lirik lagu sepanjang jalan kenangan.

Pembakuan bahasa ini sejarahnya dimulai dari zaman Kolonial, dan diteruskan pada zaman Orba, dalam masyarakat yang dibingkai oleh sistem politik otoriter. Di era Orde Baru, pembakuan bahasa yang dilakukan institusi negara berlangsung sangat efektif.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Pembakuan bahasa, akhirnya mau tak mau berimplikasi pada penyeragaman cara menulis, bahkan kadang cara kita makan dan berpikir. Zaman Kolonial, bahasa yang terpenting adalah struktur subjek predikat objek, di mana manusialah subjek dan alam adalah objek yang harus dikuasai.

Dalam kosakata bahasa Jawa, alam dan manusia kedudukannya sejajar, Dalam teks-teks Ronggowarsito di abad 19, belum ada struktur bahasa Barat SPOK itu. Sehingga waktu itu menulis berita, menulis buku, menulis  di media massa, dan menulis  makalah, hampir tak beda dengan menulis teks pidato pejabat.

Hanya penyair dan penulis fiksi yang dengan sadar melepaskan diri dari imperative pembakuan bahasa. Sedemikian hingga muisi menjadi sesuatu yang disukai, karena bisa membebaskan diri dari kebakuan dan kekakuan bahasa.

Di era sekarang, beruntung ada media sosial, sehingga bisa dijadikan untuk mengekspresikan rasa bahasa lewat tulisan-tulisan di media sosial dan menjadikan ruang dunia maya menjadi bebas dari pembakuan bahasa. Termasuk juga di sini media-media online, yang mempunyai hasrat untuk menggunakan bahasa secara ekspresif.

Menjadi gairah yang panas hingga lahirnya keberagaman eskpresi verbal dalam pertukaran pikiran, berwacana di ruang publik. Selain itu bahasa itu dinamis, dengan demikian bahasa Indonesia akan terus berdialektika dengan bahasa lainnya, dengan istilah-istilah baru dalam teknologi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.