Rembulan di Langit Beijing

Beijing dan Cinta
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pagi itu, mentari pagi bersinar sangat terik. Kurasa ia iri dengan tangguhnya mentari Arab Saudi yang terkenal ganas membakar sahara, sehingga dengan congkaknya mentari khatulistiwa ini mencoba mengeluarkan cahaya teriknya.

Gandeng Sejumlah Kampus di Indonesia, Maxnovel Tumbuhkan Minat Baca Melalui Karya Fiksi

Aku menilai sekali lagi penampilanku melalui cermin besar yang menggantung di kamarku. Jilbab putih persegi dengan renda hijau muda menjadi pilihanku hari ini. Jilbab itu bukanlah jilbab sembarangan, di baliknya tersimpan sejuta kenangan masa-masa Aliyah-ku di Ponpes Al-Aziz.

Ini adalah hari pertamaku menyandang gelar sebagai mahasiswi di Universitas Bumi Hijau. Sebelum menyandang sebagai mahasiswa kampus Bumi Hijau, kami haruslah mengikuti OSPEK selama 3 hari. Mendengar kata OSPEK agaknya membuatku cukup was-was. Pasalnya belakangan ini marak terjadi kekerasan oleh kakak tingkat kepada para mahasiswa baru selama OSPEK berlangsung.

Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

Almamater hijau yang satu tahun belakangan ini aku idam-idamkan, kini telah melekat sempurna di tubuhku. Pagi buta aku bersama mahasiswa yang lain telah berduyun-duyun memenuhi kampus Bumi Hijau dengan terburu-buru. Mengigat ancaman hukuman dari kakak tingkat yang akan kami dapatkan jika sampai terlambat. Sayangnya dewi keberuntungan nampak malas membagi keberuntungan pada para hamba di muka bumi. Tak terkecuali padaku.

Beberapa hari yang lalu, ibu memaksaku dengan tanpa ampun untuk kembali menjadi santri di salah satu pondok pesantren yang berjarak 4 menit dari kampus. Sebut saja Ponpes Al-Amin.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Bukannya aku bosan menjadi santri, hanya saja aku tak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah sendiri, ayah sudah meninggal 1 tahun lalu, aku tak bisa membayangkan betapa sepi  rumah kecil kami jika ibu sendirian. Bangun tidur seorang diri, membuat sarapan hanya untuk satu porsi, menonton tv tanpa kawan bercengkrama, ahhh sungguh berat membayangkan semua itu.

Mati-matian aku menolak tawaran tersebut, bahkan sudah kucoba adegan menangis selama tiga hari tiga malam. Malangnya taktik tersebut berimbas pada mata ku yang bertransformasi menjadi mata panda setelah tiga hari tiga malam mengurung diri di kamar sambil sesenggukan menangis, demi meluluhkan hati ibuku agar tidak mengirimkanku masuk ke pesantren.

Bukan maksudku merasa puas dengan ilmu, hanya saja aku merasa lelah saja menjadi seorang santri. Sebab, selama 6 tahun terakhir aku pun telah menyandang status sebagai santri di ponpes modern Al-Aziz Surakarta.

Namun, tabiat ibuku yang sudah sekeras batu membuatku mau tidak mau luluh walau dengan segala rasa terpaksa di dalamnya. Ibu bilang pondok pilihannya tersebut sudah sangat cocok denganku, jodohku begitu katanya saat aku merengek-rengek seperti bayi dalam rangka demo menolak menjadi santri lagi pada ibuku.

Kukira aksiku tersebut sudah lebih dari cukup untuk meluluhkan hatinya, tapi jawaban ibu selanjutnya benar-benar membuatku ingin melemparkan diri ke pantai selatan.

“Kamu dan Ponpes Al-Amin itu jodoh Naya. Ibu bisa merasakannya, ingat witining trisno jalaran kulino. Kamu akan dengan mudah beradaptasi dengan ponpes tersebut, ibu jamin. Ibu berani bertaruh jika sampai 1 bulan kamu masih tidak betah dengan pondok itu, ibu akan dengan senang hati memindahkanku ke tempat lain beserta membelikanmu motor baru.”

PonPes Al-Amin…

Dan di sinilah aku sekarang, duduk termenung sendirian di roof top asrama Al-Amin sambil meratapi kenyataan ini. Aku terus menerus menyemangati diri sendiri untuk bertahan, “Sabar, 1 tahun pasti lagi kamu bebas, Naya.”

Hari-hari awal menjadi santriwati di sini, aku kembali mengalami sindrom home sick seperti 6 tahun lalu saat masuk pesantren Al-Aziz dulu, waktu itu usiaku masih 12 tahun. Mungkin sindrom itu wajar jika saja menimpa gadis berusia 12 tahun seperti itu, namun ini aku, gadis berusia 19 tahun yang sudah menyandang nama mahasiswa dan pernah merasakan nyantri selama 6 tahun. Menangis sendirian di jemuran, memenuhi buku diary dengan ucapan kerinduan, kampung halaman yang selalu menjadi bayangan, dan yaa masih banyak lagi segudang efek samping dari sindrom itu.

Hingga suatu pagi, Tuhan mengirimkan mukjizatnya padaku. Mukjizat itu ia titipkan pada salah seorang putra adam yang merupakan salah satu kakak tingkatku di sini. Waktu itu, aku terbangun pukul 2 dini hari, seluruh santri masih terlelap dalam mimpi mereka.

Aku terbangun karena ayah menjengukku dalam  tidur panjangku kala itu. Disana, kami berdua nampak mengenakan pakaian serba putih yang sangat indah, bahkan ruangan yang kami tempati juga serba putih, entah apa nama tempat itu. Aku mengenakan gaun putih yang panjangnya menjuntai hingga lantai, sedangkan ayah mengenakan setelan jas serba putih yang membuatnya nampak 10 tahun lebih muda.

Ayah nampak tersenyum padaku, ia mengusap puncak kepalaku dengan tatapan teduh menenangkan seperti biasa ketika beliau masih hidup. Usai itu, seekor merpati putih terbang ke arah kami, merpati itu bertengger manis di pundak ayah. Mereka berdua nampak membicarakan sesuatu dengan nada yang amat pelan, hingga kemudian merpati itu terbang ke arahku. Seketika semuanya gelap dan terdengar ayahku berbisik, “Dia akan datang, sebentar lagi.”

Ahh entah apa arti mimpi seperti itu, jutaan pertanyaan memenuhi rongga otakku, aku rasa ini bukanlah sekadar bunga tidur biasa. Aku pernah dengar dari nenekku bahwa memimpikan merpati menandakan jodoh kita sudah dekat. Ahh, masa bodoh dengan ramalan-ramalan itu, aku teralu lelah berargmen dengan batinku seniri, akupun melangkahkan kaki ke mushola asrama.

Aku melangkahkan kaki perlahan menuju tempat wudhu, namun langkahku terhenti. Sayup-sayup aku mendengar lantunan surah ar-Rahman dari shaf santri putra, seketika kakiku seakan terishir, dan sekejap aku sudah berdiri di sebelah jendela yang menghadap langsung ke shaf tersebut.

Di sana nampak seorang pria tengah khusyuk dengan Al-Qur’an berukuran sedang di genggamannya. Ia nampak cemerlang dengan kemeja birunya, rambutnya masih nampak basah bekas air wudhu, membuat kadar ketampanannya meningkat berjuta-juta kali.

Aku termangu untuk beberapa saat, pria itu seakan memiliki medan magnet yang kuat, auranya begitu teduh mendamaikan. Untuk pertama kalinya aku bisa kembali merasakan kedamaian yang teramat dalam, setelah kepergian ayahku. Hari itu aku seolah menemukan pelabuhan yang selama ini kunanti.

Maka, pagi itu usai menuntaskan agenda sima’an bersama, aku langsung bergerak gesit mencari berbagai macam informasi tentang pria jelmaan Nabi Yusuf itu (Agak berlebihan ya? Hehe), sebut saja namanya Ashraf.

Aku seakan menjelma menjadi detektif handal kala itu, aku menggali informasi sebanyak mungkin tentangnya, mulai dari keluarganya, hobinya, kisah-kisahnya selama menjadi santri di sini dan masih banyak lagi.

Kekagumanku padanya melonjak seketika ketika mengetahui segudang prestasi yang dimiliki Ashraf. Detik itu juga aku memutuskan untuk mengambil hatinya dengan caraku, secara otomatis otakku menyusun berbagai cara untuk menuntaskan target itu.

Tolong jangan katakan bahwa aku murahan karena dengan mudahnya aku jatuh cinta padanya, toh rasa itu muncul dengan sendirinya tanpa kuminta, siapa suruh dia memiliki sekian banyak kriteria imam idaman buatku, kan.

6 Bulan kemudian…

Seiring berjalannya waktu aku mulai bisa beradaptasi dengan keadaan Ponpes Al-Amin ini. Satu persatu prestasi kutorehkan dalam catatan harianku, baik prestasi di kampus maupun di asrama ini. Aku bergabung dengan beberapa organisai di kampus dan dengan sekuat tenaga aku mencoba mengambil peran di dalamnya.

Tanpa sadar kuliahku perlahan terbengkalai, hingga akhir semester aku merasa sangat terpukul mengetahui hasil belajarku selama 1 semester ini. 3,27 itulah IPK yang berhasil kuraih untuk semester ini. Jika saja kurang dari dua angka lagi, sudah kupastikan beasiswa kuliahku tercabut saat itu juga. Berbagai problematika mulai menggerogoti ketenanganku, mulai dari masalah keluarga hingga masalah Ashraf.

Ashraf, ya, nama itulah yang berhasil menumbuhkan semangatku selama ini, berbagai prestasi yang kutorehkan tidak lain hanyalah demi dia. Aku mengejarnya dengan cara ini, aku berusaha memoles diri ini dengan kualitas sebaik mungkin, harapanku ia bisa bangga kepadaku, itu saja. Syukur2 ia bisa tersihir olehku, sama seperti ia menyihirku di hari pertama kami bertemu.  

Sayangnya, harapanku berbanding jauh dengan kenyataan yang ada, Ashraf malah makin jauh dari jangkauanku. Walau tidak dipungkiri, aku mulai bisa dekat dengannya, setidaknya beberapa kali ia sudi untuk sekadar menyapaku dan bersenda gurau bersamaku beberapa kali.  

Namun, baru-baru ini aku mendapatkan kabar bahwa ia baru saja menjalin asmara dengan orang lain, yang tidak lain sahabatku sendiri. Kemarin seantero asrama gempar karena Ashraf ketahuan mengirimi Erna sebuah Boneka beruang.

Hari itu, duniaku terasa runtuh, perjuangannku sealama 6  bulan ini ternyata tidak membuahkan hasil apapun. Hal itu membuatku semakin terpuruk, semangatku padam hingga satu bulan lebih. Bagaimana mungkin aku mampu bersemangat lagi sedangkan selama ini sumber dari semangatku ialah Ashraf, yang sayangnya kini telah terlalu jauh untuk kujangkau.

Akhirnya aku tiba pada titik terbawahku, hidup terasa hampa, kosong, aku sampai lupa kapan terakhir aku tersenyum bahagia. Aku merindukan semangatku yang menggebu. Hingga akhirnya aku iseng mencari lowongan besiswa kuliah S1 di Universias Tsinghua, Beijing.

Tak kusangka, keisenganku itu berhasil membawa namaku tercantum sebagai salah satu penerima beasiswa di sana. Singkat cerita aku pun berpamitan pada seluruh santri sebelum kepergianku ke China. Sebelum pergi, aku memutuskan untuk menitipkan sebuah surat untuk Ashraf.

Dalam surat itu, aku putuskan untuk mengakui perasaanku selama ini kepadanya. Entah bagaimana nanti respon darinya, aku tak peduli, yang terpenting rahasiaku selama ini sudah kuserahkan pada pemiliknya.

2 Tahun kemudian…

Tak terasa sudah dua tahun lamanya aku menjadi penduduk Negeri Tirai Bambu, negeri yang sudah sekian lama kuidam-idamkan. Betapa aku bersyukur, karena Allah sudi memberiku kesempatan untuk mewujudkan impianku untuk belajar di sini.

Kemampuan berbahasa inggris yang kupelajari selama 6 tahun di Al-Aziz, Solo, ternyata sangat berguna bagiku. Hingga akhirnya aku bisa mengambil pekerjaan sebagai tour guide di salah satu agen wisata di Beijing.

Dua tahun sudah aku tak pernah lagi mendengar kabar tentang Ashraf. Entahlah, sepertinya ia marah padaku karena telah lancang mencintainya, belum lagi surat cintaku yang secara blak-blakan berisi pernyataan cintaku padanya.

Nyatanya, ia sama sekali tidak berniat mengirimiku pesan sedikit pun. Pernah suatu kali, ketika idul fitri pertamaku di Beijing, aku berniat mengiriminya ucapan permohonan maaf, namun ternyata ia telah memblokir nomorku, sehingga aksesku untuk menghubunginya pupus. 

Aku menepis jauh-jauh kenangan Ashraf yang tak bisa enyah dari pikiranku bahkan hampir dua tahun lamanya. Berbagai kesibukan kuambil demi menghilangkan bayang-bayangnya.

Stasiun Xuanwumen, Beijing

Perlahan kulangkahkan kaki menuju stasiun Xuanwumen, stasiun ini merupakan salah satu stasiun terbesar  dan tertua di Beijing.  Hari ini aku berniat untuk menemui salah satu klienku di sana. Karena terburu-buru aku tidak membaca dengan detail profil klienku itu.

Aku hanya membacanya sekilas saja sambil berjalan dengan tergesa-gesa. Aku menghampiri seorang pria yang nampak duduk di sudut terminal, aku mencocokkannya dengan foto yang sudah kepegang. Aaah, ternyata itu dia klienku.

“Xiàw hao”, (Selamat Siang)! Mohon maaf atas keterlambatan saya, tuan,” ucapku seramah mungkin sembari membenarkan letak pashminaku. Pria itu kemudian menoleh padaku sembari tersenyum ramah. Senyumannya terasa tidak asing bagiku, senyuman yang berhasil membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tidak salah lagi ia adalah, “Bang Ashraf?” tanyaku ragu.

Pria itu kemudian berdiri dan mengusap kepalaku pelan, “Duì (Benar), kamu apa kabar?”

Aku meremas ujung kemejaku pelan, sembari mengatur detak jantungku yang berirama tanpa kontrol. Gusti, mimpi apa aku semalam? Kok bisa ada Bang Ashraf, sih?

“Naya,” panggilnya menyadarkan lamunanku.

“Oh, iya. Baik, Bang,” jawabku dengan sedikit tergagap. Pasti sekarang ini wajahku sudah memerah menahan malu, Dasar Naya, makiku dalam hati.

“Eum, Bang Ashraf gimana ceritanya bisa sampai sini?,”

“Kita cerita sambil jalan ya,” tawarnya lalu kujawab dengan angukan mantap.

Kami pun mulai menyusuri jalanan sambil berbagi kisah, ternyata Ashraf mendapatkan beasiswa  S2 untuk berkuliah di Universitas yang sama denganku. Ia mengambil jurusan arsitektur. Ia bercerita banyak padaku untuk pertama kalinya, sedekat apapun kami dulu, sungguh ia tergolong amat jarang berbicara padaku dulu.  

“Terus kenapa abang nggak ngabarin saya kalo kuliah di sini juga?”, tanyaku hati-hati. Ck, aku merutuki kebodohanku sendiri, memangnya siapa aku buat dia sampai-sampai harus mengabariku segala. Hufft,..

“Aku takut kamu lari,”

Aku mengrenyitkan dahi menanggapi jawabannya, “Kenapa saya harus lari?”

Dia mengedikkan bahu santai, “Ya, saya khawatir aja kamu masih trauma dengan pernyataan cintamu buatku dulu. Nyatanya kamu menghilang tanpa jejak begitu saja, sebenarnya kamu beneran jatuh cinta sama saya enggak sih?,” ujarnya sambil terkekeh pelan.

Fix, mati kutu.

Kenapa sih dia harus mengungkit-ungkit hal itu, eh tapi aku beneran tulus jatuh cinta padanya kok, ya aku hanya gengsi dan tidak berani saja jika harus berpamitan dengannya waktu itu. Mau ditaruh mana mukaku.

“Naya? Kok sekarang hobi ngalamun, sih?,” tanya Ashraf membuyarkan lamunanku. Ia kemudian menghentikan langkahnya tepat di depanku, membuatku ikut berhenti seketika. Aku mendongak menatap matanya, tingginya yang terlampau jauh dengan tinggiku, memaksaku bersusah payah mendongak.

Hufft.. wajahnya masih sama, tidak berubah, masih setampan dulu, andai saja Allah menakdirkannya menjadi imamku, betapa lengkap rasanya kebahagiaanku ini. Pandangnku jatuh ke matanya, nampak sorot mata kesedihan di sana.

“Kamu belum menjawab pertanyaan  saya, Nay. Apakah dulu kamu serius jatuh cinta pada saya?.”

Aku terhenyak, tanganku tiba-tiba berubah menjadi dingin. Apa gerangan jawaban yang harus kuberikan kepadanya. Keramahannya saat ini padaku sudah lebih dari cukup buatku, aku tak mau jika jawaban yang kuberikan nanti akan merusak semuanya. Tapi, aku benar-benar serius padanya dulu, bahkan sampai sekarang.

“Kalo Naya jawab, bang Ashraf nggak boleh marah ya,” pintaku hati-hati. Ia menganguk mantap.

“Iya, Naya serius, Bang. Tapi, Naya udah berusaha move on kok dari Abang, yakin,” jawabku sambil mengangkat tangan kananku sembari membentuk huruf V dengan jemariku.

“Ters move on nya berhasil?” tanyanya dengan nada mengejek.

Aku mendengus seraya menggelengkan kepala, “Susah, Bang. Bang Ashraf terlalu spesial buatku, maaf ya. Tapi Naya janji kok bakalan belajar move on lebih giat lagi.”

“Hentikan belajarmu, kamu nggak akan mampu. Abang jamin.”

“Dih, kok bisa?”

Ia menjitak keningku pelan, membuatku meringis kesakitan, “Kamu ini watados ya, udah mencintai saya tanpa izin, sekarang seenaknya mau move on. Nggak izin juga lagi.”

“Nih, ambil,” ujar Ashraf seraya menyodorkan cincin bermata berlian biru padaku. “Ini, jawaban dari surat kamu dulu, maaf saya terlambat balas.”

“Maksudnya?”

“Kamu ingat kejadian waktu saya ngasih boneka buat Erna? Sebenarnya boneka itu saya kirim buat kamu, sayangnya pengirim boneka itu salah almari, dia kira almari Erna itu milikmu, makannya ia taruh sana bonekanya. Dan ya,, gitu deh endingnya, anak-anak kira kami punya hubungan spesial, padahalkan kamu yang spesial buat saya,” jawabnya enteng. Namun berefek parah untuk jantungku, ia berdetak begitu cepat, pipiku terasa ngilu karena menahan senyuman  mendengar pengakuan Ashraf.

“Salahin Rahma, sahabat kamu. Dia orang yang sudah menceritakan semua rahasiamu ke saya, termasuk rasa cinta kamu. Ya awalnya saya kaget, karena jujur saya nggak ada rasa sama kamu waktu itu. Dan perilaku kamu juga aneh, sebentar-sebentar ngedeketin saya, eh tiba-tiba ngejauh. Sampai tiba saatnya kamu pergi dengan hanya meninggalkan secarik surat buat saya.

Waktu itu saya marah banget sama kamu, udah mencintai saya tanpa izin, pergi pun enggak izin. Tapi saya seneng karena sudah pernah diperjuangkan oleh orang segigih kamu. Kamu yang periang, suka bikin orang lain ketawa, cerdas, hmmm, betapa indahnya kalo suatu saat nanti bisa menjadi pendamping hidup saya. Dari situ, saya sadar kalau saya telah menemukan potongan tulang rusuk saya yang hilang, yaitu kamu. Saya mulai belajar mati-matian supaya bisa lulus lebih cepat dan menyusul kamu kuliah di China. Saya ingin memperjuangkan kamu, Naya. Jadi, jika benar rasa kamu masih sama, terima cincin ini, dan…”

“Jadi, ini ceritanya lamaran,” tanyaku sambil mencubit tanganku sendiri, yaa siapa tau ini mimpi bukan?

Ashraf menganguk pelan, “Maaf Nay, kurang sweet ya? Saya berlutut deh biar kayak romeo juliet gitu,”Ashraf pun memposisikan diri untuk berlutut, namun belum sempat ia berlutut, aku menyambar dengan cepat cincin pemberiannya dan memakainya di jari manisku. Ia nampak speechless dengan reaksiku.

“Iya, Naya terima. Bodoh banget lah kalo saya nolak lamaran orang yang sudah saya tunggu sampai 3 tahun lamanya, lama banget itu, Bang. Hiks…” ujarku sesenggukan, air mataku sudah mengalir sedari tadi membuatku suaraku bergetar.

Ashraf senang, ternyata semuanya berjalan begitu mudah. Sebelumnya ia sudah menyiapkan mental, jika saja Naya menolak lamarannya. Namun, nyatanya gadis itu masih setia menjaga hatinya untuk Ashraf. Ashraf tak henti-hentinya memandang Naya yang kini nampak lebih ceria dari biasanya, gadis itu sibuk berceloteh ria sambil sesekali menari-nari kecil layaknya bocah.

“Cie, yang habis lamaran,” goda Ashraf. Naya memberengut kesal seraya memukul pelan lengan Ashraf sambil tersipu. “Mmm, tapi saya nggak nyangka loh kita bisa secepat ini lamaran,” ujar Ashraf.

“Yee, abang yang cepet. Saya nungunya sampai 3 tahun loh,” ujar Naya sambil memanyunkan bibirnya layaknya bebek.

“Hehe.. Iya juga ya. Makasih ya, udah mau setia,”

“Hmm, udah ahh dari tadi makasih mulu,”

“Iya, iya. Mmm, kapan nih kita kabarin orang rumah soal pernikahan kita? Minggu depan, yuk. Kamu udah mulai libur kan minggu besok?”

Naya menganguk pelan, ia berusaha menutupi rasa bahagianya yang terlanjur membuncah. Tak hentinya ia mengucapkan rasa syukur, Allah sungguh Maha Baik. Tuhannya itu tidak pernah mengkhianati kesabaran. Yakinlah bahwa kesabaranmu dalam penantian suatu saat akan berbalas dengan kebahagiaan berlipat-lipat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.